Selasa, 29 April 2014
Islam dan Pelecehan Anak
(Dimuat dalam kolom opini Harian Inilah Koran, edisi 23 April 2014)
Oleh: Farhan Akbar Muttaqi, Divisi Penerangan Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung
Di gugu dan di tiru. Begitulah sematan masyarakat untuk menggambarkan pentingnya sosok seorang guru. Guru hakikatnya adalah tauladan bagi siapa saja yang dididiknya. Apa yang dikatakan dan diperbuatnya, memiliki otoritas lebih besar untuk diikuti oleh siapapun.
Belakangan ini publik dibuat miris dengan beragam fenomena yang muncul. Dimana alih alih menjadi ujung tombak yang memberi contoh terbaik bagi anak didiknya, sebagian guru justru berlaku sebaliknya. Bukannya menjadi teladan, mereka justru menjadi ‘teledan’yang memberi contoh yang sangat buruk. M
LSM Sahara (Sahabat Anak dan Remaja) baru baru ini mengungkapkan, bahwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru kini cukup tinggi. Terutama di Kabupaten Bandung. Di antara yang menyita perhatian khalayak adalah tatkala terungkapnya kasus seorang Guru Honorer di SDN Margahayu III yang melakukan pelecehan seksual terhadap ratusan siswinya dalam rentang tahun 2007- 2013. Menurut LSM Sahara, yang dimaksud pelecehan bukan terbatas pada anak yang diperkosa. Namun juga dipeluk, dicium, atau dipegang bokong dan pahanya.(inilakoran, 21/4/14)
Kita tak bisa menutup mata, kasus semacam ini tak lagi bersifat kasuistik dan hanya muncul di satu daerah tertentu. Keberadaannya kini justru mewabah dan hampir merata di berbagai penjuru di negeri ini. Melenyapkan rasa ‘malu’ yang katanya sejak masa lalu sudah menjadi budaya yang mengurat akar pada jiwa masyarakat.
Memecahkan Masalah
Dimana ada asap, di situ ada api. Dimana ada masalah, di sana pasti ada akar yang menyebabkan masalah itu menjalar. Dalam mengurai masalah ini, kita memang mesti mendudukkan guru sebagai pihak ‘tersangka’ dalam proporsinya seperti manusia yang lainnya. Dimana guru, bagaimanapun juga, adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan juga buruk.
Maka di sini yang dipersoalkan adalah, mengapa kecenderungan buruk itu muncul sedemikian mewabah? Kemudian bagaimana cara menekannya? Dalam hal ini, setidaknya ada tiga hal yang disoroti islam untuk memecahkan jawabannya.
Pertama, Sistem Pendidikan. Mesti dipahami, bahwa guru adalah output dari sistem pendidikan. Setiap guru tentu merupakan warga yang telah melalui berbagai jenjang pendidikan sebelum akhirnya menjadi guru. Dan kepribadian guru, sedikit banyak pasti dipengaruhi oleh apa yang diberikan kepadanya tatkala mendidik dirinya di berbagai jenjang tersebut.
Tak bisa dipungkiri, bahwa kini sistem pendidikan kita di berbagai jenjangnya masih kental dengan nuansa sekularisme. Sekularisme adalah sebuah ide yang memisahkan agama dari kehidupan. Dimana agama, hanya menjadi unsur ritualik dan simbolik yang penggunaannya terbatas dalam ranah privat. Sementara untuk urusan yang terkategori publik, agama tak diberi ruang untuk masuk sebagai sistem nilai yang mengikat setiap manusia.
Para calon guru hari ini, cenderung tak diperhatikan pemahaman agamanya. Padahal, Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini, memiliki seperangkat konsep dan aturan yang dapat ditanamkan kepada setiap insan. Dimana Allah SWT memberikan jaminan keberkahan bila manusia mau mengintegrasikan hal tersebut dalam dirinya. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, maka akan Kami limpahkan berkah dari langit dan bumi”(TQS; Al A’raf; 96)
Kedua, Budaya Saling Mengingatkan. Islam memandang, bahwa manusia bukanlah robot. Ketika seorang manusia diberi pemahaman tentang mana yang benar dan salah, akan tetap ada kecenderungan manusia untuk mengingkari apa yang telah masuk ke dalam sistem berfikirnya. Artinya, kecenderungan untuk berbuat salah akan tetap muncul. Termasuk, dalam diri guru.
Maka di sinilah Islam menempatkan peran amar ma’ruf, nahyi mungkar sebagai sebuah alat kontrol sosial. Dalam Islam, hendaknya setiap elemen masyarakat saling memberikan nasihat untuk berbuat baik, dan mencegah berbuat buruk. Aktivitas ini tentu bukan hanya tanggung jawab para kiyai atau ustadz. Melainkan siapapun juga, selama ia memiliki ilmunya. Tentu, hal ini hanya akan terwujud bila pemerintah dan para ulama menghidupkan sistem yang dapat mendongkrak kapabilitas dan kapasitas keilmuan masyarakat tentang agamanya. Bila tak demikian, jangan harap fungsi amar maruf nahyi munkar sebagai alat kontrol sosial ini akan berjalan.
Ketiga, sistem sanksi dan pelaksanaannya. Tak dipungkiri, sekalipun sudah diberikan pemahaman dan upaya pencegahan, kerap kali manusia memang nekat untuk berlaku kriminal, termasuk guru. Parahnya, fakta tersebut kini didukung dengan sistem sanksi yang kurang tegas, tak memberikan efek jera dan relatif mudah di beli. Akibatnya, rasa takut untuk berlaku menyimpang pun mudah lenyap dan hilang pada jiwa seseorang.
Islam memiliki kejelasan dalam memandang apa yang dimaksud kriminalitas (jarimah). Dalam Islam, setiap pelanggaran terhadap syariat adalah tindak kriminal. Termasuk, Islampun memiliki sanksi yang tegas bagi pelaku kriminal. Dalam Islam misalnya, pelaku zina, apabila sudah pernah menikah (muhshan) akan dirajam sampai mati. Sementara yang belum akan dicambuk 100 kali.
Sanksi ini harus ditegakkan. Bukan dalam rangka menerapkan pola kekejaman. Namun sebagai perlindungan bagi manusia agar takut untuk melakukan tindak kriminal yang dapat menjerumuskannya ke neraka, dan membuat para wanita- termasuk siswa- untuk hidup dengan rasa aman dari nafsu keji para lelaki, yang dalam hal ini gurunya sendiri.
Sesungguhnya, sistem pendidikan islami, budaya saling mengingatkan, dan ketegasan sanksi serta pelaksanaan yang disampaikan di atas, bukanlah hal yang utopia untuk diwujudkan. Ketiganya bisa benar benar tegak bila Negara membangun negerinya bertolak pada view islam, dengan menjadikan Khilafah sebagai sistem politik yang diterapkannya.[]
Langganan:
Postingan (Atom)