Senin, 17 Februari 2014

H.M.Ismail Yusanto: Perubahan Besar Tak Melalui Jalan Demokrasi

Pengantar:

Tahun 2014 disebut-sebut sebagai ‘tahun politik’ karena Pemilu lima tahunan bakal digelar pada bulan ini. Rencananya, Pemilu Legislatif dilaksanakan tanggal 9 April pada tahun ini. Untuk itu, umat Islam tentu membutuhkan semacam ‘panduan’ bagaimana seharusnya menyikapi ‘pesta demokrasi’ lima tahunan ini, tentu dari sperpektif Islam.

Untuk membahas sejumlah persoalan terkait Pemilu ini, tentu dalam hubungannya dengan nasib umat Islam dan perubahan di negeri ini, serta bagaimana seharusnya umat bersikap, baik terhadap Pemilu maupun terhadap demokrasi itu sendiri, al-waie kembali mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), H.M. Ismail Yuanto. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana pandangan HTI tentang partisipasi dalam Pemilu Legislatif mendatang?

Secara normatif, sikap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sangat jelas. HTI di Indonesia sebagai bagian dari HT di seluruh dunia tengah berjuang untuk penerapan syariah Islam secara kaffah melalui penegakan Khilafah. HTI menginginkan di negeri ini bisa tegak syariah Islam, baik sebagai bagian dari Kekhilafahan atau mungkin justru menjadi pusat Kekhilafahan itu sendiri. Karena itu perjuangan ke arah sana harus terus dilakukan secara sungguh-sungguh.

HT berjuang di Indonesia dengan segenap corak, rona dan dinamika kehidupan sosial politik ekonomi yang ada, termasuk menyangkut Pemilu 2014 yang tentu hasilnya akan membawa implikasi penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya terhadap dakwah Islam.

Pemilu mendatang adalah bagian dari sistem demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemilu sebagai bentuk wakâlah hukumnya mubah, tetapi tetap dengan catatan: untuk apa Pemilu tersebut diselenggarakan? Bila dalam kerangka dan untuk tegaknya syariah dan kepemimpinan Islam, hukumnya boleh, dan demikian sebaliknya. Proses politik yang diselenggarakan untuk mengokohkan kerangka sistem politik sekular itu tidaklah sesuai dengan Islam, karena Islam mewajibkan penegakkan sistem Islam, yakni Khilafah yang di dalamnya diterapkan syariah Islam secara kaffah.

Apakah itu artinya HTI golput?

HTI tidak pernah menyatakan atau menganjurkan golput. HTI memberikan panduan sebagaimana secara ringkas dinyatakan di atas. Berdasar panduan tersebut, umat bisa bersikap. Individu berhak untuk enetapkan sikapnya dalam menghadapi Pemilu nanti. Sesuai dengan prinsip penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan rahasia, orang lain tidak perlu tahu tentang pilihan sikap politik seperti apa yang (hendak) diambil oleh seseorang.

Dari semua Pilkada, angka golput selalu tinggi. Banyak pihak khawatir golput akan makin besar pada Pemilu nanti. Bagaimana menurut Ustadz?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan golput berkembang. Berdasarkan faktor pemicunya, bolehlah kita sebut:Pertama, ‘golput teknis’, artinya orang tidak memilih lebih karena alasan teknis; misalnya TPS-nya jauh atau mungkin lagi kurang enak badan, hujan deras dan sebagainya. Kedua, ‘golput psikologis’, yakni ketika seseorang merasa tidak perlu memilih karena tidak ada satu pun partai yang menyenangkan dirinya. Berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh kader dari berbagai partai membuat orang makin kecewa terhadap parpol yang ada. Karena itu kemudian ia tidak mau memilih.Ketiga, ‘golput ideologis’, yakni ketika seseorang tidak memilih karena alasan ideologi. Dalam pandangannya, tidak ada satu pun partai yang bersesuaian dengan ideologinya. Meski secara teknis bisa saja ia datang ke TPS, ia memutuskan tetap tidak memilih.

Berapa banyak masing-masing jenis golput itu, sejauh ini belum ada survey yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun apapun jenis golputnya, orang tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih sikap ini. Kalau ada yang harus disalahkan tidak lain adalah parpol dan kader partai yang telah banyak mengecewakan publik karena kinerjanya yang jauh dari harapan baik karena perilaku yang korup maupun karena buruknya peraturan perundangan serta kebijakan yang dihasilkan ketika yang bersangkutan duduk sebagai pejabat publik.

Soal fatwa golput haram?

Pada intinya, dalam fatwa itu dinyatakan: Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama, sedangkan imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Benar, kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Dengan adanya seorang pemimpin, kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah) masyarakat agar tercipta kemaslahatan bersama dapat diwujudkan. Oleh karena itu, benar pula bahwa memilih pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama (Islam) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, agar terwujud kemaslahatan bersama dalam masyarakat adalah sebuah kewajiban. Namun, kewajiban yang dimaksud di sini adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah); bila kepemimpinan yang islami telah terwujud maka kewajiban itu bagi yang lainnya telah gugur.

Benar pula, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan adalah haram. Namun, harus dikatakan, meski secara personal pemimpin tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan, sebagai pemimpin ia wajib memimpin semata-mata berdasarkan syariah Islam saja, karena kemaslahatan bersama yang dimaksud hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariah Islam. Tanpa syariah Islam, yang terjadi bukan kemaslahatan, tetapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terjadi sekarang ini.

Perlu diingatkan, bahwa telah ditetapkan melalui fatwa MUI sebelumnya bahwa sekularisme hukumnya haram. Karena itu memimpin berdasarkan sekularisme juga harus dinyatakan haram. Jadi, memilih pemimpin yang akan memimpin dengan sekularisme atau menolak syariah Islam demi mempertahankan sekularisme juga seharusnya dinyatakan haram.

Adapun ketetapan bahwa tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, tidaklah tepat, karena kewajiban memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ain). Itu pun dengan catatan, jika pemimpin yang dipilih atau diangkat tersebut adalah pemimpin yang benar-benar akan menjalankan syariah Islam.

Tentu, bagi siapa saja yang akan turut memilih pemimpin, wajib ia memilih pemimpin yang memenuhi kriteria agama (Islam), dan yang dipastikan akan memimpin berdasarkan syariah Islam semata. Karena itu anjuran untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar, tidaklah tepat. Mestinya, bukan dianjurkan, tetapi diwajibkan.

Hukum memilih memilih pemimpin tidak sama dengan memilih wakil rakyat. Hukum memilih pemimpin yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar melalui penerapan syariah Islam secara kaffah adalah fardhu kifayah.

Adapun memilih wakil rakyat yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar adalah mubah; hukumnya mengikuti hukum wakalah (perwakilan) saat seseorang boleh memilih, boleh juga tidak. Karena itu, bagi umat Islam yang akan memilih wakilnya mestinya juga bukan sekadar dianjurkan, tetapi diwajibkan untuk memilih yang akan benar-benar mampu mengemban amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, mestinya harus dinyatakan pula bahwa memilih wakil rakyat yang sekular dan tidak mengemban amar makruf nahi mungkar hukumnya haram.

Ada yang mengatakan, Pemilu dan demokrasi adalah jalan dan mekanisme politik yang ada saat ini. Jika mau memperbaiki masyarakat, ya ikut mekanisme itu. Jika tidak berpartisipasi, itu cerminan sikap tak bertanggung jawab?

Kita memang harus ambil bagian dalam memperbaiki masyarakat. Kita tidak boleh tinggal diam. Persoalannya, apa yang harus diperbaiki dan bagaimana caranya? Kalau kita menelaah sungguh-sungguh, penyebab utama dari timbulnya kerusakan di seluruh sendi kehidupan masyarakat adalah sistem dan ideologi sekularisme-kapitalisme, selain pemimpin yang tidak amanah. Oleh karena itu, harus ada usaha keras untuk menghentikan sistem dan ideologi itu. Nah, HT tengah berjuang ke arah sana melalui cara yang berbeda dengan mekanisme politik yang sudah dikenal selama ini. Jadi, tidak bisalah, hanya karena memilih jalan berbeda lantas orang mengatakan HT sebagai tidak bertanggung jawab.
Bagaimana dengan pendapat bahwa kalau orang Islam tidak mau berpartisipasi dalam Pemilu, nanti kekuasaan dan kepemimpinan akan dipegang oleh orang sekular, bahkan orang kafir?

Pernyataan tadi adalah pernyataan hipotetis, yang tidak pernah menemukan faktanya. Faktanya, tetap saja banyak orang Islam masuk ke sana. Memang akan bagus bila yang masuk ke sana adalah Muslim yang baik. Namun, masuknya seorang Muslim yang bertakwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekular ini hanya akan berguna dalam satu kondisi, yakni ketika mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyir), menghentikan sistem sekular dan menggantinya dengan sistem Islam; mengoreksi penguasa; menjelaskan kebobrokan sistem sekular itu; sekaligus menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf nahi mungkar.

Bila itu tidak dilakukan, keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan bahaya besar, antara lain: akan digunakan oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekular sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang tengah berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyir), bahwa yang di parlemen juga Muslim, dan faktanya juga terlibat dan rela terhadap sistem yang ada. Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal-sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal-sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak; akan memalingkan perasaan umat sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.

Kalau tidak lewat Pemilu atau demokrasi, adakah jalan lain untuk memperbaiki masyarakat?

Ada. Melalui jalan dakwah politis, seperti yang tengah dilakukan oleh HTI saat ini.

Bukankah demokrasi dan Pemilu jalan yang paling aman, damai dan memungkinkan?

Banyak orang lupa, perubahan politik terjadi tidak melulu melalui Pemilu. Bahkan bisa dibilang, semua perubahan politik besar justru terjadi bukan melalui jalan Pemilu. Lihatlah bagaimana pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, begitu juga berakhirnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Semua terjadi bukan melalui Pemilu. Perubahan besar di Timur Tengah juga terjadi bukan melalui pemilu. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau orang memutlakkan Pemilu sebagai jalan perubahan untuk mencapai cita-cita politik.

Apalagi dalam kenyataannya, dalam konteks cita-cita politik Islam, Pemilu tidak pernah memberikan kesempatan kepada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan politik islaminya. Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, begitu juga di Palestina, Turki dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga (bakal) membubarkan Ikhwanul Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Peristiwa ini seolah mengulangi apa yang sebelumnya terjadi pada FIS di Aljazair dan Erbakan di Turki. Keduanya memenangi Pemilu, bahkan Erbakan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama 2 tahun sebelum akhirnya dihentikan oleh militer. Di Aljazair, hasil Pemilu yang dimenangi oleh FIS dibatalkan, bahkan kemudian FIS menjadi partai terlarang dan lebih dari 30 ribu anggotanya, termasuk Ali Belhaj dan Abbas Madani—dua tokoh utama FIS—dipenjara.

Artinya, Pemilu dalam sistem demokrasi hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam untuk meraih tujuan politiknya, termasuk dalam melahirkan peraturan perundangan dan kebijakan publik, sepanjang hal itu tidak membahayakan kepentingan Barat dan keberlangsungan sistem sekularisme. Sekali muncul kekuatan politik Islam yang berhasil meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu bakal menegakkan Islam yang sebenarnya, seperti FIS yang memang telah menyiapkan konstitusi baru bagi Aljazair yang sepenuhnya berdasar Islam, atau dikhawatirkan condong pada Islam seperti Erbakan di Turki atau Mursi di Mesir, negara Barat tak segan akan menghentikan kekuatan politik itu dengan segala cara (at all cost). Karena itu, bagaimana kita masih saja terus percaya pada jalan ini, dan menggantungkan masa depan cita-cita politik kita padanya?

Lalu bagaimana jalan islami agar Islam bisa sampai ke tampuk kekuasaan?

Melalui dakwah politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Dimulai dari tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin), interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah) dan tahap istilam al-hukmi(penyerahterimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dari tahap pembinaan dan pengkaderan lahir kader dakwah yang ber-syakhsiyyah Islam dan pengembangan tubuh jamaah. Dari interaksi dengan umat melalui berbagai kegiatan seperti yang selama ini dilakukan, ide-ide Islam berkembang dan menjadi opini publik. Pada saat yang sama, dilakukan kontak dengan the influenzial people (ashabul fa’aliyat) serta ahlul-quwwah baik dari kalangan penguasa maupun pemimpin militer sedemikian sehingga mereka paham, bersetuju dan mendukung bahkan memberikannushrah atau pertolongan pada dakwah sehingga tercapai tujuan politik, yakni tegaknya syariah dan Khilafah. []

http://hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/h-m-ismail-yusanto-perubahan-besar-tak-melalui-jalan-demokrasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar