Sabtu, 29 Juni 2013

Bahasa Arab


10 Faidah Tentang Bahasa Arab
Berikut adalah beberapa faidah yang kami kumpulkan berdasarkan keterbatasan ilmu yang ada pada kami.
Pertama
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mu’jizat tersebut berupa keindahan bahasa dan balaghahnya sampai-sampai Allah  ‘Azza wa Jalla menantang siapapun yang bisa mendatangkan semisal Al-Quran. Allah berfirman,
 

وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah: 23)

Bahkan ditantang juga dengan mendatangkan kalimat saja semisal Al-Quran. Allah berfirman,
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِّثْلِهِ إِن كَانُوا صَادِقِينَ

“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” [Ath-Thuur: 34]
 maka sangatlah merugi seorang yang mengaku-ngaku muslim tetapi ia tidak bisa menikmati mu’jizat terbesar umat ini.
 kedua
Jika ada seorang profesor Ahli dibidang kedokteran modern misalnya, ia menjadi rujukan para dokter untuk berkonsultasi, akan tetapi ia tidak bisa berbahasa Inggris, maka gelar profesor dan keahliannya diragukan karena sebagian besar sumber ilmu kedokteran modern adalah negara barat yang berbahasa Inggris, maka bagaimana jika ada ustadz, Gus, Kiayi Haji, Tuan Guru Haji, Habib yang mereka menjadi rujukan pertanyaan tentang agama kemudian meraka tidak bisa berbahasa Arab?
 Akan tetapi kenyataan di masyarakat terutama di zaman ini, banyak orang yang belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni, langsung menjadi ustadz dadakan dan menjadi rujukan pertanyaan agama. Padahal untuk menjadi  dai dan rujukan pertanyaan juga harus belajar yang lama dan bertahun-tahun sebagaimana juga belajar ilmu umum. Ia juga harus mengusai berbagai ilmu ushul sehingga tidak menyampaikan atau berfatwa tanpa ilmu.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.” (HR. Bukhari no:100)
 Ketiga:
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah yang pertama kali mencetus ilmu Bahasa Arab, beliau menyusun pembagian kalimat, bab inna wa akhawatuha, idhafah, imalah, ta’ajjub, istifham dan lain-lain, kemudian memerintahkan kepada Abul Aswad Ad-Dualiy untuk mengembangkan sambil berkata,
انح هذا النجو

“Unhu hadzan nahwa!” (ikutilah yang semisal ini),
 maka istilah ilmu Nahwu diambil dari perkataan Ali bin Abi thalib (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 6, Sayyid Ahmad Al Hasyimi, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah).
 Keempat:
Abul Aswad Ad-Du’aliy rahimahullah  dari bani kinanah disebut sebagai bapak bahasa Arab. Ialah yang mengembangkan bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi thalib karena Islam berkembang berbagai negara dan orang ajam banyak yang salah berbahasa Arab dan kesulitan memahami Al-Quran, serta masuknya orang ajam ke negeri Islam dan mencampur bahasa mereka (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 5).
 Dikisahkan bahwa yang membuat Abul Aswad Ad-Du’aliy semakin semangat mengembangkan bahasa Arab adalah suatu malam ia berjalan dengan putrinya, kemudian putrinya berkata,

ما أجمل السماء

“Maa ajmalus sama’i (artinya: Apa yang paling Indah di langit?),
 kemudian Abul Aswad Ad-Du’aliy berkata,

نجومها

“nujumuha” (artinya: bintang-bintangnya).
 kemudian putrinya berkata, “saya bermaksud ta’ajjub/kagum”.
Maka  Abul Aswad Ad-Du’aliy berkata membenarkan, katakanlah,

ما أجمل السماء

“Maa Ajmalas sama’a (artinya: betapa indahnya langit).
 NB: Tulisan font Arabnya sama, tetapi cara bacanya berbeda, karena berbeda arti
 Anak seorang pakar bahasa Arab saja seperti ini, apalagi masyarakatnya, kemudian perhatikan juga hanya berbeda harakat sedikit saja sudah membedakan artinya sangat jauh, masihkah kita tidak mau  belajar bahasa Arab untuk lebih memahami agama kita?
 kelima
Sebagaimana fiqh, bahasa Arab juga ada dua mazhab yaitu mazhab Kufiyah dan Bashriyah, karena bahasa Arab berkembang di dua kota besar Kufah dan Bashrah. (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 6)
 Ulama dari Basrah yang terkenal adalah Sibawaih dengan nama lengkapnya ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar dan Abdullah bin Abu Ishak. Sedangkan ulama dari kufah adalah Al-Kisa’i dengan nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah dan Al-Fara’
Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan ad-Dailumiy.
 Keenam:
Sering kita mendengar bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab akan tetapi hadistnya lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran, tidak ada hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam tentang masalah ini. Menngenai hadits,
أَحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلَاثٍ: لِأَنِّي عَرَبِيٌّ وَالْقُرْآنَ عَرَبِيٌّ وَكَلَامَ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ

“Cintailah orang Arab karena tiga hal; Karena aku adalah orang Arab, Al-Qur’an itu berbahasa Arab dan ucapan penduduk sorga adalah Bahasa Arab”. (HR. Hakim, Thabarani dan Baihaqi)
Imam Dzahabi rahimaullahu mengatakan dalam ringkasan kitab al-Mustadrak : Saya kira hadits ini lemah”. Ibnu Al-Jauzi rahimaullahu menyebutkan hadits ini dalam kitab Al-Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu)
 Meskipun demikian banyak atsar para salaf yang menguatkan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab. Jika tidak bisa kita katakan bahwa “bahasa Arab adalah bahasa ahli surga” tetapi bisa kita katakan “bahasa Arab adalah bahasa pendamba ahli surga”.
 Ketujuh:
Afwan jiddan akhi”.
kata ini sering diucapkan oleh orang awam bahkan aktivis dakwah, padahal bentuk ini salah secara kaidah, karena “afwan” dan “jiddan” keduanya adalah maf’ul mutlaq yang bertujuan untuk menta’kid (menegaskan), “afwan” tidak perlu ditambahkan “jiddan” lagi untuk menta’kid serta tidak boleh menyusun dua maf’ul mutlaq berturut-turut. (lihat pelajaran maf’ul mutlaq, Mulahkhas Qowa’idil Lughatil Arabiyah hal 69, fu’ad Ni’mah, Darul Tsaqafah Islamiyah)
 kedelapan:
Nama Nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah hanya empat orang saja yang memakai nama Arab asli yaitu Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam, Syu’aib, Shalih dan Hud ‘Alaihimussalam. Hal ini dapat diketahui dengan kaidah bahasa Arab bahwa nama asing termasuk golongan “mamnu’ minas sarf” yang tidak boleh di tanwin, sehingga anggapan sebagian orang bahwa sebagian besar nabi dari bangsa Arab asli kurang tepat, yang benar beberapa daerah timur tengah dulunya tidak diduduki oleh orang Arab seperti Mesir dan Syam.
 Kesembilan:
Bangsa Arab punya kebiasaan menitipkan anak mereka kepada suku-suku pedalaman untuk disusui, termasuk Rasul kita Shallallahu ’alaihi wa sallam, tentu kita bertanya-tanya untuk apa hal ini dilakukan? Tidak khawatir anak kita didik oleh orang kampung yang tidak dikenal? Ternyata salah satu hikmahnya adalah agar anak-anak meraka fasih berbahasa Arab yang masih murni, karena bahasa di kota sudah bercampur baur.
 Begitu juga kita tidak akan mendapatkan bahasa jawa kromo/halus di kota-kota tetapi ada di desa-desa terpencil. Karena bagi orang Arab kesalahan berbahasa sangat fatal dan bangsa Arab sangat memuliakan syair dan keindahan bahasa.
 Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkata,

