Senin, 17 Februari 2014

Soal Jawab Tentang Jangka Waktu Syirkah dan Hukum Jual Beli Lelang

بسم الله الرحمن الرحيم


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Bagaimana kondisi Anda syaikhuna al-fadhil dan ‘alimuna al-jalil? Saya memohon kepada Allah agar berada pada keadaan yang terbaik.
Pertanyaan saya: Pertama, apakah asy-syarik (mitra syirkah) bisa keluar dari syirkah kapan saja ia inginkan? Perlu diketahui bahwa ada jangka waktu tertentu yang disepakati sebelumnya yaitu satu tahun. Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, semoga Allah memberkahi Anda.
Kedua, didirikan balai lelang umum untuk penyelenggaraan bay’ al-muzayadah (lelang). Di situ terjadi penawaran harga yang meningkat diantara para pedagang hingga mencapai harga tertinggi berkali-kali lipat dari harga dasar yang menyebabkan kerugian sebagian pedagang. Apakah secara syar’iy boleh pedagang menambah penawaran harga sampai pada derajat yang menyebabkan kerugian pesaingnya dan pada beberapa kondisi membuatnya bangkrut? Mohon disertai dengan dalil-dalil dan rinciannya, semoga Allah memberkahi Anda.
Ketiga, untuk mencegah terus meningkatnya penawaran harga, dilakukan kesepakatan di antara pedagang di pelelangan umum dan swasta sebelum terjadi lelang. Yakni sebagian memberikan harta kepada sebagian yang lain, agar tidak terjadi tawaran yang terus meningkat diantara mereka di dalam lelang atau harga tidak sampai pada batas tertinggi. Apa hukum harta yang diberikan di antara para pedagang itu? Apa hukum aktivitas perdagangan seperti ini? Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, dan semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.
Saya mohon maaf karena panjangnya dan banyaknya pertanyaan. Saya tahu besarnya beban tanggung jawab Anda. Semoga Allah menolong Anda dan memberikan kemenangan melalui tangan Anda. Semoga Allah menyiapkan ahlu nushrah untuk Anda sebagaimana dahulu Allah menyiapkannya untuk kekasih-Nya al-Mushthafa saw.

Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, pertanyaan Anda tentang jangka waktu dalam syirkah:
  1. Syirkah secara bahasa adalah percampuran dua bagian atau lebih di mana tidak bisa dibedakan lagi satu dari yang lain. Syirkah secara syar’iy adalah akad antara dua orang atau lebih yang bersepakat di dalamnya untuk melakukan aktivitas finansial dengan maksud memperoleh laba. Akad syirkah mengharuskan adanya ijab dan qabul secara bersama, seperti semua akad lainnya. Ijab adalah salah satu pihak mengatakan kepada pihak lain aku bersyirkah denganmu dalam hal demikian, sementara pihak lain mengatakan aku terima… Akan tetapi akad itu harus mengandung makna berserikat atas sesuatu.
Syirkah hukumnya boleh. Rasulullah SAW diutus dan masyarakat bermuamalah dengannya lalu Rasul SAW menyetujuinya. Maka persetujuan beliau SAW terhadap muamalah masyarakat itu merupakan dalil syar’iy atas kebolehannya. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا»
“Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku menjadi pihak ketiga dari dua orang yang bersyirkah selama yang satu tidak mengkhianati yang lain, dan jika dia mengkhianatinya maka Aku keluar dari keduanya.”

  1. Penyebutan jangka waktu di dalam akad syirkah bukan keharusan. Syirkah tidak perlu jangka waktu dalam pengakadannya. Akan tetapi syirkah itu terakadkan dan tidak ada kemajhulan di dalam akadnya, sehingga memerlukan penentuan jangka waktu seperti ijarah misalnya. Adapun ijarah menjadi majhul jika tidak disebutkan jangka waktunya, sehingga tidak terakadkan (dengan sempurna) kecuali disebutkan jangka waktu, baik jangka waktu saja terpisah dari lainnya harian, bulanan, tahunan… ataupun berkaitan dengan pekerjaannya sendiri misal ijarah membangun dinding, atau menggali sumur sehingga jangka waktunya berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan.
  2. Pembubaran syirkah bergantung pada keinginan para syarik. Dua orang syarik yang mengakadkan syirkah atas aktivitas tertentu, bisa membubarkan syirkah itu kapan saja. Di dalam Nizham al-Iqtishâdiy disebutkan sebagai berikut:
(Syirkah secara syar’iy termasuk al-‘uqûd al-jâ`izah. Syirkah itu batal dengan kematian salah seorang dari dua orang yang bersyirkah, atau dia gila atau dihijr atas kelemahan akalnya. Atau syirkah itu bubar dengan pembubaran oleh salah satu dari keduanya jika syirkah itu terdiri dari dua orang. Sebab syirkah adalah ‘aqdun jâ`izun maka dengan semua itu batal seperti halnya wakalah. Jika salah seorang dari kedunya mati dan ia memiliki pewaris yang rasyîd (tidak lemah akal), maka pewarisnya itu berhak menggantikannya di dalam syirkah dan mengizinkan mitra syirkahnya dalam melakukan tasharruf. Pewarisnya itu juga berhak meminta pembagian. Jika salah seorang dari kedua mitra syirkah meminta pembubaran (fasakh), maka bagi mitra syirkah lainnya wajib memenuhi permintaan itu. Jika mitra syirkah itu banyak dan salah seorang dari mereka meminta pembubaran, sementar yang lain ingin mempertahankan, maka syirkah yang ada dibubarkan dulu, lalu diperbaharui diantara yang masih bertahan. Hanya saja harus dibedakan antara syirkah mudharabah dengan lainnya. Dalam syirkah mudharabah, jika pengelola meminta aset syirkah dijual, sementara pemodal (shahibul mal) meminta pembagian, maka permintaan pengelola yang dipenuhi. Sebab haknya ada dalam laba, sementara laba itu tidak akan tampak kecuali dalam penjualan aset. Sedangkan dalam jenis syirkah lainnya, jika salah satu meminta dibagi dan yang lain meminta dijual, maka yang dipenuhi adalah permintaan dibagi, bukan dijual).
Ini yang kami tabanni dalam hal terakadkannya syirkah tanpa disebutkan jangka waktu. Dimana jangka waktu itu bukan keharusan untuk keabsahan aqad syirkah.
  1. Adapun jika disebutkan jangka waktu di dalam syirkah tersebut, maka ini telah diperselisihkan oleh para fukaha. Anda boleh bertaklid kepada mujtahid yang ijtihadnya menenteramkan Anda dalam masalah tersebut. Saya kutipkan pendapat sebagian mujtahid mu’tabar dalam masalah tersebut:
-                      Boleh ditentukan jangka waktu mudharabah menurut hanafiyah dan hanabilah. Yakni ditentukan jangka waktu untuk syirkah mudharabah. Dan jika berakhir jangka waktu itu selesailah syirkah tersebut.
-                      Malikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah tidak menerima penentuan waktu. Sebab hukumnya seperti yang dikatakan oleh malikiyah: tidak ada jangka waktu. Masing-masing dari keduanya boleh meninggalkannya kapan saja ia mau. Dan karena penentuan jangka waktu –seperti yang dikatakan syafi’iyah- menyebabkan kesempitan terhadap pengelola dalam aktifitasnya. An-Nawawi menyebutkan di Raudhah ath-Thalibin: tidak dijadikan patokan di dalam al-qiradh “mudharabah” penjelasan jangka waktu …

Kedua, pertanyaan Anda tentang bay’ al-muzâyadah:
  1. Bay’ al-muzâyadah adalah boleh. Yakni penjual menawarkan barangnya kepada para pembeli dan ia menjualnya kepada orang yang membayar paling tinggi. Yang demikian:
Ibn Majah telah mengeluarkan dari Anas bin Malik:
«أَنَّ رَجُلاً مِنْ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُهُ فَقَالَ: لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ؟ قَالَ: بَلَى، حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ، قَالَ: ائْتِنِي بِهِمَا، قَالَ: فَأَتَاهُ بِهِمَا، فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ، قَالَ: مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاثًا، قَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ، فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الأَنْصَارِيَّ…»
“Bahwa seorang laki-laki dari Anshar datang kepada Nabi saw bertanya kepada beliau. Beliau bertanya, “Engkau punya sesuatu di rumahmu?” Ia berkata: “Benar, sebuah alas pelana, kami pakai sebagian dan kami hamparkan sebagian; dan sebuah gelas yang kami gunakan untuk minum air.” Nabi bersabda, “Bawa keduanya kepadaku.” Anas berkata, “Maka ia membawanya kepada Nabi saw, dan beliau mengambil keduanya darinya. Kemudian Nabi saw besabda, “Siapa yang mau membeli kedua barang ini?” Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya dengan satu dirham.” Nabi bersabda: “Siapa yang menambah atas satu dirham?” Beliau ucapkan dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya dengan dua dirham.” Maka Nabi memberikan keduanya kepada orang itu dan beliau mengambil darinya dua dirham dan beliau berikan kepada laki-laki anshar itu…”
  1. Akan tetapi tidak boleh an-najasy dalam jual beli ini. Yakni menambah penawaran harga bukan untuk membeli, akan tetapi untuk memperdaya orang lain agar membelinya dengan harga tinggi… Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«…وَلاَ تَنَاجَشُوْا…»
“Jangan kalian saling menawar untuk meninggikan harga (an-najasy)”
Al-Bukhari juga mengeluarkan dari Ibn Umar ra. Ia berkata:
«نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّجْشِ»
“Nabi saw melarang an-najasy”
An-najasy adalah menambah harga barang padahal ia tidak membelinya. Yakni menambah tawaran harga pada suatu barang dengan maksud tidak ingin membelinya, tetapi untuk mengkondisikan orang lain yang menawarnya, agar menduga tidak bisa mendapat barang tersebut, jika tidak melebihi tawarannya; sehingga ia tertipu dan menambah tawaran harganya agar ia bisa membelinya.
  1. Demikian juga tidak boleh para pembeli bersepakat diantara mereka untuk merendahkan harga barang. Dan mereka bersepakat untuk tidak membayar lebih dari harga yang rendah… dan tidak menambah dari harga itu. Hal itu agar penjual menjual dengan harga murah tersebut. Sebab ia tidak mendapati pedagang yang mau membayar lebih tinggi…  Biasanya para pedagang sepakat dengan pedagang lain yang memberinya harta sebagai imbalan agar tidak menambah tawaran dari harga yang ia bayar; sementara ia membayar harga yang rendah untuk barang tersebut sedangkan para pedagang lainnya mau membayar harga yang lebih rendah dari harga itu sesuai kesepakatan di antara para pedagang itu. Lalu penjual itu pun menjual barangnya kepada pedagang yang menawar dengan harga murah itu, sebab semua pedagang lainnya hanya mau membayar harga lebih murah, di mana itu sesuai kesepakatan dengan pedagang yang membeli tersebut. Ini termasuk dalam bab al-khadî’ah. Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Zirru dari Abdullah ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ»
“Siapa yang menipu maka dia bukan bagian dari golongan kami dan makar dan tipudaya di neraka.”
Ishhaq bin Rahuwaih telah mengeluarkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:
«الْمَكْرُ وَالْخَدِيعَةُ فِي النَّارِ»
“Makar dan tipudaya di neraka”
Dan juga dikeluarkan oleh al-Bazar di Musnad-nya.
Demikian juga Allah SWT melarang merugikan manusia pada hak-hak mereka. Maka para pedagang menampakkan bahwa nilai barang itu rendah. Hal itu untuk menipu pemilik barang, sehingga ia menjualnya dengan harga murah. Allah SWT berfirman:
﴿وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ﴾
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” (26: 183)
Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsirnya untuk ayat tersebut:
[﴿وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ﴾ الْبَخْسُ النَّقْصُ. وَهُوَ يَكُونُ فِي السِّلْعَةِ بِالتَّعْيِيبِ وَالتَّزْهِيدِ فِيهَا، أَوِ الْمُخَادَعَةِ عَنِ الْقِيمَةِ، وَالِاحْتِيَالِ فِي التَّزَيُّدِ فِي الْكَيْلِ وَالنُّقْصَانِ مِنْهُ. وَكُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ..
 “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” Al-Bakhsu adalah an-naqshu (pengurangan). Dan itu terjadi pada barang dengan mencacatnya dan merendahkan tentangnya, atau menipu tentang nilai, dan melakukan muslihat dalam menambah takaran dan menguranginya. Semua itu termasuk aktifitas memakan harta dengan jalan yang bathil…” selesai.
Karena itu, jika para pedagang bersepakat di antara mereka untuk membeli barang si Fulan dengan harga murah, dan dia memberi mereka harta sehingga mereka tidak menaikkan tawaran harga dari harga yang ia inginkan. Dengan ungkapan lain, para pedagang sepakat untuk membayar harga lebih kecil dari harga yang diinginkan orang itu untuk membeli barang tersebut dengan imbalan orang itu membayar harta kepada mereka. Aktifitas ini haram. Sebab ini masuk dalam Bab al-Khadî’ah (tipudaya) terhadap pemilik barang untuk dibeli dengan harga murah. Dan harta yang diabil oleh pedagang itu dari para pedagang lainnya adalah haram.

Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar