SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial
Saat ini institusi bisnis asuransi multinasional tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia
Mulai 1 Januari 2014 pemerintah mulai memberlakukan sistem jaminan
sosial. Ini adalah tindak lanjut Perpres No. 12 tahun 2013 tentang
jaminan kesehatan dan PP 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI)
sebagai implementasi UU SJSN.
Menyongsong pelaksanaan itu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi aktif
tampil di layar kaca. Dengan gaya keibuannya, ia mengemukakan betapa
jaminan sosial ini akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Begitukah?
Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditetapkan di
Indonesia ini merupakan bagian dari Konsesus Washington dalam bentuk
Program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis.
SJSN ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis
dalam masalah jaminan sosial, yaitu sistem asuransi. Namanya terdengar
bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur
tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Artinya, itu
adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya di bidang kesehatan.
Hal ini bisa dilihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Dalam Pasal 1 berbunyi:
Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat
wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko
sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1):
Setiap peserta wajib membayar iuran. (2) Setiap pemberi kerja wajib
memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi
kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.
Dari dua pasal itu bisa dipahami. Pertama: terjadi
pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui
iuran yang dibayarkan langsung, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan
swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri. Lalu sebagai tambal
sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin.
Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan
sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang
prinsip gotong-royong yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada
peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh
rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan
peserta yang sehat membantu yang sakit. Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan. Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang teregister atau tercatat membayar iuran. Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial,
misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada
rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun
pendidikan.
Adapun BPJS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 24
Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004
Tentang SJSN. BPJS akan menjadi lembaga superbody yang
memiliki kewenangan luar biasa di negara ini untuk merampok uang rakyat.
Tidak hanya kepada para buruh, sasaran UU ini adalah seluruh rakyat
Indonesia. Kedua UU tersebut mengatur asuransi sosial yang akan
dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1
yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. JugaPasal
29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa
jaminan sosial itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011
tentang BPJS. Pada Pasal 1 huruf (g) dan Pasal 14 serta Pasal 16
disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional
berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib.
Inilah fakta sebenarnya dan bahaya UU SJSN dan BPJS bagi rakyat.
Rakyat dipalak sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam
menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memalak.
UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang tidak mau membayar
premi. Jadi, bohong jika dikatakan bahwa UU ini akan membawa
kesejahteraan bagi rakyat.
Saat ini institusi bisnis asuransi multinasional tengah mengincar
peluang bisnis besar di Indonesia yang dibuka antara lain oleh UU
40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf (b);
disebutkan bahwa BPJS berwenang menempatkan dana jaminan sosial untuk
investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang
memang sekarang sedang melanda Indonesia. Arim Nasim/Lajnah Mashlahiyyah DPP HTI
(Tanggapan terhadap Agustianto dalam Artikel “BPJS dan Jaminan Sosial Syariah”)
Oleh Yuana Ryan Tresna *
Pendahuluan
Ulama terkemuka Taqiyuddin al-Nabhani
(2004: 13) sejak puluhan tahun silam sudah mengingatkan kepada kaum
Muslim terkait dengan kekayaan apa yang paling berharga bagi umat ini.
Beliau menegaskan bahwa pemikiran, bagi umat manapun, adalah sebuah
kekayaan yang tak ternilai harganya yang mereka miliki dalam kehidupan
mereka. Bahkan, ia merupakan peninggalan yang demikian berharga yang
akan diwariskan kepada generasi penerusnya. Adapun yang dimaksud dengan
pemikiran di sini adalah adanya aktivitas berfikir pada diri umat
tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi, di mana mereka
masing-masing secara keseluruhan senantiasa menggunakan pengetahuan (knowledge)
yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta ataupun fenomena
untuk menentukan hakikat fakta atau fenomena tersebut. Hal inilah yang
akan melahirkan kreativitas dan produktivitas pemikiran. Sayangnya, umat
Islam saat ini bisa dianggap sebagai umat yang telah kehilangan
pemikirannya, dan tentu saja telah kehilangan metode berfikirnya yang
produktif dengan paradigma tasyri’i. Hal itu dibuktikan dengan tidak
berdayanya mayoritas umat hari ini –termasuk sebagian para
intelektualnya- untuk mengontruksikan kembali bangunan keilmuan Islam
yang genuine dalam beragam seginya. Dalam kasus Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), melahirkan ragam pendapat dan tidak sedikit yang menunjukkan
tidak berdayanya sebagian intelektual muslim untuk menetapkan hukum
Islam yang shahih pada kasus tersebut. Bukannya memberikan pencerdasan pada umat, malah menjadikan nash-nash yang adasebagai
alat legitimasi atas kebijakan penguasa yang hakikatnya bukan berangkat
dari kerangka Islam, sehingga akhirnya terkesan sangat Islami. Salah
satunya tulisan Agustianto dalam artikelnya “BPJS dan Jaminan Sosial
Syariah” di laman www.dakwatuna.com yang telah mengundang penulis untuk
memberikan tanggapan.
Fakta SJSN dan BPJS
Pemahaman terhadap fakta SJSN dan BPJS
sangat penting sebelum kita memberikan penilaian yang utuh terhadap
konsep jaminan sosial yang baru saja diberlakukan di Indonesia. Tanpa
pemahaman yang utuh maka mustahil akan melahirkan penilaian yang benar.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini
adalah amanat dari UU No. 40 thn. 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 thn.
2011 tentang BPJS. UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan, “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”.Prinsip asuransi sosial sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 3, “adalah
mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna
memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya”. Adapun yang dimaksud dengan prinsip
ekuitas adalah tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan
kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan. JKN adalah asuransi
sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan
kesehatan JKN. Itu artinya wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip
kepesertaan wajib UU SJSN, yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta
asuransi sosial kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran
tiap bulan. Di dalam Pasal 17 disebutkan: “(1) Setiap
peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap
pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran
yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS
secara berkala”.
Iuran untuk orang miskin dibayar oleh
pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI),
atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan
kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang
rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan
membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.
Dalam implementasinya, dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 101 tentang PBI dan Peraturan Presiden No. 12
tentang Jaminan Kesehatan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan nominal
iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap kelas 3.
Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari pekerja
dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap kelas 1
untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap kelas 2
untuk di bawah golongan III. Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan
lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4%
dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1%
dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan
mendapat layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali
pendapatan tidak kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2
jika bergaji di bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni
2015, ia harus membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota
keluarga), dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap
pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20
ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap
pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu
dikalikan jumlah pekerjanya.
Sementara untuk pekerja bukan penerima
upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa
(layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2),
dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga
tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib
dibayarkan tiap bulan.
Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan
dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasal 40 UU
BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat
Pasal 11 UU BPJS, dana itu dapat diinvestasikan, misalnya dalam bentuk
deposito berjangka, surat utang, obligasi korporasi, reksadana, properti
dan penyertaan langsung. Di dalam pasal 11 UU BPJS disebutkan: “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang
untuk: a. menagih pembayaran Iuran; b. menempatkan Dana Jaminan Sosial
untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan
aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil
yang memadai”.
Itulah sekilas fakta JKN sebagaimana
diamanatkan dalam UU SJSN dan UU BPJS. Dengan pemahaman atas fakta
tersebut di atas penulis berharap kita bisa memberikan penilaian yang
objektif atas substansi dari UU SJSN dan UU BPJS tersebut.
Menyoal Konsep al-Takmin al-Ta’awuniy
Mengawali pandangannya, Agustianto
menyajikan teori Ahmad Muhammad ‘Assal yang menyebutkan bahwa tiga rukun
ekonomi Islam yakni kepemilikan (al-milkiyyah), kebebasan (al-hurriyyah) dan jaminan sosial (al-takaful al-ijtima’iy). Sayangnya
Agustianto tidak merinci gagasan Muhammad ‘Assal tersebut berikut
dengan landasan filosofisnya. Hal itu dapat dimengerti karena artikel
tersebut bukan sedang membedah prinsip-prinsip ekonomi Islam secara
khusus. Hanya saja, ketiga rukun tersebut dapat diperdebatkan
keshahihannya dan bentuk aplikasinya. Kepemilikan sebagai sebuah rukun,
dapat dipahami kehujjahannya. Karena secara faktual persoalan ekonomi
pasti dimulai dari persoalan kepemilikan atas suatu kekayaan. Adapun
kebebasan dan jaminan sosial, tentu harus ditempatkan sebagai bagian
dari cabang ekonomi, dan dalam pengamalannya perlu koridor hukum dalam
mengaturnya.
Kemudian Agustianto mengajukan sebuah
tesis bahwa jaminan sosial dalam studi Islam dapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu jaminan sosial tradisional, yakni tanggung jawab negara untuk
menjamin kebutuhan dasar rakyatnya melalui instrumen-instrumen
filantropi seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan bahkan termasuk
pajak; dan jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (al-takmin al-ta’awuniy).
Di dalam khazanah pemikiran Islam, khususnya terkait dengan politik ekonomi (al-siyasah al-iqtishadi)
Islam, dapat dipahami dengan mudah bahwa konsep jaminan dalam Islam
adalah jaminan negara untuk kepada seluruh warga negara terkait dengan
pemenuhan kebutuhan dasar tiap individu serta menetapkan regulasi untuk
mencapai kesejahteraan warganya.
Penulis bukan tidak tertarik menanggapi
istilah “jaminan sosial tradisional” –yang penulis pandang masih parsial
dan tidak esensial-, tetapi agar artikel ini fokus, penulis hanya akan
memberikan tanggapan pada terminologi kedua yakni “jaminan sosial yang
berbentuk asuransi sosial (al-takmin al-ta’awuniy)”. Ada
kesimpulan yang tergesa-gesa yang perlu penulis kritisi; dengan berpijak
pada al-Qur’an dan al-Hadits tentang perintah saling menolong (ta’awun),
Agustianto menyimpulkan bahwa implementasi dari doktrin syariah
tersebut diwujudkan dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan.
Diantara dalil yang sering dikemukakan dalam asuransi termasuk asuransi sosial adalah firman Allah Swt.,
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah [5]: 2)
Bahwa keluarga al-Asy’ariyun jika
mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau makanan keluarga mereka
di Madinah menipis, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di
dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam
satu wadah, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari
mereka (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Seluruh ayat al-Qur’an dan al-Hadits terkait topik ta’awun sebagaimana contoh di atas, dari aspek dalalah, wajh al-istidlal, dan thariq al-istidlal sebenarnya hanya menjelaskan kewajiban saling menolong (ta’awun), tidak menjelaskan secara spesifik tentang al-takmin al-ta’awuniy. Adapun mengenai konsep al-takmin al-ta’awuni (al-takafuli) sebenarnya bukanlah tabarru’ (donasi). Karena akad tabarru’ dalam konsep ta’awun di dalamnya tidak ada ruang untuk keuntungan atau mencari keuntungan. Karena sifat aktivitas itu sebagai akad tabarru’ bukan mu’awadhah dari dua pihak. Tabarru’ adalah tasharruf
dari satu pihak saja, karena orang yang berderma perannya berakhir
dengan donasinya itu. Pada faktanya asuransi sosial BPJS (yang diklaim
sebagai al-takmin al-ta’awuniy) bukanlah ta’awun dalam
rangka kebaikan dan ketakwaan. Akan tetapi ia merupakan investasi untuk
harta yang dibayarkan. Hal tersebut tercermin dari pasal 11 UU BPJS.
Konsekuensi dari tabarru’, sebenarnya dana donasi tidak boleh ditempatkan untuk investasi. Selain itu, gharar
terjadi di dalamnya, karena orang yang berpartisipasi tidak tahu kapan
peristiwa akan terjadi terhadapnya. Tegasnya, dengan sistem asuransi
sosial ini, setiap warga negara harus membayar premi setiap bulannya,
baik dia sakit ataukah tidak.
Asuransi sosial ini juga merupakan pertanggungan (dhaman)
dari BPJS yang terbentuk dari orang-orang yang berserikat terhadap
partisipan yang mengalami kejadian. Karena itu syarat-syarat
pertanggungan (al-dhaman) di dalam Islam wajib diterapkan terhadapnya. Sayangnya, syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam terkait pertanggungan (dhaman) tidak bisa dipenuhi oleh BPJS.
Syarat pertanggungan (dhaman)
yang dimaksud adalah: (a) Di sana wajib ada hak yang wajib ditunaikan
yang berada di dalam tanggungan, yaitu bahwa kejadian yang terjadi
kemudian perusahaan memberikan pertanggungan kepada seseorang yang
mengalami kejadian. Artinya membayar konsekuensi yang muncul dari
kejadian itu; (b) Di sana harus tidak ada kompensasi, yakni penanggung
tidak mengambil kompensasi baik disebut keuntungan atau surplus atau
partisipasi (premi); (c) Akad asuransi sosial harus merupakan akad yang
syar’i dengan memenuhi syarat-syarat syirkah di dalam Islam, yaitu adanya harta dan badan, bukan syirkah harta saja. Asuransi yang dipaparkan untuk dibahas ini adalah syirkah
harta. Semuanya hanya menyetor harta. Hingga badan penyelenggara yang
mengelola urusan asuransi ini adalah representasi dari harta mereka
bukan representasi bagi badan mereka. Jadi tidak ada seorang pun dari
mereka yang berserikat dengan badannya, akan tetapi hanya dengan
hartanya. Fakta asuransi itu dilihat dari sisi syirkah adalah sama
seperti syirkah musahamah, yaitu syirkah harta; (d) Di sana
tidak boleh ada investasi harta, apalagi dengan jalan yang tidak syar’i,
melalui perusahaan lain, apapun nama dan sebutannya baik disebut
investasi ataupun reasuransi. Dalil-dalil hal itu adalah dalil-dalil syirkah harta dan dalil-dalil al-dhaman. Semuanya dipaparkan di dalam kitab al-Nizhâm al-Iqtishadifi al-Islam (al-Nabhani, 2004: 148 dam 161).
Mendudukan Konsep Maqashid al-Syari’ah
Konsep maqashid al-syari’ah boleh dikatakan merupakan gagasan al-Syatibi sebagaimana tertuang dalam al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (al-Syatibi, t.th: 2-3). Selanjutnya al-Syatibi membagi maqashid menjadi tiga bagian, yaitu dharuriyât, hajiyat, dan tahsinât. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsinat
artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan
keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis dan menutup
aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mâl) (al-Syatibi, t.th: 4). Dari konsep ini dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah yang dimaksud oleh penggagasnya sendiri tidaklah bebas, melainkan ada koridor yang tertentu membatasinya.
Lebih ketat lagi,Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan maqashid al-syari‘ah dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (2005: 359-366). Pandangan al-Nabhani secara umum bahwa maslahat adalah akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Konsep al-Nabhani ini dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep maqashid al-syari‘ah
secara gegabah. Pandangan al-Nabhani ini mencakup 4 (empat) prinsip
penting: (1) kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan syariat; (2) maqashid al-syari’ah
adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan; (3) hikmah penerapan
syariat tidak selalu terwujud; dan (4) hikmah penerapan syariat hanya
bisa diketahui melalui dalil syariat.
Berdasarkan konsep yang lebih kuat ini, bahwa syariat tidak didasarkan pada ‘illat maslahat. Dengan kalimat lain, maslahat bukanlah ‘illat (motif) penetapan suatu hukum syariat. Hanya saja, dengan studi yang komprehensif (istiqra’)
dapat ditetapkan bahwa seluruh hukum syariat bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan dalam lima perkara; menjaga agama, akal, keturunan, jiwa,
dan harta (Abdullah, 1995: 273).
Benar bahwa sebagian ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah menetapkan bahwa maslahat layak menjadi ‘illat bagi hukum-hukum syariat, tetapi maslahat ini lebih dipahami sebagai pertanda hukum (amarah al-hukm), bukan sebagai latar belakang/motif penetapan hukum (ba’its ‘ala al-hukm). Jadi, maslahat dipahami lebih dekat pada sebab (al-sabab) dari pada ‘illat.
Dengan demikian, logika maslahat untuk
membenarkan program BPJS –bahkan dipandang sebagai program yang mulia
dan sesuai syariah- tentu tidak tepat dilihat dari sisi manapun. Dalam
hal ini, kaidah fikih aynama takunu al-maslahah fa tsamma syar‘ullah (di mana ada maslahat, disana ada hukum Allah) tidak dapat diamalkan. Alasannya karena maqashid al-syari‘ah haruslah secara disiplin diketahui dan dipahami dengan baik berdasarkan nash, bukan pertimbangan akal.
Adapun posisi maslahat sebenarnya
merupakan akibat dari penerapan syariat secara keseluruhan. Islam adalah
din agung yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Islam
datang dengan seperangkat aturan multidimeni yang mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia yang lain. Islam juga mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendirinya. Tidak hanya itu, Islam juga mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Perangkat hukum Islam ini
diturunkan oleh Allah Swt., yakni agar ia menjadi rahmat atas seluruh
umat manusia. Allah Swt berfirman,
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Mohammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya’: 107).
Konsep Jaminan Sosial dalam Islam
Membincang tentang konsep jaminan sosial
dalam Islam –atau lebih tepatnya jaminan Islam terhadap individu dalam
masyarakat- mengingatkan kita pada buku al-Islam Dhaminun li al-Hajat al-Asasiyah likulli Fardin wa Yu’malu li Rafaahiyatihi )Al-Badri, 1408 H: 25). Meskipun hanya merupakan buku kecil, tetapi kutaib karangan
ulama besar asal Irak tersebut memberikan gambaran yang sangat utuh dan
cemerlang bagaimana Islam memberikan jaminan kepada setiap individu
anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok sekaligus upaya
tercapainya kesejehteraan. Buku itu menarik untuk dijadikan rujukan
karena konsepnya yang orisinil didasarkan pada dalil-dali syara’ dan
terbebas dari pengaruh dan doktrin pandangan hidup lain, seperti sistem
ekonomi dan politik kapitalisme.
Islam diterapkan untuk menjamin hak-hak
keadilan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Selain itu, tendensi
diberlakukannya Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan
ketenangan jiwa, kebahagiaan hidup, dan terpeliharanya urusan manusia
dalam Islam. Allah Swt. berfirman,
Dan Kami turunkan dari al-Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-Isra’: 82)
Islam memandang individu manusia sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu, Islam
memandang individu dan jamaah sebagai umat yang satu. Urusan mereka
diatur dengan sistem dan tata aturan yang akan membawa mereka dalam
kehidupan yang tenang, bahagia, dan sejahtera. Sebagian dari sistem
tersebut adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan
kebutuhan pokok tiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan,
pendidikan, kesehatan, rasa aman, serta kesempatan kerja. Karena pada
dasarnya, manusia berjalan di muka bumi ini untuk memenuhi kebutuhan
asasinya dan kebutuhan pelengkapnya sebatas kemampuannya.
Dari sini kebijakan ekonomi yang dibuat adalah, pertama, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah),
yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individual. Tidak
boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah
(dimiliki maupun disewa). Dalam hal ini negara memberikan peluang kerja
seluas-luasnya, dan menyantuni mereka yang lemah dan papa. Kedua,
negara memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa
membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan
penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini negara memberi fasilitas seluas-luasnya. Ketiga,
negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar
dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang
khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan.
Politik ekonomi Islam adalah jaminan
tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu dengan
pemenuhan secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya (baik sekunder maupun tersier)
sesuai dengan kadar kesanggupannya. (al-Nabhani, 2004: 60). Oleh karena
itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan
taraf kehidupan dalam sebuah negara, tetapi justru memperhatikan
terjamin-tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut.
Islam juga memerintahkan negara untuk
menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun
miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat
yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan
untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk kepada
perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan
berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami,
serta memiliki kemampuan keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di
masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan
pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah
universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum.
Rasulullah Saw. menerima tebusan tawanan perang Badar dengan jasa mereka
mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin di Madinah. Rasul juga
pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau Saw.
dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat
secara gratis (al-Badri, 1408 H: 30)
Pada tataran aktual, dalam Islam,
pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib
disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan
fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan
kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashalih wa al-marafiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah (pengurusan) negara sesuai dengan sabda Rasul Saw.
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya(HR. al-Bukhari)
Secara praktik kesehatan, penyediaan
layanan kesehatan gratis telah dipraktikkan dan dicontohkan oleh Nabi
Saw. sebagai kepala negara, dan para Khulafa’ al-Rasyidin. Hal itu
menjadi sunnah Nabi Saw. dan ijma’ shahabat bahwa negara wajib
menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Beberapa
praktik jaminan dalam Islam dapat kita simak dalam pragmen-pragmen kisah
Rasulullah Saw. dan generasi setelahnya. Diantaranya kisah berikut,
بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقا ثم كواه عليه
Rasulullah Saw telah mengirim
seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu
memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (dengan besi
panas) pada urat itu. (HR. Muslim).
Dalam riwayat yang lain,
عن زيد بن أسلم عن أبيه قال مرضت في زمان عمر بن الخطاب مرضا شديدا فدعا لي عمر طبيبا فحماني حتى كنت أمص النواة من شدة الحمية
Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya,
dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit
yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter
itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku
harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu. (HR. al-Hakim).
Pada masa lalu, dalam sejarah emas
peradaban Islam, banyak rumah-rumah pengobatan didirikan. Bahkan negara
mendorong sepenuhnya riset terhadap obat-obatan serta teknik-teknik
pengobatan baru. Rasulullah Saw. pernah membangun tempat pengobatan
untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta dari Bait al-Mal.
Dalam buku Tarikh al-Islam al-Siyasi,diceritakan
bahwa ‘Umar ra. telah memberikan sesuatu dari Bait al-Maal untuk
membantu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syams,
ketika ia melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan
oleh para khalifah dan wali-wali. Bahkan Khalifah Walid bin Abdul Malik
secara khusus memberikan bantuan kepada orang yang terkena penyakit
lepra. (al-Badri, 1408 H: 30).
Sedangkan dalam SJSN dan BPJS
sebaliknya, terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu
atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung, melalui pemberi
kerja, dan melalui bantuan negara bagi rakyat miskin. Jadi, jelas UU ini
justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial
warganya. Selain itu, jaminan sosial ini hanya bersifat parsial, tidak
memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok
sandang, pangan dan papan maupun pendidikan secara menyeluruh.
Jika konsep Islam demikian, lantas dari
mana sumber pendanaannya? Dana untuk itu bisa dipenuhi dari
sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari
hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, aneka tambang,
migas, panas bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur,
pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih
dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis
untuk seluruh rakyat. Hal ini tentu akan sempurna dengan penerapan
sistem ekonomi Islam dalam negara.
Penutup
Dengan memperhatikan poin-poin yang
penulis sampaikan di atas, maka program BPJS ini bukan hanya bermasalah
secara konsep, tetapi juga keliru dari sisi kebijakan (politik ekonomi).