اللحن في الكلام أقبح من الجذري في الوجه

“Lahn (kesalahan) dalam berbicara lebih jelek dari cacar di wajah.”
 Dari sulaiman bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari Al-Abbas berkata, saya bertanya kepada Rشsululloh apakah keindahan pada seseorang?”, beliau menjawab, “kefasihan lisannya”. Dan dikisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam paling fasih mengucapkan huruf dhad yang paling sulit pelafazannya. (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 4,)
 Kesepuluh:
Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sesuai dengan logika manusia,
misalnya kalimat, “ana masrurun bimuqobalatik” (saya disenangkan [senang] karena bertemu denganmu),
 Maka bahasa Arab menggunakan “masrurun”, dalam bentuk maf’ul (objek penderita),  bukan “saarrun” (fa’il/pelaku). karena ada sesuatu yang membuatnya senang yaitu bertemu, tidak mungkin dia senang sendiri jika tidak ada yang menbuatnya senang.
 Bandingkan dengan bahasa indonesia, “saya merasa senang” dan bandingkan pula dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena memang ia melakukannya. (Faidah ini saya dapat dari guru kami Aris Munandar, SS. MA. Hafidzahullahu)
 Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Marhaban Ya Ramadhan


Bimbingan Praktis Amaliyah Bulan Ramadhan
Sebentar lagi kita bertemu bulan puasa 1434 H, oleh karena itu kita sambut bersama-sama,”Marhaban ya ramadhan,”. Selamat dating bulan ramadhan, kami bergembira menyambut kedatanganmu karena kami terngiang dengan sabda Rasulullah SAW. “seandainya umatku mengetahui keistimewaan ramadhan, niscaya mereka mengharapkan semua bulan menjadi bulan ramadhan. Kehadiran bulan ramadhan adalah untuk mencucikan jiwa, bulan kasih sayang, bulan ampunan, dan bulan kemerdekaan dari saksi api neraka. Juga tujuanya dari puasa itu sendiri adalah sebagai pembinaan diri untuk sampai derajat taqwa. Dengan melaksanakan puasa diri manusia terbina dan terlatih untuk selalu patuh terhadap printah Allah, dengan mengekang segala macam hawa nafsu yang dapat menyeret kepada kemaksiatan. Bulan buasa adalah bulan keistimewaan disi Allah karena Allah sendiri yang member balasan atau pahala. Bahkan dibulan Ramadan segala amalan akan dilipat gandakan pahalanya sepuluh  sampai tujuh ratus kali lipat. Seperti sabda Rasulullah :
,”Setiap amal kebaikan manusia dilipat gandakan sepuluh sampai tujuh ratus. Allah Azza wa jalla berfirman: kecuali puasa. Puasa itu bagiku, dan Aku (sendiri) yang akan memberikan balasannya,”(HR Muslim).
Untuk itu marilah, kita sambut dengan membulatkan tekat dan niat untuk menyambut ramadhan. Kita siap melakukan amal apa saja demi mendapatkan kemulian dan kebaikan bulan ramadhan. Umat Islam diseluruh dunia, termasuk umat Islam di Indonesia juga ikut serta menyambut bulan ramadhan, untuk berlomba meningkatkan kadar ketaqwaan dengan menunaikan  ibadah puasa dan amal Ibadah lain dalam rangka meraih, ampunan, dan ridha-Nya. Oleh karena itu kita sambut dengan Imanan wa-htisaban, serta kita jalin ukhuwah Islamiyah denagan kita tingkatkan kepekaan dan kepedulian kita bagi sesama. Terutama mereka yang kurang beruntung, fakir miskin, dan sebagainya, untuk dapat meresapi dan menghayati serta makna hikmah puasa. Kita mengajak umat Islam atau masyarakat pada umum untuk bersama-sama menunaikan ibadah puasa denagan tulus ikhlas. Untuk juga membangkitkan hati nurani kita untuk dengan khusyuk dan tawadhu beribadah dan beramal shaleh dalam menjalin persaudaraan Islam dan membekali diri kita dengan teladan bulan ramadhan.
Dasar Penyelenggaraan
Sebagai kita ketahui bahwa bulan puasa adalah bulan suci yang diwajibkan kepadaumat Islam berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Yang artinya wai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Qs Al Baqarah(2) ayat 183
Ketentuan Puasa
1.      Islam
2.      Baligh (Cukup Umur)
3.      Berakal (Tidak Gila)
Yang dimaksud puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari disetai dengan niat. Aku niat puasa besuk hari menunaikan fardhu bulan ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.
Adapun yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut:
1.      Memasukkan sesuatu kedalam perut dari rongga badan.
2.      Menggauli Istri pada siang hari.
3.      Muntah dengan sengaja
4.      Keluar mani dengan sengaja
5.      Haid(menstuasi)
6.      Nifas (melahirkan)
7.      Gila
8.      Murtad.
Yang disunahkan badi orang yang berpuasa:
1.      Menyegerakan buka puasa bila telah waktunya 
2.      Menggakhirkan saur
3.      Meninggalkan kata-kata kotor/sia-sia
4.      Itikaf Sepuluh hari terakhir.
5.      Meperbanyak baca Al Qur’an
6.      Memperbanyak sedekah/infak
Orang yang dapat dispensasi/diperbolehkan tidak puasa:
1.      Wanita hamil
2.      Wanita yang sedang menyusui
3.      Musafir (orang dalam perjalanan)
4.      Orang yang lanjut usia, harus membayar fidyah
Hikmah Puasa
1.      Puasa menanamkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin
2.      Puasa akan mengantarkan kepada kesehatan
3.      Ramadhan adalah bulan berkah
4.      Puasa sebagai benteng pribadi
5.      Menciptakan pribadi muslim yang jujur dan  amanah
6.      Kriminal menurun Drastis
7.      Menyuburkan kekuatan jiwa dalam menghadapi ujian.
Yang Dianjurkan Di Bulan Ramadhan
1.      Mempersiapkan jasmani dan rohani secara lahiriyah maupun batiniyah, seperti mempersiapkan mental, membersihkan lingkungan, anggota badan, hati sanu bari, banyak minta ampun kepada Allah dan minta maaf kepada sesama.
2.      Menyambut bulan ramadhan dengan rasa senang.
3.      Meluruskan niat tulus ikhlas untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah, syaiton tidak akan berdaya mengoda orang-orang yang ikhlas.Qs Al Hijr (15) ayat 39-40.
4.      Melaksanakan puasa dengan penuh sabar, allah menjanjikan orang-orang yang sabar imbalan yang sagat besar Qs Az Zumar (39) ayat 10
5.      Berusaha untuk banyak memperbanyak membaca Al Qur’an, menghayati dan mengamalkan kandungan Al Qur,an.
6.      Menyegerakan berbuka puasa ketika waktunya telah tiba dan mengakhirkan saur sesuai dengan waktunya.
7.      Memperbanyak sedekah melebihi bulan lainnya.
8.      Menati malam lailatul qodar yang kebaikanya seperti beribadah selama 1000 bulan atau 83 tahun. Subkhanaallah.
Hal-Hal Yang Harus Dihindari
1.      Bermalas-malasan dengan alas an berpuasa.
2.      Menghindari ucapan yang tidak baik atau sia-sia.
3.      Menyiapkan makanan yang berlebihan untuk berbuka dan saur.
4.      Menunda atau memperlambat berbuka puasa.
5.      Mengosok gigi di siang hari, mandi/renang disiang hari.
6.      Memandang/mencium istri/suami hingga menimbulkan syahwat.
Demikianlah sekilas amalan praktis di Bulan Ramadhan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan berpuasa dibulan ramadhan bukan hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus. Orang yang berpuasa atas dasar keimanan, juga untuk mendekatkan diri kepada sangkhalik (taqarrub ilallah). Orang puasa akan mendapat dua kegembiraan, pertama sewaktu berbuka puasa.  Kedua kegembiraan bertemu dengan Allah  kelak, karena pahala puasa hanya Allah yang akan emberikan langsung. Berpuasa juga terwujudnya tatanan masyarakat  yang adil sejahtera didalam ridha dan ampunan Allah. Puncak dari amal ibadah puasa adalah melaksanakan Idhul Fitri. Sebagai lambang kegembiraan dan syukur kita kepada Allah SWT, mudah-mudahan segala amal ibadah kita selama bulan ramadhan diterima Allah serta dapat ridhan-Nya.minal aaidiin wal faaidzinin, taqabalallahu minna waminkum, taqabal ya kariim.

Senin, 24 Juni 2013

Khitan


Hukum Khitan Upaya pembentukan Generasi Qur’an
Oleh : Nur Muhammad
Manusia diciptakan Allah SWT. Untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah manusia dituntut untuk dapat membangun kehidupan yang layak dibumi, yakni kehidupan yang diridhai Allah SWT, karena menegakkan Qur’an Dan Sunnah-Nya. Sebaliknya suatu kejahatan yang besar jika tidak menerapkan Qur’an sunnah, apalagi malah membuat kerusakan di muka bumi. Allah berfirman :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs Al An’am (6) ayat 165.
Salah satunya tugas amanah yang harus diemban khalifah adalah tangung jawab menjaga keselamatan dan keutuhan umat, dengan cara pelestarian generasi umat, untuk melanggengkan keturunan yang bisa dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Apapun tingginya kemulian Al Qur’an jika tidak diamalkan tidak diterapkan dalam pengaturan perbuatan kehidupan manusia dunia. Niscaya kemuliaan itu tidak akan pernah tampak, bahkan rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) itu tidak akan pernah ada. Jika hanya syariat ada dalam gagasan dan teori aja, tanpa ada upaya penerapannya.
Maka Rasulullah,  mewujudkan islam rahmatan lil’alamin dari gagasan dan teoritis menjadi figur konkrit. Berhasil menjadikan para shahabat sebagai gambaran hidup dan keimanan, sebagai contoh kongkrit bagi umat Islam. Generasi Qur’ani dan masyarakat rabbani seperti kehidupan para shahabat, inilah menjadi masyarakat ideal yang menjadi impian kita bersama.  Itulah sekelumit gambaran tentang sikap hidup para sahabat Nabi. Maka  beberhasilan Rasulullah membagun kehidupan para shahabat tak terlepas dari  aspek tarbiyah atau pendidikan. Namun yang dimaksut pendidikan bukan hanya sekedar pendidikan formal disekolah-sekolahan. Tapi mencakup seluruh aspek kehidupan, dimulai sejak lahir didunia hingga akhir hayatnya, diantaranya pendidikan individu, keluarga, masyarakat, dan Negara. Begitu pula dengan materinya mencakup segala bidang, bidang agama, iman, moral, fisik, akal pikiran, psikologi, social, bahkan sampai pendidikan seksual.
Maka salah satu pendidikan terhadap seorang anak adalah mengkitankan  mereka, tapi jangan hanya puas mengkitankan saja,  tapi juga penghayatan makna kitan. Bahwa esensi dari kitan tersebut adalah konsekuensi spiritual dan social dari khitan itu.
Pengertia  Khitan
menurut bahasa Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan khifadh.

Adapun dalam istilah syariat, dimaksudkan dengan memotong kulit yang menutupi kepala zakar bagi laki-laki, atau memotong daging yang menonjol di atas vagina, disebut juga dengan klitoris bagi wanita.

Dalil Disyariatkan Khitan
Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai “kalimat” (perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah menjalankan perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai panutan dan imam seluruh alam.

Dalam surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim". [al Baqarah : 124].

Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :

الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

"Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis".

Di dalam Musnad Ahmad dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : ”Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sebagian dari fitrah adalah: berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air dari hidung), mencukur kumis, siwak, memotong kuku, membersihkan lipatan pada badan, mencabut bulu ketiak, istihdad, khitan dan bersuci".

Maksud dari fitrah adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia telah menganjurkannya demi kesempurnaan sifat mereka. Pada dasarnya sifat-sifat tersebut tidak memerlukan perintah syariat dalam pelaksanaannya, karena hal-hal tersebut disukai dan sesuai oleh fitrah.

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang berhubungan dengan hati dan dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mencintai serta mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang kedua, fitrah amaliah dan dia hal-hal yang disebut di atas. Yang pertama mensucikan ruh dan membersihkan kalbu, sedangkan yang kedua mensucikan badan, dan keduanya saling membantu serta saling menguatkan. Dan pokok fitrah badan adalah khitan.

Khitan bermula dari ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada seorangpun yang berkhitan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Ibrahim berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.

Setelah Nabi Ibrahim Shallallahu 'alaihi wa sallam, tradisi dan sunnah khitan berlanjut bagi semua rasul dan para pengikut mereka, sampai kepada al Masih, bahwa dia juga berkhitan. Orang Nashrani mengakui dan tidak mengingkari khitan tersebut, sebagaimana mereka mengakui haramnya daging babi, haramnya uang penghasilan hari Sabat, mereka mengakui shalat menghadap Shakhrah (sebuah batu sebagai kiblat Yahudi di Masdjid al Aqsha, Pen), dan mereka mengakui untuk tidak berpuasa lima puluh hari, yang puasa tersebut mereka namakan dengan "puasa besar".

Hikmah  Dan  Faidah Khitan
1.      Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin, menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek moyang bagi keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan merupakan celupan dan tanda Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :


صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةًَ


"Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?" Qs al Baqarah (2): 138

2.      Sebagai tanda 'ubudiah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dahulu, bahwa memberi tanda pada telinga atau badan pada budak sahaya sebagai pertanda penghambaan diri mereka kepada majikannya. Jika budak tersebut lari dari majikannya, ia dikembalikan kepadanya melalui perantara tanda tersebut. Maka tidak ada yang mengingkari, barangsiapa yang telah berkhitan dengan memotong kulit tersebut, berarti dia telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga semua orang mengetahui, barangsiapa yang melakukan khitan, berarti dia adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
3.      Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi hambaNya yang hanif.
4.      Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan nafsu syahwat. Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan perilaku hewan. Dan jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama dengan benda mati, tidak mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita mendapatkan, orang yang tidak berkhitan, baik dia laki-laki maupun perempuan, tidak puas dengan jima` (hiperseks). Dan sebaliknya, kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat membuatnya menjadi dingin terhadap laki-laki.
5.      Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan memuaskan pasangan.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ

"Dalam hadits Ummu `Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami"
6.      Setan berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada kulit yang tidak berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia tiup pada orang yang berkhitan.
Hukum Khitan
Para ulama berselisih dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat Pertama : Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat ini merupakan mazhab Syafi`iyah, Hanabfiyah dan sebagian Malikiyah rahimahullah, dan dari ulama terkemuka dewasa ini, seperti pendapat Syaikh al Albani.

Pendapat Kedua : Khitan itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan mazhab Hanafiyah pendapat Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat rahimahullah.

Pendapat Ketiga : Khitan wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita. Pendapat ini merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad, sebagian Malikiyah dan Zhahiriyah rahimahullah.




Dalil-Dalil
Dalil pendapat Pertama, yang mengatakan khitan wajib. Mereka berdalil dengan Kitab, Sunnah, atsar dan akal.
a. Dalil dari Kitab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ... الأية


"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)".Qs al Baqarah (2) : 124

Catatan: Sesungguhnya, khitan termasuk kalimat yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai bentuk ujian kepada Ibrahim Alaihissallam, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas; dan ujian, secara umum berlaku dalam hal yang wajib.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ


"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif". Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan".

Catatan: Khitan termasuk ajaran Ibrahim Alaihissallam, sehingga hal itu termasuk dalam keumuman perintah untuk diikuti. Dan asal dari perintah adalah wajib, sampai ada dalil lain yang memalingkannya.

b. Dalil dari Sunnah.
Hadits `Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Aku telah masuk Islam,” Nabi bersabda,”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "berkhitanlah", adalah 'amr (perintah); dan 'amr, hukum asalnya wajib, ia menunjukkan wajibnya berkhitan. Perkataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada satu orang, juga mencakup yang lainnya, hingga ada dalil pengkhususan.

Dan juga mereka berdalil sebagaimana yang diriwayatkan dari Zuhri, bahwa ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah, sekalipun sudah dewasa'." Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "maka hendaklah berkhitan", adalah 'amr; dan asal hukum 'amr, wajib dengan sighat (bentuk syarat) pada sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "Barangsiapa yang masuk Islam", lafadznya umum, mencakup laki-laki dan perempuan.

c. Atsar Salaf.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Al aqlaf (yaitu orang yang belum berkhitan), tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan sembelihannya".


d. Dalil Aqli.
Mereka berdalil dengan teori dan qiyas. Secara teori, dapat dilihat dari beberapa aspek.

Pertama : Diperbolehkan membuka aurat saat dikhitan. Jika khitan bukan merupakan hal yang wajib, niscaya tidak diperbolehkan; karena hal itu bukan hal yang bersifat darurat dan bukan pula untuk berobat.

Kedua : Kulit zakar dapat menahan najis, padahal membuang najis merupakan kewajiban ketika beribadah. Dan tidak ada cara menghilangkan kulit itu, kecuali dengan khitan. sehingga jadilah hukum hokum itu wajib, karena apa yang tidak bisa sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka jatuh hukumnya wajib.

Ketiga : Orang tua sebagai penyebab si anak merasakan sakit ketika dikhitan, dapat menyebabkan kematian jika sampai tetanus, serta sang ayah mengeluarkan hartanya untuk biaya tabib dan pengobatan. Jika hal itu tidak wajib, maka hal-hal tersebut tidak diperbolehkan.

Keempat : Sesungguhnya dengan berkhitan mendatangkan sakit yang luar biasa, tidak disyariatkan kecuali tiga keadaan: untuk mashlahat, atau hukuman, atau untuk melaksanakan sebuah kewajiban. Dalam khitan tidak mungkin karena dua yang pertama, sehingga jadi tersisa yang ketiga, yaitu untuk sebuah kewajiban.

Sedangkan istidlal (dalil) dengan qiyas.
Pertama. Khitan adalah pemotongan yang disyariatkan rawan tetanus, jadilah wajib seperti memotong tangan pencuri.
Kedua. Sesungguhnya khitan merupakan syiar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib sebagaimana hukum syiar Islam yang lain.

Dalil pendapat kedua, yang menyatakan khitan sebagai sunnah dan bukan hal yang wajib. Mereka berdalil dengan Sunnah.

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda: “Fitrah ada lima, di antaranya berkhitan …".

Catatan : Maksud dari fitrah adalah sunnah. Oleh karenanya, hukum khitan sunnah dan tidak wajib. Oleh karena khitan disejajarkan dengan yang bukan wajib seperti istihdad (mencukur bulu kemaluan).

Sebagaimana yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita" .

Catatan : Hadits ini menjadi nash dalam permasalahan bahwa khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita.

Dalil pendapat ketiga, mereka lebih memerinci sebagian dalil yang dikatakan oleh pendapat pertama, yaitu yang mengatakan wajib berkhitan bagi laki-laki dan wanita.

Mereka berkata,"Khitan bagi laki-laki lebih tegas, karena kalau dia tidak berkhitan, maka kulit yang menjulur pada ujung zakar dapat menghalanginya dari bersuci, sedangkan wanita lebih ringan. Maka jatuhnya wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi wanita.



Kesimpulanya.
Pertama. Secara umum, setiap dalil tidak lepas dari kritikan, sebagaimana yang telah disebutkan bantahan, setiap pendapat terhadap pendapat lainnya oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahn

Kedua. Pendapat pertama dan ketiga mempunyai persamaan dalam hukum khitan laki-laki, sedangkan hukum khitan perempuan sama-sama memiliki dalil yang sama-sama kuat.

Ketiga. Laki-laki diwajibkan berkhitan. Yang demikian ini merupakan pendapat jumhur, sebagaimana terdapat pada pendapat pertama dan ketiga. Dan pendapat ini yang lebih menenangkan hati, dari pendapat yang mengatakan khitan wanita itu sunnah, wallahu a`lam.

Sedangkan apa yang disebutkan oleh pendapat kedua pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, maka dapat kita jawab, jika kita menerima alasan mereka bahwa makna fitrah adalah sunnah, bukan berarti khitan tidak diwajibkan. Karena lafadz sunnah ada yang hukumnya wajib dan ada yang bukan wajib. Ia mencakup semua maknanya yang terkandung dalam syariat. Sedangkan membedakan antara sunnah dengan wajib, ini merupakan istilah baru.

Keempat. Sedangkan khitan perempuan -yang menenangkan hati saya- hukumnya wajib, karena wanita adalah syaqa-iq (saudara sederajat) dengan laki-laki dalam hukum.

Alasan yang membuat penulis menyatakan hukum tersebut wajib, karena dengan berkhitan, seorang wanita dapat menetralkan syahwat. Hal itu dapat membantu untuk iffah (menjaga kehormatan). Dan menjaga kehormatan sangat dituntut secara syariat. Sebagaimana kesucian zhahir menjadikan khitan itu wajib atas laki-laki, begitu juga kesucian jiwa, menjadikan khitan itu wajib atas wanita.

Waktu Khitan
Pelaksanaan khitan terbagi dalam tiga waktu.
Pertama : Waktu yang diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan sebelum itu. Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata: "Abdullah bin Abbas ditanya 'Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal?', ia menjawab,'Aku waktu itu baru berkhitan, dan mereka tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat baligh'.

Kedua : Waktu yang dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar, yakni masa ketika seorang anak sudah dianjurkan untuk shalat.
Ketiga : Waktu yang diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di atas.

Para ulama berselisih berkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran, apakah dianjurkan atau dimakruhkan? Sebagian memakruhkan khitan pada hari ketujuh. Demikian pendapat Hasan Basri, Ahmad dan Malik rahimahullah. Dalil mereka sebagai berikut.
Pertama : Tidak adanya nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya tentang khitan bayi? Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun khabar (dalil)".
Kedua : Tasyabbuh (meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad): "Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?" Beliau memakruhkannya sambil berkata: "Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah".
Sebagian membawanya kepada istihbab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab bin Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi bayi. Sedangkan sebagian lagi membawanya kepada hukum asal, yaitu boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir.


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Syaikh kami (Ibnu Taymiah) berkata,'Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma'il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak cucunya.Wallahu a'lam'."

Orang yang tidak perlu dikhitan
Ada empat keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.
Pertama : Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang seperti ini tidak perlu dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama. Hanya sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) berkata: "Dianjurkan pisau melewati tempat khitan, karena itu yang dapat dia lakukan, dan Nabi telah bersabda,'Jika aku perintahkan, maka lakukan semampu kalian".
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Yang benar, perbuatan ini makruh. Tidak perlu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengannya. Dan tidak perlu beribadah dengan semisalnya. Dan syariah berlindung dari hal itu, karena merupakan perbuatan sia-sia yang tidak ada faidahnya. Melewati pisau bukanlah tujuan. Akan tetapi sebagai sarana untuk sebuah tujuan. Jika tujuan telah tercapai, maka tidak ada artinya bagi sarana.

Kedua : Jika seseorang tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan, sebab sakit atau sudah tua, dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap dirinya kebinasaan dan kelemahan tersebut berlanjut, maka dalam keadaan seperti ini, ia diperkenankan untuk tidak berkhitan.

Ketiga : Seseorang masuk Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa karenanya; maka hukum khitan jatuh darinya menurut jumhur.

Keempat : Seseorang yang meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka tidak perlu dikhitankan, karena khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan itu telah hilang dengan kematian, maka tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.

Pandangan Yang Kering Keliru Dalam Hal Khitan
1.      Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid'ah.
2.      Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3.      Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4.      Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5.      Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
Wa shalallahu wa sallam 'ala Muhammadin tasliman katsira, wa akhiru da'wana, al hamdulillahi Rabbil 'alamin