Minggu, 23 Oktober 2016

HARI SANTRI NASIONAL

 HARI SANTRI NASIONAL
Digging up the Past
Oleh: M. Ismail Yusanto
Digging up the past adalah slogan yang sangat terkenal di kalangan para arkeolog. Ini mewakili semangat mereka untuk mengungkap masa lalu melalui usaha penemuan dan penggalian situs-situs bersejarah. Hasilnya adalah sebuah rekonstruksi kehidupan atau peradaban di masa lalu yang diharap bisa memberi pelajaran kepada kehidupan sekarang dan di masa mendatang.
Tapi slogan itu kiranya tepat juga dipakai oleh kita saat ini yang konsern pada pentingnya pelurusan sejarah. Terlebih setelah Presiden Jokowi - memenuhi janji kampanye saat pilpres tahun lalu - menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.  Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri tidak lepas dari kiprah santri dan para kiai dalam melawan penjajah yang ketika itu terus berusaha mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. 
Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam,  pada 22 Oktober dideklarasikanlah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Intinya, membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’iy. Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya sangat dimuliakan.

Kita tentu berharap, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan sekadar pemenuhan janji bagi kepentingan politik pencitraan, tapi ada misi yang lebih jauh, yakni usaha untuk mengungkap kebenaran sejarah. Misi ini sangat penting karena pelurusan sejarah akan berpengaruh besar dalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar di masa mendatang.
Kita tahu, sejarah memang tidaklah netral. Sejarah adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality) yang sangat tergantung pada siapa yang menuliskan, dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Di sinilah, demi memuluskan kepentingan politik penguasa, kejahatan penulisan sejarah kerap terjadi.
Setidaknya ada 3 kejahatan penulisan sejarah yang dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini.
Pertama, penguburan atau peniadaan peristiwa sejarah. Salah satu contoh paling nyata, ya soal Resolusi Jihad itu. Bila sejarah pergerakan  kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kyai yang tergabung dalam Sabilillah dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih khusus peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.
Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat  melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Tapi, dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan.
Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah salah satu buku yang dari sub judulnya “Biarkan kebenaran yang hampir setengah abad dikaburkan catatan sejarah itu terbongkar” menggambarkan semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad, yang menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarahwan.
Kedua, pengaburan peristiwa sejarah. Contohnya, siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Syarikat Dagang Islam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar