Selasa, 28 Januari 2014

SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial

SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial

Saat ini institusi bisnis asuransi multinasional tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia
Mulai 1 Januari 2014 pemerintah mulai memberlakukan sistem jaminan sosial. Ini adalah tindak lanjut Perpres No. 12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan dan PP 101/2012  tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebagai implementasi UU SJSN.
Menyongsong pelaksanaan itu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi aktif tampil di layar kaca. Dengan gaya keibuannya, ia mengemukakan betapa jaminan sosial ini akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Begitukah?
Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditetapkan di Indonesia ini merupakan bagian dari Konsesus Washington dalam bentuk Program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis.
SJSN ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan sosial, yaitu sistem asuransi. Namanya terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya di bidang kesehatan.
Hal ini bisa dilihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Dalam  Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS  secara berkala.
Dari dua pasal itu bisa dipahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri. Lalu sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang teregister atau tercatat membayar iuran.
Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
Adapun BPJS adalah lembaga yang dibentuk  berdasarkan  UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN.  BPJS akan menjadi lembaga superbody yang memiliki kewenangan luar biasa di negara ini untuk merampok uang rakyat. Tidak hanya kepada para buruh, sasaran UU ini adalah seluruh rakyat Indonesia. Kedua UU tersebut  mengatur asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosial itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pada Pasal 1 huruf (g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib.
Inilah fakta sebenarnya  dan bahaya  UU SJSN dan BPJS bagi rakyat. Rakyat dipalak sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memalak. UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang tidak mau membayar premi. Jadi, bohong jika dikatakan bahwa UU ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Saat ini institusi bisnis asuransi multinasional tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibuka antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf (b); disebutkan bahwa BPJS berwenang menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia. Arim Nasim/Lajnah Mashlahiyyah DPP HTI

Apakah SJSN dan BPJS Kompatibel Dengan Konsep Jaminan Dalam Islam?

(Tanggapan terhadap Agustianto dalam Artikel “BPJS dan Jaminan Sosial Syariah”)

Oleh Yuana Ryan Tresna *
Pendahuluan
Ulama terkemuka Taqiyuddin al-Nabhani (2004: 13) sejak puluhan tahun silam sudah mengingatkan kepada kaum Muslim terkait dengan kekayaan apa yang paling berharga bagi umat ini. Beliau menegaskan bahwa pemikiran, bagi umat manapun, adalah sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya yang mereka miliki dalam kehidupan mereka. Bahkan, ia merupakan peninggalan yang demikian berharga yang akan diwariskan kepada generasi penerusnya. Adapun yang dimaksud dengan pemikiran di sini adalah adanya aktivitas berfikir pada diri umat tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi, di mana mereka masing-masing secara keseluruhan senantiasa menggunakan pengetahuan (knowledge) yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta ataupun fenomena untuk menentukan hakikat fakta atau fenomena tersebut. Hal inilah yang akan melahirkan kreativitas dan produktivitas pemikiran. Sayangnya, umat Islam saat ini bisa dianggap sebagai umat yang telah kehilangan pemikirannya, dan tentu saja telah kehilangan metode berfikirnya yang produktif dengan paradigma tasyri’i. Hal itu dibuktikan dengan tidak berdayanya mayoritas umat hari ini –termasuk sebagian para intelektualnya- untuk mengontruksikan kembali bangunan keilmuan Islam yang genuine dalam beragam seginya. Dalam kasus Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), melahirkan ragam pendapat dan tidak sedikit yang menunjukkan tidak berdayanya sebagian intelektual muslim untuk menetapkan hukum Islam yang shahih pada kasus tersebut. Bukannya memberikan pencerdasan pada umat, malah menjadikan nash-nash yang ada sebagai alat legitimasi atas kebijakan penguasa yang hakikatnya bukan berangkat dari kerangka Islam, sehingga akhirnya terkesan sangat Islami. Salah satunya tulisan Agustianto dalam artikelnya “BPJS dan Jaminan Sosial Syariah” di laman www.dakwatuna.com yang telah mengundang penulis untuk memberikan tanggapan.
Fakta SJSN dan BPJS
Pemahaman terhadap fakta SJSN dan BPJS sangat penting sebelum kita memberikan penilaian yang utuh terhadap konsep jaminan sosial yang baru saja diberlakukan di Indonesia. Tanpa pemahaman yang utuh maka mustahil akan melahirkan penilaian yang benar.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini adalah amanat dari UU No. 40 thn. 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 thn. 2011 tentang BPJS. UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan, “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”. Prinsip asuransi sosial  sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 3, “adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya”. Adapun yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan. JKN adalah asuransi sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Itu artinya wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan wajib UU SJSN, yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta asuransi sosial kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan. Di dalam Pasal 17 disebutkan: (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala”.
Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.
Dalam implementasinya, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 101 tentang PBI dan Peraturan Presiden No. 12 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan nominal iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap kelas 3. Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari pekerja dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap kelas 1 untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap kelas 2 untuk di bawah golongan III. Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan mendapat layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali pendapatan tidak kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2 jika bergaji di bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni 2015, ia harus membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota keluarga), dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20 ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu dikalikan jumlah pekerjanya.
Sementara untuk pekerja bukan penerima upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa (layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib dibayarkan tiap bulan.
Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasal 40 UU BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat Pasal 11 UU BPJS, dana itu dapat diinvestasikan, misalnya dalam bentuk deposito berjangka, surat utang, obligasi korporasi, reksadana, properti dan penyertaan langsung. Di dalam pasal 11 UU BPJS disebutkan: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk: a. menagih pembayaran Iuran; b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai”.
Itulah sekilas fakta JKN sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN dan UU BPJS. Dengan pemahaman atas fakta tersebut di atas penulis berharap kita bisa memberikan penilaian yang objektif atas substansi dari UU SJSN dan UU BPJS tersebut.
Menyoal Konsep al-Takmin al-Ta’awuniy 
Mengawali pandangannya, Agustianto menyajikan teori Ahmad Muhammad ‘Assal yang menyebutkan bahwa tiga rukun ekonomi Islam yakni kepemilikan (al-milkiyyah),  kebebasan (al-hurriyyah) dan jaminan sosial (al-takaful al-ijtima’iy). Sayangnya Agustianto tidak merinci gagasan Muhammad ‘Assal tersebut berikut dengan landasan filosofisnya. Hal itu dapat dimengerti karena artikel tersebut bukan sedang membedah prinsip-prinsip ekonomi Islam secara khusus. Hanya saja, ketiga rukun tersebut dapat diperdebatkan keshahihannya dan bentuk aplikasinya. Kepemilikan sebagai sebuah rukun, dapat dipahami kehujjahannya. Karena secara faktual persoalan ekonomi pasti dimulai dari persoalan kepemilikan atas suatu kekayaan. Adapun kebebasan dan jaminan sosial, tentu harus ditempatkan sebagai bagian dari cabang ekonomi, dan dalam pengamalannya perlu koridor hukum dalam mengaturnya.
Kemudian Agustianto mengajukan sebuah tesis bahwa jaminan sosial dalam studi Islam dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu jaminan sosial tradisional, yakni tanggung jawab negara untuk menjamin kebutuhan dasar rakyatnya melalui instrumen-instrumen filantropi seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan bahkan termasuk pajak; dan jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (al-takmin al-ta’awuniy).
Di dalam khazanah pemikiran Islam, khususnya terkait dengan politik ekonomi (al-siyasah al-iqtishadi) Islam, dapat dipahami dengan mudah bahwa konsep jaminan dalam Islam adalah jaminan negara untuk kepada seluruh warga negara terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar tiap individu serta menetapkan regulasi untuk mencapai kesejahteraan warganya.
Penulis bukan tidak tertarik menanggapi istilah “jaminan sosial tradisional” –yang penulis pandang masih parsial dan tidak esensial-, tetapi agar artikel ini fokus, penulis hanya akan memberikan tanggapan pada terminologi kedua yakni “jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (al-takmin al-ta’awuniy)”. Ada kesimpulan yang tergesa-gesa yang perlu penulis kritisi; dengan berpijak pada al-Qur’an dan al-Hadits tentang perintah saling menolong (ta’awun), Agustianto menyimpulkan bahwa implementasi dari doktrin syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan.
Diantara dalil yang sering dikemukakan dalam asuransi termasuk asuransi sosial adalah firman Allah Swt.,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah [5]: 2)
Juga sabda Rasul Saw.,
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا دَامَ اَلْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba menolong saudaranya. (HR. Muslim)
Dan sabda Nabi Saw. yang lain,
«إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ.»
Bahwa keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau makanan keluarga mereka di Madinah menipis, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Seluruh ayat al-Qur’an dan al-Hadits terkait topik ta’awun sebagaimana contoh di atas, dari aspek dalalah, wajh al-istidlal, dan thariq al-istidlal sebenarnya hanya menjelaskan kewajiban saling menolong (ta’awun), tidak menjelaskan secara spesifik tentang al-takmin al-ta’awuniy. Adapun mengenai konsep al-takmin al-ta’awuni (al-takafuli) sebenarnya bukanlah tabarru’ (donasi). Karena akad tabarru’ dalam konsep ta’awun di dalamnya tidak ada ruang untuk keuntungan atau mencari keuntungan. Karena sifat aktivitas itu sebagai akad tabarru’ bukan mu’awadhah dari dua pihak. Tabarru’ adalah tasharruf dari satu pihak saja, karena orang yang berderma perannya berakhir dengan donasinya itu. Pada faktanya asuransi sosial BPJS (yang diklaim sebagai al-takmin al-ta’awuniy) bukanlah ta’awun dalam rangka kebaikan dan ketakwaan. Akan tetapi ia merupakan investasi untuk harta yang dibayarkan. Hal tersebut tercermin dari pasal 11 UU BPJS. Konsekuensi dari tabarru’, sebenarnya dana donasi tidak boleh ditempatkan untuk investasi. Selain itu, gharar terjadi di dalamnya, karena orang yang berpartisipasi tidak tahu kapan peristiwa akan terjadi terhadapnya. Tegasnya, dengan sistem asuransi sosial ini, setiap warga negara harus membayar premi setiap bulannya, baik dia sakit ataukah tidak.
Asuransi sosial ini juga merupakan pertanggungan (dhaman) dari BPJS yang terbentuk dari orang-orang yang berserikat terhadap partisipan yang mengalami kejadian. Karena itu syarat-syarat pertanggungan (al-dhaman) di dalam Islam wajib diterapkan terhadapnya. Sayangnya, syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam terkait pertanggungan (dhaman) tidak bisa dipenuhi oleh BPJS.
Syarat pertanggungan (dhaman) yang dimaksud adalah: (a) Di sana wajib ada hak yang wajib ditunaikan yang berada di dalam tanggungan, yaitu bahwa kejadian yang terjadi kemudian perusahaan memberikan pertanggungan kepada seseorang yang mengalami kejadian. Artinya membayar konsekuensi yang muncul dari kejadian itu; (b) Di sana harus tidak ada kompensasi, yakni penanggung tidak mengambil kompensasi baik disebut keuntungan atau surplus atau partisipasi (premi); (c) Akad asuransi sosial harus merupakan akad yang syar’i dengan memenuhi syarat-syarat syirkah di dalam Islam, yaitu adanya harta dan badan, bukan syirkah harta saja. Asuransi yang dipaparkan untuk dibahas ini adalah syirkah harta. Semuanya hanya menyetor harta. Hingga badan penyelenggara yang mengelola urusan asuransi ini adalah representasi dari harta mereka bukan representasi bagi badan mereka. Jadi tidak ada seorang pun dari mereka yang berserikat dengan badannya, akan tetapi hanya dengan hartanya. Fakta asuransi itu dilihat dari sisi syirkah adalah sama seperti syirkah musahamah, yaitu syirkah harta; (d) Di sana tidak boleh ada investasi harta, apalagi dengan jalan yang tidak syar’i, melalui perusahaan lain, apapun nama dan sebutannya baik disebut investasi ataupun reasuransi. Dalil-dalil hal itu adalah dalil-dalil syirkah harta dan dalil-dalil al-dhaman. Semuanya dipaparkan di dalam kitab al-Nizhâm al-Iqtishadi fi al-Islam (al-Nabhani, 2004: 148 dam 161).
Mendudukan Konsep Maqashid al-Syari’ah
Konsep maqashid al-syari’ah boleh dikatakan merupakan gagasan al-Syatibi sebagaimana tertuang dalam al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah,  dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (al-Syatibi, t.th: 2-3). Selanjutnya al-Syatibi membagi maqashid menjadi tiga bagian, yaitu dharuriyât, hajiyat, dan tahsinât. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsinat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis dan menutup aurat. Dharuriyat  beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mâl) (al-Syatibi, t.th: 4). Dari konsep ini dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah yang dimaksud oleh penggagasnya sendiri tidaklah bebas, melainkan ada koridor yang tertentu membatasinya.
Lebih ketat lagi, Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan maqashid al-syari‘ah dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (2005: 359-366). Pandangan al-Nabhani secara umum bahwa maslahat adalah akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Konsep al-Nabhani ini dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep maqashid al-syari‘ah secara gegabah. Pandangan al-Nabhani ini mencakup 4 (empat) prinsip penting: (1) kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan syariat; (2) maqashid al-syari’ah adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan; (3) hikmah penerapan syariat tidak selalu terwujud;  dan (4) hikmah penerapan syariat hanya bisa diketahui melalui dalil syariat.
Berdasarkan konsep yang lebih kuat ini, bahwa syariat tidak didasarkan pada ‘illat maslahat. Dengan kalimat lain, maslahat bukanlah ‘illat (motif) penetapan suatu hukum syariat. Hanya saja, dengan studi yang komprehensif (istiqra’) dapat ditetapkan bahwa seluruh hukum syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam lima perkara; menjaga agama, akal, keturunan, jiwa, dan harta (Abdullah, 1995: 273).
Benar bahwa sebagian ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah menetapkan bahwa maslahat layak menjadi ‘illat bagi hukum-hukum syariat, tetapi maslahat ini lebih dipahami sebagai pertanda hukum (amarah al-hukm), bukan sebagai latar belakang/motif penetapan hukum (ba’its ‘ala al-hukm). Jadi, maslahat dipahami lebih dekat pada sebab (al-sabab) dari pada ‘illat.
Dengan demikian, logika maslahat untuk membenarkan program BPJS –bahkan dipandang sebagai program yang mulia dan sesuai syariah- tentu tidak tepat dilihat dari sisi manapun. Dalam hal ini, kaidah fikih aynama takunu al-maslahah fa tsamma syar‘ullah (di mana ada maslahat, disana ada hukum Allah) tidak dapat diamalkan. Alasannya karena maqashid al-syari‘ah haruslah secara disiplin diketahui dan dipahami dengan baik berdasarkan nash, bukan pertimbangan akal.
Adapun posisi maslahat sebenarnya merupakan akibat dari penerapan syariat secara keseluruhan. Islam adalah din agung yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan masyarakat.  Islam datang dengan seperangkat aturan multidimeni yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendirinya. Tidak hanya itu, Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Perangkat hukum Islam ini diturunkan oleh Allah Swt., yakni agar ia menjadi rahmat atas seluruh umat manusia. Allah Swt berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Mohammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya’: 107).
Konsep Jaminan Sosial dalam Islam
Membincang tentang konsep jaminan sosial dalam Islam –atau lebih tepatnya jaminan Islam terhadap individu dalam masyarakat- mengingatkan kita pada buku al-Islam Dhaminun li al-Hajat al-Asasiyah likulli Fardin wa Yu’malu li Rafaahiyatihi )Al-Badri, 1408 H: 25). Meskipun hanya merupakan buku kecil, tetapi kutaib karangan ulama besar asal Irak tersebut memberikan gambaran yang sangat utuh dan cemerlang bagaimana Islam memberikan jaminan kepada setiap individu anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok sekaligus upaya tercapainya kesejehteraan. Buku itu menarik untuk dijadikan rujukan karena konsepnya yang orisinil didasarkan pada dalil-dali syara’ dan terbebas dari pengaruh dan doktrin pandangan hidup lain, seperti sistem ekonomi dan politik kapitalisme.
Islam diterapkan untuk menjamin hak-hak keadilan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Selain itu, tendensi diberlakukannya Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenangan jiwa, kebahagiaan hidup, dan terpeliharanya urusan manusia dalam Islam. Allah Swt. berfirman,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami turunkan dari al-Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-Isra’: 82)
Islam memandang individu manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu, Islam memandang individu dan jamaah sebagai umat yang satu. Urusan mereka diatur dengan sistem dan tata aturan yang akan membawa mereka dalam kehidupan yang tenang, bahagia, dan sejahtera. Sebagian dari sistem tersebut adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok tiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, serta kesempatan kerja. Karena pada dasarnya, manusia berjalan di muka bumi ini untuk memenuhi kebutuhan asasinya dan kebutuhan pelengkapnya sebatas kemampuannya.
Dari sini kebijakan ekonomi yang dibuat adalah, pertama, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah), yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individual. Tidak boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki maupun disewa). Dalam hal ini negara memberikan peluang kerja seluas-luasnya, dan menyantuni mereka yang lemah dan papa. Kedua, negara memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini negara memberi fasilitas seluas-luasnya. Ketiga, negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan.
Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu dengan pemenuhan secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya (baik sekunder maupun tersier) sesuai dengan kadar kesanggupannya. (al-Nabhani, 2004: 60). Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara, tetapi justru memperhatikan terjamin-tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut.
Islam juga memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk kepada perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami, serta memiliki kemampuan keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah Saw. menerima tebusan tawanan perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau Saw. dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (al-Badri, 1408  H: 30)
Pada tataran aktual, dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashalih wa al-marafiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah (pengurusan) negara sesuai dengan sabda Rasul Saw.
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR. al-Bukhari)
Secara praktik kesehatan, penyediaan layanan kesehatan gratis telah dipraktikkan dan dicontohkan oleh Nabi Saw. sebagai kepala negara, dan para Khulafa’ al-Rasyidin. Hal itu menjadi sunnah Nabi Saw. dan ijma’ shahabat bahwa negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Beberapa praktik jaminan dalam Islam dapat kita simak dalam pragmen-pragmen kisah Rasulullah Saw. dan generasi setelahnya. Diantaranya kisah berikut,
بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقا ثم كواه عليه
Rasulullah Saw telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (dengan besi panas) pada urat itu. (HR. Muslim).
Dalam riwayat yang lain,
عن زيد بن أسلم عن أبيه قال مرضت في زمان عمر بن الخطاب مرضا شديدا فدعا لي عمر طبيبا فحماني حتى كنت أمص النواة من شدة الحمية
Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu. (HR. al-Hakim).
Pada masa lalu, dalam sejarah emas peradaban Islam, banyak rumah-rumah pengobatan didirikan. Bahkan negara mendorong sepenuhnya riset terhadap obat-obatan serta teknik-teknik pengobatan baru. Rasulullah Saw. pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta dari Bait al-Mal. Dalam buku Tarikh al-Islam al-Siyasi, diceritakan bahwa ‘Umar ra. telah memberikan sesuatu dari Bait al-Maal untuk membantu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syams, ketika ia melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali. Bahkan Khalifah Walid bin Abdul Malik secara khusus memberikan bantuan kepada orang yang terkena penyakit lepra. (al-Badri, 1408 H: 30).
Sedangkan dalam SJSN dan BPJS sebaliknya, terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung, melalui pemberi kerja, dan melalui bantuan negara bagi rakyat miskin. Jadi, jelas UU ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial warganya. Selain itu, jaminan sosial ini hanya bersifat parsial, tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan secara menyeluruh.
Jika konsep Islam demikian, lantas dari mana sumber pendanaannya? Dana untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, aneka tambang, migas, panas bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat. Hal ini tentu akan sempurna dengan penerapan sistem ekonomi Islam dalam negara.
Penutup
Dengan memperhatikan poin-poin yang penulis sampaikan di atas, maka program BPJS ini bukan hanya bermasalah secara konsep, tetapi juga keliru dari sisi kebijakan (politik ekonomi). Oleh karena itu, program ini harus ditolak, bukan malah disosialisasikan. Hal ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kita untuk kembali menengok konsep Islam, yakni bagaimana jaminan Islam terhadap setiap individu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan bagaimana regulasi negara dalam mendorong setiap warganya untuk mendapatkan kesejahteraan. Refleksi atas realitas itu tidaklah sulit, jika kita mau belajar pada sejarah, sejarah peradaban Islam, yakni sejarah kebesaran khilafah Islam yang telah mampu mewujudkan kesejahteraan bagi warganya. Wallahu a’lam.
* Penulis adalah dosen ushul fiqih dan fiqih rekayasa keuangan pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung.

Daftar Pustaka
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fî Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Bayariq.
Al-Badri, Abdul Aziz. 1408H. Al-Islam Dhaminun li al-Hajat al-Asasiyah likulli Fardin wa Yu’malu li Rafaahiyatihi. Beirut: Dar al-Nahdhah al-Islamiyah.
Al-Nabhani, Taqiyuddin. 2004. Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Beirut: Dar al-Ummah.
Al-Nabhani, Taqiyuddin. 2005. Al-Syakhshiyah al-Islamiyyah. Juz III (Ushul al-Fiqh). Beirut: Dar al-Ummah.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Al-Syarikat fi al-syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh‘i. Beirut: Mu’assah al-Risalah.
Al-Syatibi, Abu Ishaq.  Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Ta‘liq oleh Muhammad Al-Hidhr Husain. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
Dokumen. 2012. Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019. Jakarta: Kementerian Republik Indonesia.
Dokumen. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 thn. 2011 tentang BPJS.

Nafâits Tsamarât: Doa Untuk Orang Yang Sakit

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi saw menjenguk di antara anggota keluarganya yang sedang sakit, lalu Beliau mengusap dengan tangan kanannya dan berdoa:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبْ الْبَاسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
Ya Allah, Tuhan Penguasa seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, karena Engkaulah yang berkuasa menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari Engkau, dengan kesembuhan yang tidak menyisakan sakit.” (HR. Bukhari – Muslim).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata kepada Tsabit rahimahullah: “Maukah kamu aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah saw?” Tsabit berkata: “Tentu aku mau”. Anas berdoa:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
Ya Allah, Tuhan Penguasa seluruh manusia, yang menghilangkan penyakit, sembuhkanlah ia, karena Engkaulah yang berkuasa menyembuhkan, tidak ada yang berkuasa menyembuhkan kecuali Engkau, dengan kesembuhan yang tidak menyisakan sakit.” (HR. Bukhari).
Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu berkata:
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad.” (HR. Muslim).
Dari Abi Abdillah Utsman bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mengadu pada Rasulullah saw tentang rasa sakit yang ada pada tubuhnya. Lalu, Rasulullah saw berkata kepadanya: “Letakkan tanganmu di atas tubuhmu yang terasa sakit, dan bacalah:
بِسْمِ اللهِ
Dengan menyebut nama Allah,” 3X. Kemudian bacalah sebanyak 7X:
أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Aku berlindung kepada kemuliaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku dapati dan aku khawatirkan.” (HR. Muslim).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi saw bersabda: “Barang siapa yang menjenguk orang sakit, sementara ajalnya belum tiba. Lalu ia membacakan doa ini 7X di sisinya:
أَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ
Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan pemilik arsy yang besar, semoga Dia (Allah) menyembuhkanmu,” kecuali Allah akan menyembuhkannya dari sakit (penyakit) itu.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Ia berkata ini hadits shahih. Sementara al-hakim berkata: hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari).
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw menjenguk orang Arab badwi yang sedang sakit. Sedang kebiasaan beliau apabila menjenguk orang yang sakit, beliau bersabda:
لاَ بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللهُ
Jangan khawatir, (dosa dan kesalahanmu) dibersihkan, in syaa Allah.” (HR. Bukhari).

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 25/1/2014.