Keutamaan
Ahli Ilmu
Seorang
ulama besar di kalangan tabi’in sekaligus muhaddits bernama Imam
Ayub Kaysan as-Sakhtiyani al-Bashri (w 131 H), sebagaimana pernah dituturkan
oleh muridnya, Hammad bin Zaid mengisahkan, suatu saat pernah ditanya, “Ilmu
hari ini lebih banyak atau lebih sedikit?” Ia menjawab, “Hari ini
obrolan lebih banyak! Adapun sebelum sebelum hari ini, ilmu lebih banyak.”
(Al-Hafidz al-Fasawi, Al-Ma’rifah wa at-Tarikh, II/232).
Jika
pada masa tabi’in saja Imam Ayub menilai bahwa obrolan lebih banyak
daripada ilmu, bagaimana dengan zaman ini? Jawabannya sudah sama-sama diketahui
hanya dengan melihat realitas keseharian saat ini. Hari ini, misalnya,
majelis-majelis ilmu selalu lebih sedikit daripada ‘majelis-majelis’ hiburan
dan permainan, warung-warung kopi sekaligus tempat-tempat ngerumpi,
tempat-tempat nongkrong di pinggir-pinggir jalan atau di mal-mal, dll.
Orang-orang yang hadir di majelis-majelis ilmu pun selalu lebih sedikit
dibandingkan dengan mereka yang hadir di tempat-tempat keramaian lainnya,
seperti di panggung-panggung hiburan yang menampilkan para musisi dan artis
idola. Wajarlah jika pada hari ini jumlah umat Islam yang awam atau bodoh
terhadap agamanya selalu jauh lebih banyak daripada orang-orang alimnya.
Padahal kebanyakan mereka tahu bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban setiap
Muslim, sama seperti kewajiban individual lainnya seperti shalat, shaum
Ramadhan, dll. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu adalah
kewajiban atas setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah dari Anas ra).
Bahkan
dalam sejarah, tidak ditemukan suatu agama yang mendorong pemeluknya untuk mencari
ilmu—bahkan sejak dini—kecuali agama Islam. Karena itulah, dalam lintasan
sejarah ribuan orang telah menjadi ulama justru saat anak-anak. Pada masa
Rasulullah SAW masih hidup, misalnya, Ibnu Abbas ra telah hafal Alquran pada
usia 10 tahun. Imam Syafi’i telah hafal Alquran pada usia 7 tahun dan telah
mampu berfatwa dalam usia 15 tahun. Imam al-Bukhari mulai menghafal hadits
ketika duduk di bangku madrasah dan mengarang kitab At-Tarikh pada usia
18 tahun.
Islam
pun mengajari kita bagaimana seharusnya kita memilih guru yang baik. Sebab,
guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas di dalam jiwa
dan pikiran mereka. Guru adalah sumber pengambilan ilmu. Para sahabat dan
salafus shalih sangat serius di dalam memilih guru yang baik bagi anak-anak
mereka. Imam Mawardi menegaskan urgensi memilih guru yang baik dengan
mengatakan, “Memang wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan
pendidik bagi anak, seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan ibu susuan
baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil akhlak,
gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang diambil dari orang
tuanya sendiri…” (Nasihah al-Muluk, h. 172).
Karena
itulah Islam pun mengajari kita untuk memuliakan para ulama. Abu Umamah ra
menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada tiga orang dimana
tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang itu munafik. Mereka adalah orang
tua, ulama dan pemimpin yang adil.” (HR ath-Thabrani).
Hal
ini wajar karena ulama adalah pewaris para nabi. Tentang keutamaan para ulama,
Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Allah mengangkat derajat orang-orang
yang beriman dan berilmu beberapa derajat (TQS al-Mujadalah [58]: 11).
Selain
itu, Imam al-Ghazali menukil perkataan Yahya bin Mu’adz mengenai keutamaan
ulama, “Para ulama itu lebih sayang kepada umat Muhammad saw. dari
pada ayah dan ibu mereka sendiri.” Ditanyakalah kepadanya, “Mengapa bisa
demikian?” Ia menjawab, “Karena para ayah dan ibu itu hanya menjaga
anak-anak mereka dari neraka dunia, sedangkan para ulama itu menjaga mereka
dari neraka akhirat.” (Ihya’ ‘Ulum ad-Din, I/11).
Karena
itu memuliakan ulama, menghormati dan merendahkan diri kepada mereka,
bersikap santun dan lembut di dalam bergaul dengan mereka, semua itu merupakan
adab terhadap ulama yang harus dibiasakan sejak kanak-kanak.
Abu
Umamah ra juga menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya
Luqman berkata kepada putranya, ‘Anakku, engkau harus duduk dekat pada ulama.
Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah menghidupkan
hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi
yang mati dengan hujan deras.” (HR Ath-Thabrani).
Selain
merupakan kewajiban, yang pasti menuntut ilmu akan memudahkan jalan bagi
pencarinya untuk menuju surga, sebagaimana sabda Nabi SAW. “Siapa saja yang
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan bagi dirinya
menuju surga.” (HR Muslim dan at-Tirmidzi).
Tentu
saja, jika ilmu itu benar-benar diamalkan dalam kehidupan. Sebab, sebagaimana kata
Imam al-Ghazali pula, “Meski engkau telah mengkaji ilmu seratus tahun dan telah
memiliki seribu buku, engkau belumlah siap untuk memperoleh rahmat Allah,
kecuali dengan mengamalkannya. Ini sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya):
Sesungguhnya tidaklah bermanfaat bagi manusia kecuali apa yang telah ia
usahakan (TQS an-Najm: 49)”. (Ayuhal Walad, hlm. 21).
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar