Minggu, 13 November 2016

Al-Qur’an Jauh Lebih Kuat dari Ahok, Pendukungnya dan Orang-Orang yang Terbius

Sablon Spanduk &Umbul Umbul


Rangkaian aksi damai telah berlangsung secara stimultan mengutuk pelecehan al Qur’an dan menuntut agar pemerintah berpihak pada aspirasi umat. Aksi-aksi itu total jumlah pesertanya mencapai ratusan ribu dan memperkokoh kekuatan tuntutan umat Islam di negeri ini. Aksi damai umat Islam disalahpahami oleh sebagian pihak kaum liberal dengan tuduhan tendensius sebagai aksi yang mengkhawatirkan, ancaman keamanan, kudeta, memicu fitnah dan membangkitkan perpecahan. Lalu diikuti berbagai seruan-seruan untuk ‘menggembosi’ aksi-aksi tersebut. Lalu bagaimana dengan keberpihakan media massa mainstream dan para wartawannya? Sebagian Masyarakat menilai media-media pragmatis melancarkan pemalsuan bahkan penyesatan kepada publik.
Tindakan kekerasan verbal Ahok terjadi dengan semua konsekuensi negatif yang menyertainya. Ini adalah realitas masalah yang harus kita selesaikan secara Islami. Ketidakberpihakan pada Islam dan kaum muslim secara samar dan ketidaktegasan mencolok yang dilakukan pemerintah dalam mengentaskan kasus penistaan Al Qur’an yang dilakukan Ahok melukai perasaan religius warga negaranya, sungguh merupakan kebijakan yang menyesakkan dada, mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai sejarah panjang dalam kebijakan represif otoriter rejim-rejim Penjajah terhadap mayoritas Muslim.
Kita mengecam kericuhan di malam hari yang dilakukan pihak-pihak tak bertanggung jawab dalam aksi 411, namun tidak akan mengurangi esensi dari Aksi sejuta Umat II adalah aksi damai. Mengingat peserta aksi damai mampu berpikir jernih, tidak mentolerir tindakan fisik. Oleh karenanya, meskipun di provokasi oleh langkah represif tersebut, peserta memilih untuk membubarkan diri secara damai tanpa melakukan perlawanan fisik.
Rezim selalu mengklaim sebagai negara toleransi dan multikulturalisme, negara yang menjunjung kebebasan, menghormati semua agama dan budaya, justru menghasilkan gubernur yang mengkriminalisasi mayoritas dengan provokasi langsung dan terang-terangan menunjukkan kebencian dan permusuhannya terhadap al Qur’an.
Sementara itu jika berbicara tentang rasa hormat terhadap keyakinan religius, sesungguhnya pemerintah di negeri ini secara simultan mengokohkan sekulerisme di Indonesia. Dia mengekspresikan pondasi sekuler, sementara pondasi sekulerisme adalah sebuah ideologi yang berulang kali menunjukkan intoleransi terhadap Islam, juga menunjukkan ketidakmampuan dalam mengakomodasi hak-hak umat Islam, diilustrasikan oleh berbagai problem keagamaan umat Islam yang tidak pernah tuntas.
Sungguh semua teori, rencana dan praktek represif untuk meredam suara umat pasti akan mendapatkan aksi balasan dari umat, mengingatkan umat pada sejarah imperialis, dimana kaum Muslim diperintah dengan besi dan api, namun demikian semua itu tidak membuat kaum Muslim menyerah. Hendaklah para rezim sekuler otoriter belajar dari sejarah jika mereka berakal.
Dalam hal keberagamaan, rezim sekuler mengembangkan pluralisme atau sinkretisme sebagai turunan dari sekularisme, dimana pandangan ini menyatakan pluralitas manusia, pendapat atau agama adalah suatu fakta yang tidak dapat ditawar-tawar lagi sehingga agar tidak menimbulkan konflik dan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak boleh ada manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama atau individu manapun. Kebenaran itu relatif dari mana kita memandang. Dengan kata lain semua agama adalah sama.
Secara historis kemunculan sekularisme ini sendiri adalah dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh sistem pemerintahan agama, dan pemikiran derivatnya yaitu liberalisme dan pluralisme, termasuk kapitalisme dan demokrasi adalah produk yang sengaja disiapkan untuk menjadi tameng agar masyarakat eropa tidak lagi terjerumus pada trauma masa lalu, bersatunya negara dan agama.
Mengingat dari apa yang kita ketahui dengan baik tentang penggambaran media negeri-negeri sekuler, khususnya di Barat tentang Islam dan kaum Muslim di satu sisi, efek media dan teorinya di sisi lain, adalah tidak bisa diabaikan representasi media sebagai faktor penyebab sentimen dan kejahatan anti-Muslim dan penerapan syariah Islam yang potensial. Bahkan, ada kemungkinan bahwa sentimen dan kejahatan anti-Muslim, setidaknya sebagian, didorong oleh penggambaran sepihak, sempit, sensasional, dan bisa dibilang fanatik atas Islam dan kaum Muslim oleh media-media liberal itu sendiri.
Sangat penting bagi umat Islam pada umumnya, dan terutama bagi mereka yang telah mengambil atas dirinya untuk melanjutkan cara hidup Islam, agar memahami hubungan ini, mekanisme dan peran kita. Kita perlu mengungkapkan motivasi yang nyata dan akibat-akibat yang menghancurkan dari perang melawan Islam dan juga akibatnya di negeri-negeri Muslim.
Ini adalah paradoks, kebebasan berbicara yang dianggap sebagai hak konstitusional rakyat, bahkan dijatuhkan terhadap kaum oposan yang kritis (yang berpikir di luar norma-norma demokrasi) untuk membungkam mereka melalui kebijakan yang preventif dan represif. Dan jika perlu mereka dibungkam dengan kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan kaum liberal tidak yakin atas ide ini dan ini hanya digunakan untuk melayani agenda mereka sendiri untuk membungkam kaum muslimin.
Akhirnya, kami umat Islam hanya percaya kepada cara Nabi Muhammad Saw. dalam menyelesaikan kasus penistaan al Qur’an, kami mencintainya, kami mengikutinya dan kami akan selalu berdiri untuk membela kehormatannya. Apa yang disebut sebagai kebebasan berbicara atau apapun tidak dapat meyakinkan kami sama sekali dan sebaliknya, bahkan kami tidak yakin sedetikpun.[Umar Syarifudin]
https://hizbut-tahrir.or.id/…/al-quran-jauh-lebih-kuat-dar…/
Usaha Tangsel Sablon
#TerapkanSyariah
#TegakkanKhilafah

Hukum Leasing Nurut Pandangan Islam

Biro Iklan
Leasing, Muamalah Haram yang Banyak Dilakukan
Muamalah leasing kini menjadi bentuk muamalah yang sangat luas diterapkan di masyarakat. Sayangnya banyak orang yang tak mengetahui hukumnya. Seperti apa?
Leasing ada dua macam:
 1), leasing dengan hak opsi (finance lease), yaitu leasing di mana pihak lessee (penerima leasing) mempunyai opsi (pilihan) membeli barang leasing atau memperpanjang jangka waktu perjanjian leasing. Leasing inilah yang lalu dikenal dengan istilah “leasing” saja.
2) leasing tanpa hak opsi (operating lease), yaitu leasing di mana pihak lessee (penerima leasing) tak mempunyai opsi membeli barang leasing.

Pihak yang terlibat dalam leasing dengan hak opsi (finance lease) ada tiga pihak:
(1) konsumen (disebut lessee atau penerima leasing);
2) dealer/supplier, yaitu penjual barang; dan
3) lembaga pembiayaan (disebut lessor atau pemberi leasing), misalnya FIF atau Adira Finance.

Mekanismenya, pihak lessor membeli barang (misal sepeda motor) dari dealer secara cash (kontan), kemudian lessor menjual kembali sepeda motor itu secara kredit kepada lessee melalui akad leasing. Dalam akad leasing ini, pihak lessor menyewakan sepeda motor kepada lessee selama jangka waktu angsuran tertentu (misal tiga tahun). Selama angsuran belum lunas, motor tetap milik lessor dan baru menjadi hak milik lessee setelah angsuran lunas. Konsekuensinya, jika lessee tidak sanggup membayar angsuran sampai lunas, motor akan ditarik oleh lessor dan dilelang. Dalam akad leasing ini sepeda motor dijadikan jaminan secara fidusia. Karena itu BPKB motor tetap berada di tangan lessor hingga seluruh angsuran lunas.

Pertanyaannya, bagaimanakah hukumnya? Hukumnya ada rincian (tafshiil) sbb;
(1) hukum syara’ untuk leasing tanpa hak opsi (operating lease) adalah boleh (mubah) selama memenuhi segala rukun dan syarat dalam hukum Ijarah (sewa menyewa);
 (2) adapun leasing dengan hak opsi (finance lease), yang banyak dipraktikkan dalam kredit motor atau mobil saat ini, hukumnya haram.
 
Ahlinya sablon Spanduk & Umbul Umbul Telp 085966614393

Berdasarkan empat alasan berikut :
 
Pertama,
dalam leasing terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa-menyewa dan jual-beli, menjadi satu akad (akad leasing). Padahal syara’ telah melarang penggabungan dua akad menjadi satu akad. Ibnu Mas’ud ra berkata, ”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin wahidah)” (HR Ahmad, Al Musnad, I/398). Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad (wujudu ‘aqdayni fi ‘aqdin wahidin) di mana satu akad menjadi syarat bagi akad lainnya secara tak terpisahkan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, II/308).

Kedua,
dalam akad leasing biasanya terdapat bunga. Maka angsuran yang dibayar per bulan oleh lessee bisa jadi besarnya tetap (tanpa bunga), namun bisa jadi besarnya berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman. Leasing dengan bunga seperti ini hukumnya haram, karena bunga termasuk riba (lihat QS Al Baqarah [2] : 275).

Ketiga, dalam akad leasing terjadi akad jaminan yang tidak sah, yaitu menjaminkan barang yang sedang menjadi obyek jual beli. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ”Tidak boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.” (Al Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra, II/287). Imam Ibnu Hazm berkata, ”Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah telanjur terjadi, harus dibatalkan.” (Al Muhalla, III/427).

Keempat, ada denda (penalti) jika terjadi keterlambatan pembayaran angsuran atau pelunasan sebelum waktunya. Padahal denda yang dikenakan pada akad utang termasuk riba.
Berdasarkan empat alasan di atas, maka leasing dengan hak opsi (finance lease), atau yang dikenal dengan sebutan “leasing” saja, hukumnya haram. Wallahu a’lam.[] KH Siddiq Al Jawie

Selasa, 08 November 2016

Andai Saja Allah Tak Perlu Dibela

Biro Iklan


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Ada yang mengatakan, “Allah tidak membutuhkan pembelaan kita. Karena Allah Maha segalanya.” Begitu juga ada yang mengatakan tentang tidak perlunya pembelaan terhadap al-Qur’an, kalam Allah yang dinista, “Sejak dulu al-Qur’an telah dihina dan dinista, tapi semua penghinaan dan penistaan itu tidak bisa meruntuhkan kemuliaannya.” Pertanyaannya, benarkah Allah tak perlu dibela?
Pertama, pandangan atau pikiran seperti ini, menurut saya bukan pemikiran, siapapun yang mengatakannya, mau profesor, doktor, kyai, atau orang awam, lebih tepat pandangan seperti ini disebut fantasi intelektual. Fantasi seperti ini tampak seperti logis dan masuk akal, padahal tidak. Mengapa? Karena, menggabungkan dua hal yang seharusnya dipisahkan, karena memang berbeda konteksnya.

Konteks “Allah Maha segalanya” dan “Al-Qur’an kalam Allah yang mulia” adalah konteks yang terkait dengan Allah dan kalam-Nya. Sedangkan membela dan menjaga kesuciannya adalah konteks kita, sebagai manusia. Memang benar, “Allah Maha segalanya” begitu juga “Al-Qur’an kalam Allah yang mulia” itu tidak akan berkurang sedikitpun, karena konteks ini adalah adalah konteks yang terkait dengan-Nya. Tetapi, salah, ketika konteks yang terkait dengan-Nya lalu dikaitkan dengan konteks kita, seolah ketika ke-Maha-an dan kemuliaan-Nya itu tetap akan sempurna, meski dinista, sehingga tidak perlu kita bela.
Karena itu, saya tegaskan, pandangan seperti ini hanyalah fantasi intelektual, bukan pemikiran. Karena bertentangan dengan fakta. Cara berpikir seperti ini juga merupakan cara berpikir kaum Fatalis [Jabariyyah]. Cara berpikir Fatalis ini dalam sejarah sering kali digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk meninabobokkan rakyat, agar mereka menerima saja penindasan yang dilakukan oleh rezim dengan alasan takdir.
Karena itu, harus dipisahkan, antara “Allah Maha segalanya” dan “Al-Qur’an kalam Allah yang mulia” sebagai wilayah-Nya, dengan wilayah kita sebagai manusia untuk menjaga dan melindungi kemuliaan-Nya. Wilayah yang pertama adalah wilayah akidah, sedangkan wilayah yang kedua adalah wilayah [hukum] syariah.
Sablon Spanduk dan Umbul Umbul

Kedua, andai saja Allah, kalam dan agama-Nya tidak perlu dibela, Allah tentu tidak memerintahkan kita menjadi pembela-Nya:
ياَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا، كُوْنُوْا أَنْصَارَ اللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebagai penolong-penolong Allah.” [Q.s. as-Shaf: 14]
Ketika kita membela-Nya, membela kalam-Nya, membela agama-Nya, memperjuangkan syariat-Nya, serta membantu para pejuang yang memperjuang agama-Nya, maka Dia akan menolong kita. Allah SWT berfirman:
ياَ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تَنْصُرُوْا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong kalian, dan meneguhkan kedudukan kalian.” [Muhammad: 7]
Imam ar-Razi menjelaskan, makna, “In tanshuru-Llah [jika kalian menolong Allah].” adalah menolong agama-Nya, memperjuangkan tegaknya syariat-Nya dan membantu para pejuang yang memperjuangkannya. Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini dengan ungkapan, “al-Jaza’ jinsu al-‘amal [balasan itu sesuai dengan jenis amal yang diberikan].” Artinya, ketika kita menolong Allah, Dia pasti akan menolong kita.

Ketiga, andai Allah tidak perlu dibela, maka tidak akan pernah ada “Auliya’-Llah”. Karena adanya “Auliya’-Llah” merupakan konsekuensi, karena mereka menolong Allah. Di dalam al-Qur’an, mereka disebut “Auliya’-Llah [penolong/kekasih Allah].”, karena mereka membela Allah. Ketika mereka menjadi “Auliya’-Llah” maka Allah pun menjadi Wali [penolong/kekasih] mereka. Ketika Allah menjadi Wali mereka [Q.s. al-Baqarah: 257 dan an-Nisa’: 45], karena mereka telah menjadi “Auliya’-Llah”, maka mereka pun tidak lagi mempunyai rasa takut dan sedih sedikitpun. Inilah yang Allah tegaskan:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Ingatlah, sesungguhnya para pelindung/kekasih Allah itu tidak ada rasa takut sedikit pun pada diri mereka, dan mereka pun tidak bersedih.” [Q.s. Muhammad: 62]
Allah juga menegaskan:
وَاللهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللهِ وَلِيًّا، وَكَفَى بِاللهِ نَصِيْرًا
“Allah Maha Tahu akan musuh-musuh kalian. Cukuplah Allah menjadi pelindung, dan cukuplah Allah menjadi penolong.” [Q.s. an-Nisa’: 45]

Karena itu, para ulama’, sebut saja Imam Abu Nu’aim, dalam kitabnya, Hilyatu al-Auliya’ dan al-Hafidz Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya, Shifatu as-Shafwah, menyenaraikan para penolong dan pembela Allah itu, mulai dari Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabiin, atba’ tabiin, dan generasi setelah mereka yang berjuang membela agama-Nya. Mereka yang membela agama Allah itulah para “Auliya’-Llah”.
Keempat, andai saja Allah dan agama-Nya tidak perlu dibela, maka Nabi Muhammad saw. tidak perlu bersusah payah berdakwah di Makkah hingga berdarah-darah, dan tidak perlu berperang bersama para sahabatnya melawan kaum Kafir lebih dari 79 kali, 27 kali di antaranya langsung dipimpin oleh baginda.
Begitu juga sejarah dakwah, perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh generasi berikutnya, baik yang di bawah kepemimpinan Khalifah, maupun bukan, adalah bukti bahwa para “Auliya’-Llah” itu selalu ada. Mereka berjuang untuk membela Allah, agama dan kehormatannya.

Maka, ketika seorang wanita Muslimah, kehormatannya dinista oleh Yahudi Bani Qainuqa’, Nabi saw. yang mulia mengumumkan perang kepada mereka. Ketika kehormatan seorang wanita Muslimah dinistakan oleh kaum Kristen Romawi, dia menjerit, “Wa Mu’tashimah [Wahai Mu’tashim, tolonglah!]”, pasukan Khalifah al-Mu’tashim pun meluluh lantakkan mereka, hingga Amuriah berhasil ditaklukkan. Ketika kehormatan Nabi Muhammad saw. dinista, Sultan ‘Abdul Hamid II, segera memperingatkan Inggris untuk menghentikan pementasan drama yang menista kemuliaan Nabinya, dan jika tidak, Khilafah ‘Ustmani akan melumat Inggris.

Semuanya itu bukti, bahwa “Auliya’-Llah” selalu ada untuk membela, menjaga dan memperjuangkan kemuliaan agama-Nya.
Tetapi, yang harus dicatat, al-Qur’an juga mencatat, bahwa selain “Auliya’-Llah” juga adalah “Auliya’ as-Syaithan [kekasih/pembela syaithan]”. Mereka inilah orang yang menghalangi, merusak dan menghancurkan agama-Nya. Menghalangi dan memerangi orang yang berjuang menegakkan agama-Nya [Q.s. an-Nisa’: 67].

Jadi, jelas sudah. Allah, kalam-Nya, agama dan kesuciannya harus dibela, dijaga dan dilindungi. Karena ini merupakan kewajiban kita. Karenanya, ketika kita menunaikan kewajiban ini, kita pun layak mendapatkan gelar dari Allah, sebagai “Auliya’-Llah”. Sebaliknya, siapapun yang membiarkan agama ini dinista, bahkan membela penistanya, maka mau atau tidak, sesungguhnya dia telah menjadi “Auliya’ as-Syaithan”.
Tinggal kita memilih yang mana, menjadi “Auliya’-Llah”, atau “Auliya’ as-Syaithan”.[]

Tindak Tegas Penista al-Quran!


Biro Iklan Tangsel

Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Setiap Muslim wajib memuliakan dan mensucikan al-Quran. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena itu siapa saja yang berani menghina al-Quran berarti telah melakukan dosa besar! Jika pelakunya Muslim, dia dihukumi murtad dari Islam. Allah SWT berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ – لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Jika kamu bertanya kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sungguh, kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kalian selalu menistakan? Kalian tidak perlu meminta maaf karena kalian telah kafir setelah beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 65-66).
Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Siapa saja mencaci Allah SWT telah kafir, sama saja dia lakukan dengan bercanda atau serius. Begitu juga orang yang mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, para rasul-Nya, atau kitab-kitab-Nya.” (Ibn Qudamah, Al-Mughni, 12/298-299).
Imam an-Nawawi pun tegas menyatakan, “Ragam perbuatan yang menjatuhkan seseorang pada kekafiran adalah yang muncul dengan sengaja dan menghina agama Islam secara terang-terangan.” (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn, 10/64).

Hal yang sama ditegaskan oleh Qadhi Iyadh, “Ketahuilah, siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran, atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli Ilmu.” (Qadhi Iyadh, Asy-Syifâ, II/1101).
Dalam kitab Asnâ al-Mathalib dinyatakan, Mazhab Syafii telah menegaskan bahwa orang yang sengaja menghina—baik secara verbal, lisan maupun dalam hati—kitab suci al-Quran atau Hadis Nabi saw. dengan melempar mushaf atau kitab hadis di tempat kotor, dia dihukumi murtad.

Inilah hukum syariah yang juga disepakati oleh para fukaha dari kalangan Hanafi, Maliki, Hanbali dan berbagai mazhab lainnya.
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ
Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)-nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, perangilah para pemimpin kaum kafir itu (TQS at-Taubah [9]: 12).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT menyebut orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam sebagai gembong kafir, alias bukan sekadar kafir biasa. Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas kewajiban untuk memerangi setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir (Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 8/84).
Karena itu segala bentuk penistaan terhadap Islam dan syiar-syiarnya sama saja dengan ajakan berperang. Pelakunya akan ditindak tegas oleh Khilafah. Seorang Muslim yang melakukan penistaan dihukumi murtad dan dia akan dihukum mati. Jika pelakunya kafir ahludz-dzimmah, dia bisa dikenai ta’zir yang sangat berat; bisa sampai dihukum mati. Jika pelakunya kafir yang tinggal di negara kufur seperti AS, Eropa dan sebagainya, maka Khilafah akan memaklumkan perang terhadap mereka untuk menindak dan membungkam mereka. Dengan begitu, siapapun tidak akan berani melakukan penodaan terhadap kesucian Islam.

Rasulullah saw. sebagai kepala Negara Islam juga pernah memaklumkan perang terhadap Yahudi Bani Qainuqa’—karena telah menodai kehormatan seorang Muslimah—dan mengusir mereka dari Madinah, karena dianggap menodai perjanjian mereka dengan negara. Khalifah al-Mu’tashim pun pernah mengerahkan puluhan ribu pasukan Muslim untuk menindak tegas orang Kristen Romawi yang telah menodai seorang Muslimah. Mereka diperangi hingga sekitar 30 ribu pasukan Kristen tewas dan 30 ribu lainnya berhasil ditawan. Selain itu, wilayah Amuriyah yang sebelumnya dikuasai Romawi jatuh ke tangan kaum Muslim. Tindakan tegas juga ditunjukkan oleh Khilafah Utsmani saat merespon penghinaan kepada Nabi saw. oleh seniman Inggris. Saat itu Khilafah Utsmani mengancam Inggris dengan perang jihad. Akhirnya, mereka pun tak berani berbuat lancang.
Sablon Spanduk Dan Umbul Umbul

Khatimah

Alhasil, keberadaan Khilafah untuk melindungi kesucian dan kehormatan Islam, termasuk kitab suci dan Nabinya, mutlak diperlukan. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd.
Karena itu jika saat ini umat Islam tidak memiliki Khilafah, sementara para penguasa mereka saat ini tidak melakukan tugas dan tanggung jawab untuk membela agama Allah SWT, bahkan berlomba memerangi Allah dan Rasul-Nya demi kerelaan kaum kafir, maka kewajiban umat Islam saat ini adalah menegakkan kembali Khilafah dengan membaiat seorang khalifah. Khilafahlah yang akan menerapkan al-Quran dan as-Sunnah, menegakkan syariah sekaligus menjaga kekayaan, kehormatan dan kemuliaan umat Islam sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi. Rasul saw. bersabda:
ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﺟُﻨَّﺔٌ ﻳُﻘََﺎﺗَﻞُ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺋِﻪِ ﻭَﻳُﺘَّﻘَﻰ ﺑِﻪِ
Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya (HR Muslim).
Tanpa Khilafah, al-Quran tidak ada yang melindungi. Penistaan terhadap kitab suci itu akan terus berulang, bahkan di negeri kaum Muslim sendiri, sebagaimana terjadi saat ini. Andai saja Khilafah ada, niscaya penistaan demi penistaan seperti ini tidak akan terjadi. Karena itu sejatinya kita segera bergerak untuk secara bersama-sama mewujudkan kembali perisai/pelindung Islam dan kaum Muslim, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. []
#TangkapAhok
#TerapkanSyariah
#TegakkanKhilafah

Senin, 07 November 2016

Tinggalkan Sistem Kufur, Ganti dengan Islam

Bikin Spanduk Sablon

Pasang Iklan Disini Klik
Tinggalkan Sistem Kufur, Ganti dengan Islam
Kezaliman demi kezaliman dari setiap rezim selalu dirasakan rakyat, tetapi umumnya mereka diam saja. Kalau pun marah, hanya ingin mengganti rezim saja tanpa pernah menyalahkan sistem. Padahal, demokrasi dan liberalisme jelas-jelas membawa masalah.
Tinggalkan sistem kufur itu, dan ganti dengan syariah dan khilafah. Hanya itu solusinya. Siapa pun pemimpinnya, jika tidak menjalankan solusi ini dipastikan akan gagal. Sebab, hanya syariah sistem yang benar dan adil karena berasal dari Dzat yang Maha Benar dan Maha Adil.
Di samping itu, Allah SWT juga berfirman: Law anna ahla al-qurâ âmanû wattaqaw lafathnâ ‘alayhim barakât min al-samâ`i wa al-ardh. Seandainya pendududk negeri itu mau beriman dan bertakwa, yakni menjadikan aqidah Islam sebagai asas, dan syariah sebagai hukum yang mengatur kehidupan mereka, maka akan dibuka berkah-berkah dari langit dan bumi.
Yang harus ada pada rakyat negeri ini adalah keinginan untuk berubah. Keinginan meninggalkan sistem kufur dan menggantinya dengan Islam, dengan syariah dan khilafah. Tak bisa dibayangkan perubahan itu akan terjadi jika keinginan itu tidak ada.
Oleh karena itu, harus ada upaya keras untuk membuat rakyat negeri ini menjadi mau dan menginginkan tegaknya syariah dan khilafah. Ketika keinginan itu merata, lalu berubah menjadi tuntutan, insya Allah perubahan tidak akan terbendung.
Dorongan dan motivasinya harus. Dan itu hanya akan terjadi jika didasarkan pada asas atau landasan kuat. Jika asasnya kepentingan, tuntutan ekonomi, atau ambisi kekuasaan, itu amat lemah. Mudah berubah dan ditaklukkan.
Berbeda halnya jika asasnya adalah iman. Bahwa menerapkan sistem kufur merupakan perkara yang diharamkan, mengundang bencana, dan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka; sebaliknya menerapakah syariah merupakan kewajiban dan tuntutan keimanan, mendatangkan rahmah dan berkah, serta mengantarkan pelakunya ke surga, maka akan memberikan dorongan dan motiviasi amat kuat.
Aspek keimanan inilah yang harus ditanamkan kepada diri umat agar memiliki tekad yang kuat melakukan perubahan.[]

Waspada! Orang Munafik Ternyata Lebih Berbahaya dari Orang Kafir

Pasang Iklan

Sablon Spamduk Kain

“Yang menghancurkan Islam adalah orang alim yang menyimpang, orang munafik yang pandai mendebat A-Qur’an dan menggunakan Al-Qur’an untuk kepentingan pribadi, serta para pemimpin sesat.” (Umar bin Khattab Radiyallaahu 'anhu)

Sahabat Ummi, jangan remehkan orang munafik, sungguh kekacauan dalam umat Islam banyak disebabkan oleh orang-orang yang munafik, yakni musuh di dalam selimut, mengaku Islam... mengaku beriman, padahal tidak. Kata-kata mereka terdengar hebat, terdengar logis, hingga semua orang mendengarkan pernyataannya, akan tetapi ketahuilah bahwa Allah telah menyatakan mereka inilah (orang-orang munafik) musuh yang sebenarnya:

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukkan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka, semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan dari kebenaran?” (QS. Al-Munafiqun : 4)

Bagaimana ciri-ciri orang munafik? Tentunya kita tahu bahwa ciri kemunafikan ada 3,"Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati.” (HR Al-Bukhari)

Tetapi bukan hanya itu, orang munafikjuga biasanya memiliki dua muka, mereka tidak segan melakukan sesuatu untuk mengolok-olok kaum mukmin dan mendukung orang-orang kafir.

“Apabila mereka menjumpai orang-orang mukmin, mereka berkata, ‘Kami telah beriman.’ Namun jika mereka menyendiri beserta dedengkot-dedengkotnya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami di pihak kalian. Hanya saja kami hendak mengolok-olok kaum mukmin.’ Allah akan mengolok-olok mereka dan menelantarkan mereka dalam kedurhakaan, sedangkan mereka dalam keadaan bimbang” (QS: 2: 14-15).

Itu sebabnya orang munafik cukup sulit dideteksi di kalangan orang beriman, karena mereka 'menyamar' sebagai orang beriman, bahkan mereka pun mengerjakan shalat dan merasa diri mereka seorang muslim. Padahal mereka banyak berbuat kerusakan di muka bumi dan membuat perpecahan di kalangan umat muslim itu sendiri.

“Dan apabila ia mengerjakan puasa dan shalat, ia menyangka bahwa dirinya seorang muslim” (HR Muslim, Kitab Iman, Bab Penjelasan Sifat-Sifat Orang Munafik, no. 59).

Maka, bagian kerak neraka, bagian neraka yang paling dasar, akan menjadi tempat tinggal oleh orang-orang munafik, bukan orang kafir. Sesungguhnya orang-orang munafik itu akan dicampakkan ke dalam kerak neraka dan kamu tidak akan melihat mereka memperoleh penolong” (QS. AnNisaa : 145)

Sahabat Ummi, takutlah akan sifat munafik, karena bisa jadi hati kita disusupi karakter munafik ini. Ibnu Abi Malikah pernah mengatakan, “Aku telah menjumpai tiga puluh sahabat Nabi, seluruhnya takut akan nifak. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan, bahwa dirinya memiliki iman seperti imannya Jibril dan Mikail.

Setiap orang beriman akan khawatir pada sifat munafik, kecuali orang munafik itu sendiri. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Tidak ada orang merasa aman dari sifat nifak kecuali orang munafik dan tidak ada orang yang merasa khawatir terhadapnya kecuali orang mukmin.” Wallaahualam.

Umat Islam Seharusnya Juga tergerak dengan Al Maidah 50

Semoga umat Islam segera tergerak dengan Al Maidah 50, mundur 1 ayat dari Al Maidah 51:
{ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ }
[artinya:" Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?"]
Ahlinya Sablon Spanduk


Ketika menafsirkan surat Al Maidah ayat 50, Ibnu Katsir berkata:
" Allah Ta’ala mengingkari orang yang berpaling dari hukum Allah -hukum yang telah muhkam (kokoh), meliputi seluruh kebaikan dan mencegah setiap keburukan- kemudian orang tersebut justru berpaling kepada yang lain, berupa pandangan-pandangan, hawa nafsu dan berbagai peristilahan yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada Syariat Allah, sebagaimana masyarakat jahiliyah berhukum kepada kesesatan dan kebodohan, hukum yang mereka buat berdasarkan pandangan dan hawa nafsu mereka. Sama halnya seperti Bangsa Tartar yang berhukum dengan kebijakan-kebijakan kerajaan yang diambil dari keputusan raja mereka, Jengiskhan, raja yang telah menyusun al Yasaq untuk mereka, yaitu kitab kumpulan hukum yang diramu dari berbagai syariat yang berbeda, termasuk dari Yahudi, Nasrani dan Islam. Di dalamnya juga terdapat banyak hukum yang semata-mata dia ambil dari pandangan dan hawa nafsunya. Kitab itu kemudian berubah menjadi syariat yang diikuti oleh anak keturunannya, yang lebih diutamakan ketimbang hukum yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Barangsiapa melakukan hal tersebut maka dia telah kafir. Ia wajib diperangi sampai mau kembali merujuk kepada hukum Allah dan RasulNya, sampai dia tidak berhukum kecuali dengannya (Kitab dan Sunnah) baik sedikit maupun banyak.”
Biro Iklan

Barangsiapa melakukan hal tersebut maka dia telah kafir. Ia wajib diperangi sampai mau kembali merujuk kepada hukum Allah dan RasulNya, sampai dia tidak berhukum kecuali dengannya (Kitab dan Sunnah) baik sedikit (perkara kecil) maupun banyak (perkara besar)

Ibnu Katsir melanjutkan: “Allah berfirman {أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ} artinya: “apakah hukum jahiliyahyang mereka kehendaki?”, yaitu: (apakah) mereka mencari dan menghendaki (hukum jahiliyah), sementara terhadap hukum Allah mereka berpaling? {وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ} artinya: “dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?”, Yaitu: siapakah yang lebih adil dari Allah dalam hukumnya bagi orang yang memahami syariat Allah dan beriman, yakin serta mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah Pemberi Keputusan yang paling bijaksana (ahkamul hakimin), lebih mengasihi makhluqnya ketimbang kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Dzat yang mengetahui segala sesuatu, Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu, dan Dzat yang Adil dalam segala sesuatu”.