Nafaits
Tsamarat: AKu
Heran Pada Tiga Hal
قال يحيى بنُ معاذ: عَجِبْتُ مِن
ثلاثة: رجُل يَرائي بِعَمَلِهِ مخلوقًا مِثْلَه وَيتركُ أنْ يَعْمَلَهُ للهِ،
وَرَجُل يَبْخَلُ بِمالهَ وَربهُ يستقرْضُه مِنه فلا يُقْرِضُهُ مِنه شَيْئًا،
وَرَجُل يَرغَبُ في صُحْبةِ المخُلوقَين وَمَوَّدتِهَم والله يَدْعِوهُ إِلَى
صُحْبَتِهِ وَمَودَته. (عبد الْعَزِيز بن محمد السلمان، موارد الظمآن لدروس الزمان
الجزء الأول).
Yahya bin Mu’ad berkata: “Aku heran
pada tiga hal: Pertama, seseorang yang beramal dengan riya’
(dipamerkan) kepada makhluk sesamanya, sebaliknya ia enggan beramal karena
Allah. Kedua, seseorang yang kikir dengan hartanya, sementara Tuhannya
meminta pinjaman padanya, namun ia tidak meminjamkan sedikitpun harta pada-Nya.
Ketiga, seseorang yang senang bersahabat dan berkawan dengan para
makhluk, sementara Allah menyerunya agar bersahabat dan berkawan dengan-Nya.”
(Abdul Aziz bin Muhammad Salman, Mawârid al-Dzam’ân li Durûs al-Zamân Juz II).
Nafaits Tsamarat: Kebaikan Itu Ada Pada Tiga Hal
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: “Kebaikan itu ada pada tiga hal. Sehingga apabila ketiganya ini ada pada seseorang, maka sempurnalah imannya: Orang yang apabila ia senang, maka kesenangannya itu tidak memasukkannya ke dalam kebatilan; orang yang apabila ia marah, maka kemarahannya itu tidak mengeluarkannya dari kebenaran; dan orang yang apabila ia mampu-membalas kejahatan (dendam), maka ia memaafkannya.”Seseorang menyampaikan sebuah perkataan kepada Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Umar berkata: “Anda ingin setan menghancurkan aku karena kebesaran kekuasaan. Aku hari ini sedang mendapatkan dari Anda apa yang akan Anda dapatkannya dari aku besok. Pergilah, semoga Allah merahmati Anda.”
(Kitab Adab ad-Din wa ad-Dunya, Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi asy-Syafi’iy)
Nafaits
Tsamarat: Malu dan Keutamaannya
Dari Ibnu Umar-semoga Allah meridhoi
keduanya-bahwa Rasulullah Saw melewati (bertemu) seseorang di antara kaum
Anshor yang sedang menasehati saudaranya terkait sifat malu, (karena ia begitu
pemalu hingga banyak hak-haknya yang tidak terpenuhi, maka saudaranya itu pun
marah). Melihat itu, Rasulullah Saw bersabda:
«دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ اْلإِيمَانِ»
“Biarkan
ia-dengan sifat malunya itu-sebab malu itu sebagian dari keimanan.” (HR.
Al-bukhari dan Muslim).
Dari Imran bin Hushain-semoga Allah
meridhoi keduanya-yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ»
“Malu
itu tidak akan mendatangkan (sesuatu), kecuali kebaikan.” (HR.
Al-bukhari dan Muslim).
Sedangkan dalam riwayat Muslim, Rasulullah
Saw bersabda:
«الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ»
“Malu
itu semuanya adalah kebaikan.”
Atau beliau bersabda:
«الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ»
“Malu
itu semuanya adalah kebaikan.”
Dari Abu Hurairah-semoga Allah
meridhoinya-bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ
الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ»
“Iman itu memiliki tujuh puluh
tiga lebih atau enam puluh tiga lebih cabang. Sedang yang paling utama (tinggi)
adalah ucapan ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah’; sementara
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan(batu, duri, kotoran, dll) dari
jalan. Dan malu itu merupakan cabang dari keimanan.” (HR. Al-bukhari dan
Muslim).
Dari Abu Sa’id al-Khudri-semoga
Allah meridhoinya-yang mengatakan:
«كَانَ رَسُولُ اللّهِ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي
خِدْرِهَا فَإِذَا رَأَى شَيْئاً يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ»
“Rasulullah Saw lebih pemalu dari
pada perawan yang sedang dalam kamar pribadinya. Ketika beliau melihat sesuatu
yang dibencinya, maka kami melihat hal itu dari wajahnya.” (HR.
Al-bukhari dan Muslim).
Para ulama mengatakan bahwa hakikat
malu adalah tabiat (kebiasaan) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan
perbuatan atau apapun yang buruk, keji dan cabul, serta mencegahnya dari
mengabaikan hak orang lain.
Abu Qasim al-Junaidi-semoga Allah
merahmatinya-berkata: “Malu adalah melihat berbagai kenikmatan dan melihat
buruknya lalai terhadap perkara yang buruk, keji dan cabul. Kemudian dari
keduanya itulah akan lahir suatu keadaan yang disebut dengan al-hayâ’,
malu.” (Imam Nawawi, Riyâdhush Shâlihîn, hlm. 145).
Nafâits
Tsamârat: Hati-hati Kehilangan Surga
Seorang lelaki di antara orang-orang
shalih melakukan shalat malam. Kemudian ia membaca firman Allah SWT:
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن
رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Ali Imran [3] : 133).
Lelaki tersebut terus mengulang
bacaan ayat itu sambil menangis hingga pagi. Dikatakan padanya: “Sungguh sebuah
ayat telah membuatmu menangis. Mengapa ayat seperti itu membuatmu menangis.
Padahal ia menjelaskan bahwa surga itu luas dan lebar.” Lelaki itu
berkata: “Wahai putra saudaraku (keponakanku)! Betapapun luasnya surga itu,
tidak ada gunanya bagiku jika aku di sana tidak memiliki tempat pijakan bagi
kedua kakiku.”
Siapakah seseorang yang lebih butuh
untuk menangis dan lebih dekat pada penderitaan dari pada seseorang yang
menyakini bahwa surga tempat kembalinya dan kenikmatan tempat
peristirahatannya. Kemudian yang ia dapati justru berbeda dari apa yang telah
ia yakini; atau seorang yang telah kehilangan ketaatan yang membuka jalannya
menuju surga dan yang mendekatkannya pada surga.
Dalam hal ini, seperti menagisnya
Yunus bin Ubaid ketika menjelang kematiannya ia memandangi kedua kakinya sambil
menangis. Dikatakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Yunus berkata:
“Kedua kakiku tidak ada bekas debu bahwa keduanya telah digunakan di jalan
Allah!”.
Nafais Tsamarat: Tidak Besedekah dan Tidak Berjihad, Lalu dengan Apa Anda Akan Masuk Surga?
Dari Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendatangi Rasululah Saw untuk membaiatnya atas Islam. Kemudian Rasulullah mengajukan syarat kepadaku: “Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad hamba sekaligus Rasul-Nya, mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah.”Aku berkata, wahai Rasulullah: Ada dua syarat dimana aku tidak mampu. Pertama, zakat. Sebab saya tidak memiliki kecuali sepuluh unta. Unta-unta itu penopang hidup keluargaku dan kendaraan mereka.
Kedua, jihad. Dalam hal jihad ini mereka mengatakan bahwa siapa saja yang lari dari medan jihad, maka ia akan mendapat murka Allah. Aku khawatir bahwa ketika aku ikut dalam sebuah peperangan, aku takut mati, sehingga jiwaku menjadi lemas.
Rasulullah memegang tangannya, lalu menggerakkannya. Selanjutnya beliau bersabda: “Tidak bersadaqah dan tidak pula berjihad, maka dengan apa Anda akan masuk surga?”
Aku berkata, wahai Rasulullah: “Aku membaiatmu.” Kemudian beliau membaiatku dengan semua syarat tersebut. (Hadis ini diriwayatkan oleh Baihaqi dan Hakim. Sedang Hakim men-shahih-kannya, dan disepakati oleh ad-Dzahabi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar