Ramadhan:
Memurnikan Penghambaan kepada Allah
Bulan
Ramadhan beberapa hari lagi akan datang. Ramadhan adalah bulan agung. Allah SWT
menegaskan bahwa pada bulan Ramadhanlah al-Quran yang Mulia diturunkan (Lihat:
QS al-Baqarah [2]: 185). Di bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik
dari seribu bulan, yakni Lailatul Qadar (QS al-Qadar [97]: 1). Rasulullah saw.
Juga bersabda:
« قَدْ
جَاءَكُمْ رَمَضَانَ شَهْرٌ مَبَارَكٌ اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ
تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الجَنَّةِ وَ تُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الجَحِيْمِ وَ
تُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ»
Telah
datang kepada kalian Ramadhan, bulan keberkahan. Allah telah mewajibkan kalian
shaum di dalamnya. Di bulan itu pintu-pintu surga di buka, pintu-pintu neraka
ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di bulan itu terdapat suatu malam yang
lebih baik dari seribu bulan
(HR an-Nasa’i dan al-Baihaqi).
Di bulan ini pula Allah SWT
melimpahkan pahala yang berlipat ganda, puluhan sampai ratusan kali lipat,
bahkan hingga jumlah yang Allah kehendaki, untuk setiap amal salih yang
dilakukan. Selain itu, amalan Ramadhan juga akan bisa menjadi kafarat (penebus)
dosa-dosa, selain dosa besar.
Karena
itu, Ramadhan adalah bulan yang agung, penuh kemuliaan dan keberkahan.
Kedatangannya tentu harus disambut dengan penuh kegembiraan dan penghormatan
yang agung.
Kegembiraan di Tengah Kesempitan
Hidup
Sayang,
kegembiraan menyambut bulan Ramadhan harus kita jalani di tengah kesempitan
hidup yang mendera dan berbagai persoalan terus menghimpit. Kesempitan hidup
dan himpitan persoalan terjadi pada hampir semua sisi kehidupan.
Kesempitan
hidup dalam aspek ekonomi yang sudah berlangsung lama, baru-baru ini makin
meningkat akibat dinaikkannya harga BBM pada 22 Juni lalu. Akibatnya,
harga-harga kebutuhan yang sebelumnya sudah membubung pun menjadi bertambah
tinggi. Pada beberapa komoditas, yang terjadi bukan sekadar harga naik, namun
sudah ganti harga karena kenaikan harga yang tinggi. Ongkos angkutan juga
mengalami kenaikan. Akibatnya, hampir semua harga barang dan jasa naik
bersama-sama alias inflasi. Kenaikan harga-harga itu makin terasa dengan datangnya
bulan Ramadhan dan Idul Fitri dan berbarengan pula dengan tahun ajaran baru.
BPS
mencatat inflasi Juni sebesar 1,03 persen. Laju inflasi Juni ini rekor
tertinggi dalam lima tahun terakhir. Andil utama inflasi ini adalah kenaikan
harga BBM bersubsidi (Kompas, 2/7). Jika inflasi Juni sudah sedemikian, padahal
dampak kenaikan harga BBM baru berpengaruh pada pekan terakhir Juni, maka
inflasi Juli bisa dipastikan akan lebih tinggi lagi. Bahkan Bank Indonesia (BI)
memperkirakan kenaikan inflasi akibat kenaikan harga BBM bersubsidi akan
memuncak pada bulan Juli ini, lantaran dampak pada inflasi Juni ternyata belum
penuh. Dan Ekonom Utama Bank Dunia, Ndiame Diop, memperkirakan kenaikan harga
BBM bersubsidi dapat meningkatkan laju inflasi pada akhir tahun hingga mencapai
9 persen (Kompas.com, 2/7).
Tingginya
angka inflasi itu, mencerminkan makin beratnya beban yang harus dipikul warga
negeri ini. Dengan naiknya harga-harga, sementara pendapatan mereka tidak naik
bahkan sebagian malah turun, daya beli mereka pun turun. Itu artinya, sebagian
kebutuhan mereka kualitas pemenuhannya akan turun atau bahkan tidak bisa
dipenuhi. Dan itu sama saja, rakyat negeri ini akan makin tak sejahtera. Tidak
sedikit dari mereka akan jatuh ke bawah batas kemiskinan, dan yang sudah miskin
akan makin jauh dari sejahtera.
Semua
itu adalah dampak yang langsung dirasakan oleh rakyat dari kebijakan kenaikan
harga BBM. Sementara manfaatnya tidak dirasakan dan dipahami oleh rakyat,
manfaatnya entah siapa yang tahu. Barangkali bukan basa-basi jika presiden SBY
seperti dikutip okezone.com (29/6) mengatakan: “ … Biar Tuhan yang
tahu manfaat kebijakan ini untuk rakyat. Untuk itu saya juga memberikan
kompensasi kepada rakyat.” Nyatanya, dana BLSM tak berdaya mengurangi beban
rakyat akibat harga bahan pokok yang terus melangit. Bantuan uang tunai itu
hanya mampu membuat rakyat bertahan selama beberapa hari (Republika, 2/7).
Apalagi, pelaksanaannya juga rawan penyimpangan. Pemerintah sendiri mengakui
masih ada deviasi atau penyimpangan dari realisasi program BLSM. Menkoinfo
Tifatul Sembiring (Kompas.com, 27/6) mengatakan, “Ada deviasi 6-7 persen.
Deviasi dibandingkan BLT dulu di atas 20 persen. Sekarang 6-7 persen wajarlah”.
Padahal dengan anggaran 9,3 triliun, potensi penyimpangan yang dianggap wajar
itu sekitar Rp651 miliar. Potensi penyimpangan juga ada dalam program Raskin
jika mengacu penyaluran Raskin pada Maret 2013. Survey BPS menyimpulkan,
penyaluran Raskin kacau. Sebanyak 9,41 juta rumah tangga miskin hanya menerima
30 persen jatah. Sementara 3,14 juta rumah tangga miskin lainnya yang berhak
bahkan tidak menerima jatah sama sekali (Kompas, 2/7).
Itu
hanya sebagian dari kesempitan hidup yang mendera warga dan sebagian persoalan
negeri ini secara ekonomi. Di sisi lain, hampir semua apsek kehidupan di negeri
ini tidak lepas dari himpitan berbagai persoalan. Sekadar contoh, dalam masalah
kesehatan, rakyat kebanyakan, terutama rakyat miskin, tetap saja banyak yang
kesulitan mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Anekdot “rakyat miskin di
larang sakit” begitu nyata. Akibat beban hidup yang makin berat, makin bayak
orang yang depresi. Tak sedikit pula yang akhirnya memilih bunuh diri. Penduduk
negeri ini pun terus menjadi sasaran peredaran narkoba. Diperkirakan, tak
kurang dari 4 juta orang menjadi pecandu narkoba. Di sisi lain, meningkatnya
angka kriminalitas makin mengancaman. Dan masih seabreg persoalan lainnya
menghimpit negeri ini pada semua aspek.
Kembali kepada Ketakwaan
Semua
itu tentu harus segera diperbaiki dan diakhiri. Untuk itu kita mesti
merenungkan kenapa dan bagaimana memperbaikinya. Al-Quran sesungguhnya telah
memberikan jawabannya. Semua itu tidak lain merupakan kesempitan hidup yang
sudah diperingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ
لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا
Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit (TQS Thaha [20]: 124)
Semua
kesempitan hidup dan himpitan persoalan multi dimensi itu tak lain akibat
berpaling dari peringatan Allah, yakni berpaling dari syariah dan hukum-hukum
Allah. Semua itu merupakan kerusakan akibat ulah tangan manusia yakni akibat
bermaksiyat melanggar syariah dan hukum-hukum Allah (lihat QS ar-Rum [30]: 41).
Allah timpakan semua itu agar manusia kembali kepada kebenaran dan ketakwaan.
Maka
untuk memperbaiki semua persoalan dan mengakhiri berbagai kesempitan hidup itu,
jalan satu-satunya adalah kembali kepada petunjuk dari Allah SWT, kembali
kepada syariah dan hukum-hukum Allah.
Itulah
sesungguhnya hikmah dari puasa Ramadhan yang Allah wajibkan kepada kita semua,
yaitu agar kita bertakwa. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 183)
Takwa sebagaimana dijelaskan imam
an-Nawawi adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Ketakwaan itu tentu bukan ketakwaan pada aspek-aspek tertentu saja, misalnya
sebatas aspek ibadah mahdhah, akhlak dan masalah keluarga. Akan tetapi
ketakwaan itu mestilah diwujudkan dalam semua aspek kehidupan. Ketakwaan yang
harus diwujudkan itu tentu juga bukan sebatas pada tingkat individu, dan
keluarga, tetapi juga pada tingkat pengaturan urusan kemasyarakatan dan
bernegara.
Memurnikan Penghambaan
Ketakwaan
itu tentu saja mengharuskan penerapan syariah dan hukum-hukum Allah dalam
segenap aspek dan secara total pada seluruh tingkatan. Dilaksanakan secara
formal melalui kekuasaan negara. Itu artinya, semua perkara di masyarakat harus
dihukumi dan diputuskan sesuai syariah dan hukum-hukum Allah. Allah
memperingatkan, siapa saja yang tidak memutuskan perkara dengan hukum-hukum
Allah maka dia termasuk orang yang zalim, fasik atau kafir (QS al-Maidah [5]:
44, 45, 47).
Untuk
itu, sistem demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya yang menyerahkan penentuan
hukum kepada manusia harus ditinggalkan. Kedaulatan rakyat itu hakikatnya
adalah bentuk kesyirikan sistematis seperti yang dilakukan Bani Israel. Allah
SWT berfirman:
] اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ …[
Mereka
menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah … (QS at-Tawbah [9]: 31)
Tatkala
Nabi membaca ayat tersebut, Adi Bin Hatim berkata: “ya Rasulullah mereka tidak
menyembah para alim dan rahib mereka”. Nabi menjawab:
« بَلَى،
إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ الْحَلاَلَ، وَأَحَلُّوْا لَهُمْ الْحَرَامَ،
فَاتَّبِعُوْهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَاهُمْ »
Ya,
mereka (orang-orang alim dan para rahib) mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram lalu mereka mengikuti mereka, maka itulah ibadah
(penyembahan) mereka kepada orang-orang alim dan para rahib (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Karena itu, ketentuan boleh dan
tidak boleh, halal dan haram harus dikembalikan kepada syariah. Dengan begitu
kita bisa memurnikan tauhid dan peghambaan semata kepada Allah SWT.
Wahai Kaum Muslimin
Ramadhan
yang akan datang ini hendaknya kita jadikan momentum dan titik tolak untuk
merealiasai ketakwaan secara totalitas. Juga momentum untuk memurnikan tauhid
dan penghambaan semata kepada Allah SWT. Semua itu hanya bisa kita wujudkan
dengan menerapkan syariah dan hukum-hukum Allah secara total dan menyeluruh di
bawah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Wallâh a’lam
bi ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar