Jumat, 29 November 2013

Jual Beli Kredit (al-Bay’ bi ad Dayn wa bi at-Taqsîth)

Al-Bay’ (jual-beli) secara bahasa artinya pertukaran, sedangkan secara syar‘i bermakna: mubâdalah mâl[in] bi mâl[in], tamlîk[anl wa tamalluk[an] ‘alâ sabîl at-tarâdhî (pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua pihak.
Jual-beli ada tiga bentuk. Pertama: jual-beli tunai; barang dan harga diserahterimakan pada saat akad. Kedua: jual-beli salaf atau salam (pesanan); harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu. Ketiga: jual-beli kredit, barang diserahkan pada saat akad, sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil. Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay’ bi ad-dayn wa bi at-taqsîth).
Syariah memperbolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282. Aisyah ra. Juga meriwayatkan: Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya. (HR al-Bukhari). Aisyah ra. Juga menuturkan bahwa Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga sembilan awqiyah yang dibayar satu awqiyah setiap tahun (HR al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan cara dicicil.

Beberapa Ketentuan
Jual-beli kredit memiliki tiga rukun: (1) Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz. (2). Shighât (ijab-qabul). (3) Mahal al-’aqd (obyek akad), yaitu al-mabi’ (barang dagangan) dan ats-tsaman (harga).
Di samping ketiganya juga terdapat syarat-syarat terkait dengan al-mabî’ (barang dagangan) dan harga. Al-Mabî’ itu harus sesuatu yang suci, tidak najis; halal dimanfaatkan; adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya; harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul. Jika barang dagangannya berupa tamar (kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab (emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh (garam) maka tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit. Rasul saw. bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai. (HR Muslim).
Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.
Di samping itu al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya. Rasul saw. bersabda:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).
Jual-beli kredit ini tidak seperti as-salaf atau as-salam yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. Jika barang itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit. Ketentuan ini menjadi salah satu titik kritis dalam muamalah al-murâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’—sering disebut murabahah saja—dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil, atau yang sejenis.1
Supaya akad jual-beli kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mabî’ itu dari penjual kepada pembeli. Jika al-mabî’ itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd, al-makîl wa al-mawzûn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan qabul, terjadilah perpindahan pemilikan atas al-mabî’. Intinya, pemilikan pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna jika tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharruf barang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi, dihibahkan dan sebagainya.
Adapun harga dalam jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang (dayn), baik dibayar sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi di atas.
Seseorang boleh menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kredit—biasanya lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli) (HR Ahmad dan Ibn Majah).
Jadi, seorang penjual berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pula pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai ataupun kredit. Namun, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual-beli, harus satu harga. Misal, boleh saja si A mengatakan, “Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu, kalau kredit sebulan 110 ribu.” Jika si B berkata, “Saya beli kredit satu bulan 110 ribu,” maka jual-beli itu sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, “Baik, saya setuju,” atau, “Baik, saya beli.” Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Mas‘ud mengatakan:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu akad (HR Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani).
Jika telah disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya, kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi tetapi dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya tidak boleh. Sebab, itu artinya telah terjadi dua jual-beli dalam satu barang atau satu jual-beli (bay’atayn fî al-bay’ah). Abu Hurairah berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu jual-beli (HR Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban).
Jika terjadi kasus tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا
Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya harga yang lebih rendah atau riba (HR Abu Dawud).
Jadi, jika terjadi kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga awal adalah riba.
Ada jenis jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp 10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli seperti ini yang menurut para fukaha dinamakan al-bay’ al-‘înah. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:
إذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ، وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللهِ، أَنْزَلَ اللهُ بِهِمْ ذُلاًّ، فَلَمْ يَرْفَعْهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوْ دِينَهُمْ
Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli secara al-‘înah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).
Wallâh a‘lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

Catatan kaki:
1 Masalah murabahah li al-âmir bi asy-syirâ’ (murabahah) dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil dan muamalah semisalnya, perlu pembahasan tersendiri secara lebih rinci.

Tanya Jawab Soal: Seputar Jual Beli Dengan Angsuran Dengan Adanya Klausul Penalti


Pertanyaan:
Apakah akad jual beli dalam kondisi harga barang ditetapkan dengan tempo dengan angsuran bulanan disertai klausul syarat penalti di mana nilai angsuran dinaikkan pada kondisi pembeli tidak mampu atau terlambat membayar angsuran pada waktunya, apakah jual beli tersebut syar’i?

Jawab:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Jual beli dengan harga segera (kontan) terakadkan. Demikian juga jual beli dengan harga tempo yaitu dengan angsuran juga terakadkan. Akan tetapi, tidak boleh harga dinaikkan disebabkan ketidakmampuan pembeli membayar angsuran tepat waktu. Akan tetapi jika tidak bayar itu terjadi dari orang kaya yang mengulur-ulur pembayaran maka terhadapnya dijatuhkan sanksi dari negara, yakni terhadapnya diajukan dakwaan mengulur-ngulur pembayaran. Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Amru bin asy-Syarid dari bapaknya dari Rasulullah saw beliau bersabda:
«لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ، وَعُقُوبَتَهُ»
Mengulur-ulur waktu pembayaran oleh orang kaya yang mampu membayar menghalalkan kehormatannya dan sanksinya.

Layyu yakni mengulur-ulur, dan al-wâjidu yakni orang kaya yang mampu membayar, dan yuhillu ‘irdhahu yakni halal dikatakan ia mengulur-ulur dan itu dikatakan dengan keras, sementara ‘uqûbatahu maknanya jelas (yakni halal dijatuhkan sanksi terhadapnya – pent) …
Jika tidak bayar itu disebabkan kesulitan, maka dia diberi tangguh hingga mempunyai kelapangan. Allah SWT berfirman:
﴿ وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (TQS al-Baqarah [2]: 280)

Atas dasar itu maka jika terakadkan jual beli kontan atau dengan angsuran, maka harga telah jadi mengikat kedua pihak. Tidak boleh dinaikkan harganya dikarenakan ketidakmampuan membayar. Jika tidak maka itu adalah riba. Jenis riba tersebut dahulu tersebar luas pada masa jahiliyah. Diriwayatkan dari asy-Syafi’iy ia berkata:
وَكَانَ مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ، فَيَقُولُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ: تَقْضِي أَوْ تُرْبِي، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَلَيْهِ وَأَخَّرَهُ
Termasuk riba jahiliyah adalah seorang laki-laki memiliki utang kepada orang lain lalu utang itu jatuh tempo, lalu pemilik utang (kreditor) berkata: engkau bayar atau engkau tambah, maka jika ia menunda (mengakhirkan), utangnya dinaikkan dan diakhirkan (ditunda jatuh temponya)

Ringkasnya, bahwa harga yang disepakati di awal bersifat mengikat kedua pihak. Harga tidak boleh dinaikkan karena ketidakmampuan membayar pada waktunya dan ditangguhkan ke waktu lain dengan dinaikkan harganya. Jika tidak itu adalah riba.

Tanya Jawab Soal Seputar Aurat Wanita terhadap Wanita



Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Mohon penjelasan batasan aurat wanita terhadap wanita disertai dengan dalil syar’i dan penjelasan masalah tersebut secara penuh. Juga arah penarikan dalil untuk mereka yang mengatakan bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah antara lutut dan pusar serta arah penarikan dalil mereka yang mengatakan bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah tempat-tempat perhiasan semisal aurat wanita terhadap mahram.

Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Berkaitan dengan aurat wanita terhadap wanita, ada dua pendapat fiqhiyah yang masing-masing memiliki arah penarikan dalil:
Pertama: bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusar dan lutut. Sebagian fuqaha berpendapat demikian.
Kedua, aurat wanita terhadap wanita adalah seluruh tubuh dengan pengecualian tempat-tempat wanita berhias sesuai kebiasaan. Yakni kecuali kepala (rambut) yang merupakan tempat mahkota, wajah tempat celak, leher dan dada tempat kalung, telinga tempat giwang dan anting, lengan atas tempat gelang, lengan bawah tempat gelang tangan, telapak tangan tempat cincin, betis tempat gelang kaki dan kaki tempat cat kuku.
Adapun selain itu, yakni selain tempat-tempat perhiasan yang biasa untuk wanita, maka termasuk aurat wanita terhadap wanita. Yakni bukan hanya antara pusar dan lutut…
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
﴿ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ﴾
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (TQS an-Nur [24]: 31)

Mereka semuanya boleh memandang dari wanita berupa rambut, lehernya, tempat kalung, giwang, gelang dan organ lainnya yang bisa disebut tempat perhiasannya. Sebab Allah berfirman : walâ yubdîna zînatahunna -dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka- yaitu tempat perhiasan mereka.
Di dalam ayat tersebut disebutkan mahram-mahram dan juga disebutkan wanita. Maka wanita boleh memandang tempat-tempat perhiasan mereka satu sama lain. Sedangkan selain tempat-tempat perhiasan wanita maka tetap merupakan aurat wanita di hadapan wanita lainnya.
Inilah yang rajih menurut kami sesuai dalil. Kami katakan “yang rajih”, sebab ada yang menjadikan aurat wanita terhadap wanita seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusar dan lutut.

Investasi Menguntungkan


Miliki Segera Apartemen  Apartemen 1 Rupiah – Paragon Square
 
BroadBiz Asia, pengembang properti asal Tangerang, melalui proyek Apartemen Paragon Square, meluncurkan program “Apartemen 1 Rupiah
Program “Apartemen 1 Rupiah” merupakan program unggulan dan Apartemen Paragon Square dimana konsumen dapat membeli Apartemen hanya dengan 1 rupiah saja.
Program “Apartemen 1 Rupiah” dijalankan melalui sistem asuransi dan KPA Refund, sehingga KPA yang dibayarkan konsumen setiap bulannya akan menjadi sama seperti menabung saja.
Selain itu, konsumen akan mendapatkan proteksi ganda dalam bentuk pertanggungan asuransi selama masa 10 – 15 tahun.
Segera miliki Apartemen Paragon Square dengan hanya 1 Rupiah saja di lokasi yang sangat strategis di tengah Kota Tangerang.
Informasi lebih lanjut mengenai program “Apartemen 1 Rupiah”, silahkan hubungi:
SALAMAH
Marketing Executive
081-811-6097
0821-1208-1652