Oleh karena itu, program ini harus ditolak, bukan malah
disosialisasikan. Hal ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kita
untuk kembali menengok konsep Islam, yakni bagaimana jaminan Islam
terhadap setiap individu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan
bagaimana regulasi negara dalam mendorong setiap warganya untuk
mendapatkan kesejahteraan. Refleksi atas realitas itu tidaklah sulit,
jika kita mau belajar pada sejarah, sejarah peradaban Islam, yakni
sejarah kebesaran khilafah Islam yang telah mampu mewujudkan
kesejahteraan bagi warganya. Wallahu a’lam.
* Penulis adalah dosen ushul fiqih dan fiqih rekayasa keuangan pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung.
Daftar Pustaka
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fî Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Bayariq.
Al-Badri, Abdul Aziz. 1408H. Al-Islam Dhaminun li al-Hajat al-Asasiyah likulli Fardin wa Yu’malu li Rafaahiyatihi. Beirut: Dar al-Nahdhah al-Islamiyah.
Al-Nabhani, Taqiyuddin. 2004. Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Beirut: Dar al-Ummah.
Al-Nabhani, Taqiyuddin. 2005. Al-Syakhshiyah al-Islamiyyah. Juz III (Ushul al-Fiqh). Beirut: Dar al-Ummah.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Al-Syarikat fi al-syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh‘i. Beirut: Mu’assah al-Risalah.
Al-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Ta‘liq oleh Muhammad Al-Hidhr Husain. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
Dokumen. 2012. Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019. Jakarta: Kementerian Republik Indonesia.
Dokumen. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 thn. 2011 tentang BPJS.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi saw
menjenguk di antara anggota keluarganya yang sedang sakit, lalu Beliau
mengusap dengan tangan kanannya dan berdoa:
“Ya Allah, Tuhan Penguasa seluruh manusia, hilangkanlah penyakit
ini, sembuhkanlah ia, karena Engkaulah yang berkuasa menyembuhkan, tidak
ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari Engkau, dengan kesembuhan yang
tidak menyisakan sakit.” (HR. Bukhari – Muslim).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata kepada Tsabit rahimahullah: “Maukah kamu aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah saw?” Tsabit berkata: “Tentu aku mau”. Anas berdoa:
“Ya Allah, Tuhan Penguasa seluruh manusia, yang menghilangkan
penyakit, sembuhkanlah ia, karena Engkaulah yang berkuasa menyembuhkan,
tidak ada yang berkuasa menyembuhkan kecuali Engkau, dengan kesembuhan
yang tidak menyisakan sakit.” (HR. Bukhari).
Dari Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad.” (HR. Muslim).
Dari Abi Abdillah Utsman bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mengadu pada Rasulullah saw tentang rasa sakit yang ada pada tubuhnya. Lalu, Rasulullah saw berkata kepadanya: “Letakkan tanganmu di atas tubuhmu yang terasa sakit, dan bacalah:
بِسْمِ اللهِ
“Dengan menyebut nama Allah,” 3X. Kemudian bacalah sebanyak 7X:
“Aku berlindung kepada kemuliaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku dapati dan aku khawatirkan.” (HR. Muslim).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi saw bersabda:
“Barang siapa yang menjenguk orang sakit, sementara ajalnya belum tiba.
Lalu ia membacakan doa ini 7X di sisinya:
“Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan pemilik arsy yang besar, semoga Dia (Allah) menyembuhkanmu,” kecuali Allah akan menyembuhkannya dari sakit (penyakit) itu.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Ia berkata ini hadits shahih. Sementara al-hakim berkata: hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari).
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw menjenguk orang Arab badwi yang sedang
sakit. Sedang kebiasaan beliau apabila menjenguk orang yang sakit,
beliau bersabda:
لاَ بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Jangan khawatir, (dosa dan kesalahanmu) dibersihkan, in syaa Allah.” (HR. Bukhari).