Banjir kembali terjadi dan kembali menelan korban . Di Jakarta, banjir
sekecil apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah yang
tidak kebanjiran. Dan kalau sudah musim bencana ini, tiba-tiba kita
seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang bukan hanya negeri yang
kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah.
Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan
Pasifik. Kita punya 129 gunung api aktif. Semua ini berpotensi gempa,
longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam
seketika. Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara
Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik. Maka bencana banjir,
abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran
hutan juga rajin berkunjung.
Namun, kenyataannya bangsa ini
masih belum banyak belajar. Seharusnya mereka adalah maestro-maestro
dunia dalam menghadapi bencana. Seharusnya bangsa-bangsa lain banyak
belajar ke Indonesia. Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar
ditangkal, namun baru dihadapi dengan sebatas tawakal.
Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?
Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga bersentuhan
dengan berbagai potensi bencana alam. Wilayah sekitar gurun di Timur
Tengah dan Afrika Utara amat rawan kekeringan. Lembah sungai Nil di
Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir. Sementara
itu Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga masih sangat rawan
gempa. Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18
belum diketahui pasti penyebab maupun obatnya datang menghantam,
misalnya cacar (variolla) atau pes. Namun toh Daulah Islam tetap
berdiri tegak lebih dari 12 abad. Kalaupun Daulah ini kemudian sirna,
itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena
kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elite politisnya, sehingga
dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan
memusnahkan.
Untuk menangkal kekeringan (yang penyebabnya kini
telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa
Muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan. Bunker ini
biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering.
Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan
sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim. Bunker ini tak
cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga
persiapan bila ada serangan musuh yang mengepung kota. Saat Perang
Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah
kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun. Yang
luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa
dikonsumsi.
Nilometer yang dibangun al-Farghani untuk peringatan dini banjir Sungai Nil
Sementara itu untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun
bendungan, terusan dan alat peringatan dini. Insinyur Al-Farghani (abad
9 M) telah membangun alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan
mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat.
Setelah bertahun-tahun mengukur, al-Farghani berhasil memberikan
prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan
early warning system ala al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat
dikendalikan sepenuhnya dengan bendungan. Dia umumkan sayembara untuk
insinyur yang siap membangun bendungan itu. Adalah Ibn al-Haitsam yang
akhirnya memenangkan kontrak pembangunannya. Namun tatkala dia berjalan
ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi untuk bendungan, dia
tertegun menyaksikan piramid-piramid raksasa yang dibangun Fir’aun. Dia
berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun piramid saja tak mampu
membendung sungai Nil, apalah artinya aku?” Karena malu dan takut
menanggung konsekuensi karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam
kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di
rumah dan hartanya diawasi negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn
al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika,
sehingga akhirnya menjadi Bapak Optika. Dia baru dilepas beberapa tahun
setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai lupa kasusnya.
Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan di masanya, namun
fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam
mengembangkan mekanika. Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang
berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
Di
Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa.
Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu
dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola
lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara
merata. Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah
yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di
atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat
dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di
Istanbul yang justru roboh.
Jadi bencana-bencana alam selalu
ditangkal dengan ikhtiar, tak cukup sekadar tawakkal. Penguasa Daulah
Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang
mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana. Mereka membayar para
insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan
bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga
melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat. Aktivitas jihad adalah
cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi
terburuk. Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat,
bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana
mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri
pasca kedaruratan.
Para pemimpin dalam Daulah Islam juga
orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang
yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun
genting.[]
Tahun 2014 disebut-sebut sebagai ‘tahun politik’ karena Pemilu lima
tahunan bakal digelar pada bulan ini. Rencananya, Pemilu Legislatif
dilaksanakan tanggal 9 April pada tahun
ini. Untuk itu, umat Islam tentu membutuhkan semacam ‘panduan’ bagaimana
seharusnya menyikapi ‘pesta demokrasi’ lima tahunan ini, tentu dari
sperpektif Islam.
Untuk membahas sejumlah persoalan terkait
Pemilu ini, tentu dalam hubungannya dengan nasib umat Islam dan
perubahan di negeri ini, serta bagaimana seharusnya umat bersikap, baik
terhadap Pemilu maupun terhadap demokrasi itu sendiri, al-waie kembali
mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), H.M. Ismail
Yuanto. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana pandangan HTI tentang partisipasi dalam Pemilu Legislatif mendatang?
Secara normatif, sikap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sangat jelas. HTI
di Indonesia sebagai bagian dari HT di seluruh dunia tengah berjuang
untuk penerapan syariah Islam secara kaffah melalui penegakan Khilafah.
HTI menginginkan di negeri ini bisa tegak syariah Islam, baik sebagai
bagian dari Kekhilafahan atau mungkin justru menjadi pusat Kekhilafahan
itu sendiri. Karena itu perjuangan ke arah sana harus terus dilakukan
secara sungguh-sungguh.
HT berjuang di Indonesia dengan
segenap corak, rona dan dinamika kehidupan sosial politik ekonomi yang
ada, termasuk menyangkut Pemilu 2014 yang tentu hasilnya akan membawa
implikasi penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya
terhadap dakwah Islam.
Pemilu mendatang adalah bagian dari
sistem demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemilu
sebagai bentuk wakâlah hukumnya mubah, tetapi tetap dengan catatan:
untuk apa Pemilu tersebut diselenggarakan? Bila dalam kerangka dan untuk
tegaknya syariah dan kepemimpinan Islam, hukumnya boleh, dan demikian
sebaliknya. Proses politik yang diselenggarakan untuk mengokohkan
kerangka sistem politik sekular itu tidaklah sesuai dengan Islam, karena
Islam mewajibkan penegakkan sistem Islam, yakni Khilafah yang di
dalamnya diterapkan syariah Islam secara kaffah.
Apakah itu artinya HTI golput?
HTI tidak pernah menyatakan atau menganjurkan golput. HTI memberikan
panduan sebagaimana secara ringkas dinyatakan di atas. Berdasar panduan
tersebut, umat bisa bersikap. Individu berhak untuk enetapkan sikapnya
dalam menghadapi Pemilu nanti. Sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
Pemilu yang bebas dan rahasia, orang lain tidak perlu tahu tentang
pilihan sikap politik seperti apa yang (hendak) diambil oleh seseorang.
Dari semua Pilkada, angka golput selalu tinggi. Banyak pihak khawatir
golput akan makin besar pada Pemilu nanti. Bagaimana menurut Ustadz?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan golput berkembang. Berdasarkan
faktor pemicunya, bolehlah kita sebut:Pertama, ‘golput teknis’, artinya
orang tidak memilih lebih karena alasan teknis; misalnya TPS-nya jauh
atau mungkin lagi kurang enak badan, hujan deras dan sebagainya. Kedua,
‘golput psikologis’, yakni ketika seseorang merasa tidak perlu memilih
karena tidak ada satu pun partai yang menyenangkan dirinya. Berbagai
kasus korupsi yang dilakukan oleh kader dari berbagai partai membuat
orang makin kecewa terhadap parpol yang ada. Karena itu kemudian ia
tidak mau memilih.Ketiga, ‘golput ideologis’, yakni ketika seseorang
tidak memilih karena alasan ideologi. Dalam pandangannya, tidak ada satu
pun partai yang bersesuaian dengan ideologinya. Meski secara teknis
bisa saja ia datang ke TPS, ia memutuskan tetap tidak memilih.
Berapa banyak masing-masing jenis golput itu, sejauh ini belum ada
survey yang bisa menjelaskan fenomena ini. Namun apapun jenis golputnya,
orang tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih sikap ini. Kalau ada
yang harus disalahkan tidak lain adalah parpol dan kader partai yang
telah banyak mengecewakan publik karena kinerjanya yang jauh dari
harapan baik karena perilaku yang korup maupun karena buruknya peraturan
perundangan serta kebijakan yang dihasilkan ketika yang bersangkutan
duduk sebagai pejabat publik.
Soal fatwa golput haram?
Pada intinya, dalam fatwa itu dinyatakan: Memilih pemimpin dalam Islam
adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan
bersama, sedangkan imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan
syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan
dalam masyarakat. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur
(siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai
kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya
adalah wajib. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat
sebagaimana disebutkan atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon
yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Benar, kepemimpinan
adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Dengan adanya seorang
pemimpin, kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah) masyarakat agar
tercipta kemaslahatan bersama dapat diwujudkan. Oleh karena itu, benar
pula bahwa memilih pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat
sesuai dengan ketentuan agama (Islam) dan memperjuangkan kepentingan
umat Islam, agar terwujud kemaslahatan bersama dalam masyarakat adalah
sebuah kewajiban. Namun, kewajiban yang dimaksud di sini adalah
kewajiban kolektif (fardhu kifayah); bila kepemimpinan yang islami telah
terwujud maka kewajiban itu bagi yang lainnya telah gugur.
Benar pula, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat
sebagaimana disebutkan adalah haram. Namun, harus dikatakan, meski
secara personal pemimpin tersebut telah memenuhi syarat-syarat
sebagaimana disebutkan, sebagai pemimpin ia wajib memimpin semata-mata
berdasarkan syariah Islam saja, karena kemaslahatan bersama yang
dimaksud hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur
masyarakat dengan syariah Islam. Tanpa syariah Islam, yang terjadi bukan
kemaslahatan, tetapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terjadi
sekarang ini.
Perlu diingatkan, bahwa telah ditetapkan
melalui fatwa MUI sebelumnya bahwa sekularisme hukumnya haram. Karena
itu memimpin berdasarkan sekularisme juga harus dinyatakan haram. Jadi,
memilih pemimpin yang akan memimpin dengan sekularisme atau menolak
syariah Islam demi mempertahankan sekularisme juga seharusnya dinyatakan
haram.
Adapun ketetapan bahwa tidak memilih sama sekali
padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, tidaklah
tepat, karena kewajiban memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif
(fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ain). Itu pun
dengan catatan, jika pemimpin yang dipilih atau diangkat tersebut adalah
pemimpin yang benar-benar akan menjalankan syariah Islam.
Tentu, bagi siapa saja yang akan turut memilih pemimpin, wajib ia
memilih pemimpin yang memenuhi kriteria agama (Islam), dan yang
dipastikan akan memimpin berdasarkan syariah Islam semata. Karena itu
anjuran untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas
amar makruf nahi munkar, tidaklah tepat. Mestinya, bukan dianjurkan,
tetapi diwajibkan.
Hukum memilih memilih pemimpin tidak sama
dengan memilih wakil rakyat. Hukum memilih pemimpin yang mengemban tugas
amar makruf nahi munkar melalui penerapan syariah Islam secara kaffah
adalah fardhu kifayah.
Adapun memilih wakil rakyat yang
mengemban tugas amar makruf nahi munkar adalah mubah; hukumnya mengikuti
hukum wakalah (perwakilan) saat seseorang boleh memilih, boleh juga
tidak. Karena itu, bagi umat Islam yang akan memilih wakilnya mestinya
juga bukan sekadar dianjurkan, tetapi diwajibkan untuk memilih yang akan
benar-benar mampu mengemban amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya,
mestinya harus dinyatakan pula bahwa memilih wakil rakyat yang sekular
dan tidak mengemban amar makruf nahi mungkar hukumnya haram.
Ada yang mengatakan, Pemilu dan demokrasi adalah jalan dan mekanisme
politik yang ada saat ini. Jika mau memperbaiki masyarakat, ya ikut
mekanisme itu. Jika tidak berpartisipasi, itu cerminan sikap tak
bertanggung jawab?
Kita memang harus ambil bagian dalam
memperbaiki masyarakat. Kita tidak boleh tinggal diam. Persoalannya, apa
yang harus diperbaiki dan bagaimana caranya? Kalau kita menelaah
sungguh-sungguh, penyebab utama dari timbulnya kerusakan di seluruh
sendi kehidupan masyarakat adalah sistem dan ideologi
sekularisme-kapitalisme, selain pemimpin yang tidak amanah. Oleh karena
itu, harus ada usaha keras untuk menghentikan sistem dan ideologi itu.
Nah, HT tengah berjuang ke arah sana melalui cara yang berbeda dengan
mekanisme politik yang sudah dikenal selama ini. Jadi, tidak bisalah,
hanya karena memilih jalan berbeda lantas orang mengatakan HT sebagai
tidak bertanggung jawab. Bagaimana dengan pendapat bahwa kalau orang
Islam tidak mau berpartisipasi dalam Pemilu, nanti kekuasaan dan
kepemimpinan akan dipegang oleh orang sekular, bahkan orang kafir?
Pernyataan tadi adalah pernyataan hipotetis, yang tidak pernah
menemukan faktanya. Faktanya, tetap saja banyak orang Islam masuk ke
sana. Memang akan bagus bila yang masuk ke sana adalah Muslim yang baik.
Namun, masuknya seorang Muslim yang bertakwa di parlemen dalam sistem
demokrasi sekular ini hanya akan berguna dalam satu kondisi, yakni
ketika mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka
melakukan perubahan mendasar (taghyir), menghentikan sistem sekular dan
menggantinya dengan sistem Islam; mengoreksi penguasa; menjelaskan
kebobrokan sistem sekular itu; sekaligus menyadarkan umat akan kewajiban
untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar
makruf nahi mungkar.
Bila itu tidak dilakukan, keberadaan
mereka di parlemen justru bisa menimbulkan bahaya besar, antara lain:
akan digunakan oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai
sekular sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang tengah
berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyir), bahwa yang di parlemen
juga Muslim, dan faktanya juga terlibat dan rela terhadap sistem yang
ada. Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan
perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk
tambal-sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya.
Tambal-sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak; akan
memalingkan perasaan umat sehingga justru malah tidak terdorong untuk
melakukan perubahan mendasar dengan cepat.
Kalau tidak lewat Pemilu atau demokrasi, adakah jalan lain untuk memperbaiki masyarakat?
Ada. Melalui jalan dakwah politis, seperti yang tengah dilakukan oleh HTI saat ini.
Bukankah demokrasi dan Pemilu jalan yang paling aman, damai dan memungkinkan?
Banyak orang lupa, perubahan politik terjadi tidak melulu melalui
Pemilu. Bahkan bisa dibilang, semua perubahan politik besar justru
terjadi bukan melalui jalan Pemilu. Lihatlah bagaimana pergantian rezim
Orde Lama ke Orde Baru, begitu juga berakhirnya rezim Orde Baru oleh
gerakan reformasi. Semua terjadi bukan melalui Pemilu. Perubahan besar
di Timur Tengah juga terjadi bukan melalui pemilu. Oleh karena itu,
sungguh aneh kalau orang memutlakkan Pemilu sebagai jalan perubahan
untuk mencapai cita-cita politik.
Apalagi dalam kenyataannya,
dalam konteks cita-cita politik Islam, Pemilu tidak pernah memberikan
kesempatan kepada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan
politik islaminya. Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, begitu juga
di Palestina, Turki dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad
Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji
dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya
mengkudeta Mursi, militer Mesir juga (bakal) membubarkan Ikhwanul
Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Peristiwa
ini seolah mengulangi apa yang sebelumnya terjadi pada FIS di Aljazair
dan Erbakan di Turki. Keduanya memenangi Pemilu, bahkan Erbakan sempat
menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama 2 tahun sebelum akhirnya
dihentikan oleh militer. Di Aljazair, hasil Pemilu yang dimenangi oleh
FIS dibatalkan, bahkan kemudian FIS menjadi partai terlarang dan lebih
dari 30 ribu anggotanya, termasuk Ali Belhaj dan Abbas Madani—dua tokoh
utama FIS—dipenjara.
Artinya, Pemilu dalam sistem demokrasi
hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam untuk meraih tujuan
politiknya, termasuk dalam melahirkan peraturan perundangan dan
kebijakan publik, sepanjang hal itu tidak membahayakan kepentingan Barat
dan keberlangsungan sistem sekularisme. Sekali muncul kekuatan politik
Islam yang berhasil meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu bakal
menegakkan Islam yang sebenarnya, seperti FIS yang memang telah
menyiapkan konstitusi baru bagi Aljazair yang sepenuhnya berdasar Islam,
atau dikhawatirkan condong pada Islam seperti Erbakan di Turki atau
Mursi di Mesir, negara Barat tak segan akan menghentikan kekuatan
politik itu dengan segala cara (at all cost). Karena itu, bagaimana kita
masih saja terus percaya pada jalan ini, dan menggantungkan masa depan
cita-cita politik kita padanya?
Lalu bagaimana jalan islami agar Islam bisa sampai ke tampuk kekuasaan?
Melalui dakwah politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah
saw. Dimulai dari tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa
takwin), interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah) dan tahap
istilam al-hukmi(penyerahterimaan kekuasaan) melalui dukungan
ahlun-nushrah. Dari tahap pembinaan dan pengkaderan lahir kader dakwah
yang ber-syakhsiyyah Islam dan pengembangan tubuh jamaah. Dari interaksi
dengan umat melalui berbagai kegiatan seperti yang selama ini
dilakukan, ide-ide Islam berkembang dan menjadi opini publik. Pada saat
yang sama, dilakukan kontak dengan the influenzial people (ashabul
fa’aliyat) serta ahlul-quwwah baik dari kalangan penguasa maupun
pemimpin militer sedemikian sehingga mereka paham, bersetuju dan
mendukung bahkan memberikannushrah atau pertolongan pada dakwah sehingga
tercapai tujuan politik, yakni tegaknya syariah dan Khilafah. []
Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy memprediksikan satu calon
presiden membutuhkan biaya kampanye setidaknya 5-6 trilyun rupiah. “Jadi
kalau cuma 3 trilyun itu terlampau sedikit. Saya duga dua kali lipat
atau paling tidak 5 trilyun,” ungkapnya seperti diberitakan Tabloid
Media Umat Edisi 121, Jum’at (7-20 Februari).
Noorsy berpatokan pada jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia.
Kalau dihitung 524 kabupaten dan kota yang 60 persennya berbiaya tinggi
karena ada di Pulau Jawa.
“Dari 524 itu sekitar 300-nya adalah
kota dan kabupaten besar dan setiap kabupaten kotanya paling tidak
butuh biaya seratus sampai dua ratus milyar saja itu sudah berapa?”
ungkapnya.
Menurutnya, tentu saja sebagian besar dari uang yang
dibutuhkan itu didapat dari sumbangan BUMN-BUMN –terutama BUMN
keuangan— juga perusahaan-perusahaan besar baik swasta maupun asing yang
asetnya minimal Rp 15 milyar.
“Itu diakui kok, diterima kok dalam audit. Cuma auditnya dibuka ke publik atau tidak, itu saja,” ungkapnya.
Ia menegaskan hal itu biasa ditemukan oleh auditor akuntan publik.
“Kalau auditor BPK saya tidak tahu, tapi kalau auditor akuntan publik
itu ya sering menemukan di manajemen laba (earnings management),”
ungkapnya.
Manajemen laba itu ada tiga komponen yakni manajemen
kontrak, bonus dan politcal cost. “Nah, sumbangan ke capres itu
masuknya ke political cost manajemen laba tadi atau di biaya transaksi,”
bebernya.
Karena masuknya ke pos keuntungan, tentu saja
sumbangan ke capres — yang akhirnya terpilih jadi presiden— sangat
menguntungkan. Di antaranya adalah konsesi, lisensi, hak istimewa
memperoleh proyek, dan macam-macam.
“Kalau pakai APBN bisa
di-input dan di-output. Kalau non APBN bisa dilisensi, bisa dikonsesi.
Macam-macam manfaatnya bagi perusahaan BUMN maupun perusahaan swasta,”
lontarnya.
Dampak dari itu semua, masyarakat yang dirugikan.
“Jadi kerugiannya banyak, berkali-kali lipat. Dalam hitungan saya tiga
kali lipat!” tegas Noorsy.
Pertama, kerugian harga-harga naik.
Kedua, arah kebijakan pemerintah dikendalikan oleh perusahaan. Ketiga,
organisasi politik dan birokrasi tidak lagi efektif mengelola aspirasi
masyarakat tetapi mengelola aspirasinya korporasi. (mediaumat.com, 12/2)
Tanggal 09 April
2014 negara ini akan mengadakan Pemilu untuk memilih para calon wakil
rakyat untuk duduk di DPR. Selanjutnya akan ada pemilihan presiden dan
wakil presiden.
Melalui Pemilu yang demokratis, rakyat
menggunakan hak pilihnya untuk memilih para wakil rakyat yang akan
mewakili suara mereka di pemerintahan. Hal ini selaras dengan konsep
mendasar demokrasi, yakni kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan
rakyat. Jadi, rakyatlah yang menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan
tersebut dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Namun, karena tidak
mungkin semua rakyat membuat aturan di pemerintahan, dipilihlah para
wakil-wakil rakyat melalui Pemilu. Para wakil rakyat terpilih diharapkan
mewakili aspirasi rakyat yang telah memilih mereka.
Dari fakta tersebut, sistem demokrasi
seolah tampak menjadi sistem yang ideal bagi sebuah negara. Namun
ternyata, secara faktual pula, demokrasi sesungguhnya gagal dalam
merealisasikan “doktrin” kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat
tersebut.
Konsep Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di Athena atas prakarsa Cleisthenes pada abad ke-5 sebelum Masehi. Demos berarti rakyat. Cratos/Kratien/Kratia
artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan. Jadi, demokrasi bisa diartikan
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam
demokrasi, kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat, yang kemudian
diberikan kepada wakil-wakil mereka di parlemen. Pada akhirnya,
merekalah yang berdaulat membuat hukum-hukum sesuai dengan keinginan
mereka.
Dari sudut pandang akidah Islam, konsep
demokrasi telah gagal, rusak dan menyesatkan karena demokrasi memberi
manusia/rakyat kedaulatan atau hak mutlak untuk membuat hukum. Padahal
dalam Islam kedaulatan (hak membuat hukum) berada di tangan Al-Musyari’ yakni Allah SWT. Dengan kata lain, dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariah (as-siyadah li asy-syar’i).
Ketetapan ini di dasarkan pada dalil-dalil yang qath‘i. Allah SWT, misalnya, berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Yusuf [12]: 40).
Ini dari segi kedaulatan. Adapun dari segi kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat (as-sulthan li al-ummah),
hampir sama dengan demokrasi. Namun, di antara keduanya ada perbedaan.
Dalam demokrasi kekuasaan diberikan kepada wakil-wakil rakyat untuk membuat hukum. Sebaliknya, di dalam Islam, kekuasaan diberikan oleh rakyat kepada penguasa (khalifah) untuk menjalankan hukum, yakni hukum-hukum Allah SWT atau syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.
Praktik Demokrasi
Demokrasi gagal dalam praktiknya karena
doktrin demokrasi—bahwa kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan
rakyat—tidak pernah benar-benar terealisasi. Rakyat hanya memiliki
otoritas untuk memilih para wakil mereka supaya bisa duduk di kursi
pemerintahan. Itu pun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan oleh
partai dan kapitalis melalui proses politik yang ada. Rakyat hanya
memiliki otoritas memilih orang yang sudah disaring oleh parpol dan
proses politik. Artinya, yang mereka pilih sebagai wakil mereka adalah
orang-orang yang telah ditunjuk oleh parpol peserta Pemilu, bukan
pilihan murni dari rakyat itu sendiri.
Setelah Pemilu usai, kedaulatan riil
tidak di tangan rakyat, tetapi di tangan pemerintah atau penguasa dan
anggota legislatif, sementara di belakang keduanya adalah para
kapitalis. Pasca Pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada
kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat, tetapi mewakili
diri sendiri dan partainya serta para kapitalis.
Hal ini bisa kita lihat bagaimana ketika
masyarakat tumpah-ruah ke jalan menolak berbagai kebijakan
Pemerintah—yang tentu disetujui para wakil rakyat di DPR—yang
menyengsarakan rakyat seperti kebijakan kenaikan harga BBM, Tarif Dasar
Listrik (TDL) dan LPG; penolakan rakyat atas kebijakan Pemerintah
tentang pengelolaan sumberdaya alam yang banyak dikuasai oleh asing
serta kebijakan-kebijakan lainnya yang merugikan rakyat.
Jika benar wakil rakyat mewakili
aspirasi rakyat, mengapa banyak kebijakan ditolak oleh rakyat? Ini jelas
merupakan kegagalan nyata dari praktik sistem demokrasi karena sering
tidak berpihak kepada rakyat.
Demokrasi juga gagal menghilangkan
praktik oligharki, yakni saat kekuasaan dikuasai oleh kaum elit. Dalam
praktik demokrasi dimana pun, kekuasaan tetap dipegang oleh kaum elit
yaitu para kapitalis, elit partai dan kelas politik. Hal itu sangat
kentara. Penguasa dan politisi di negara demokrasi manapun selalu
berasal dari dinasti kelas berkuasa secara politik dan ekonomi dan
kelompoknya.
Demokrasi: Sistem Bobrok
Sangat berbahaya jika kemudian ada
sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa demokrasi itu gagal hanya dari
segi praktiknya, sedangkan secara konsep sudah baik. Ujung-ujungnya
mereka berpendapat bahwa agar sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik
dan sesuai ide dasar konsep demokrasi maka diperlukan orang-orang yang
amanah untuk menjalankan sistem tersebut. Jelas, ini adalah pola pikir
yang keliru dan menyesatkan umat. Pasalnya, umat digiring hanya untuk
memilih orang (wakil rakyat dan penguasa), bukan memilih sistem yang
benar dan baik. Mereka tetap dipaksa memilih sistem demokrasi yang
nyata-nyata bobrok.
Padahal apa yang menimpa umat ini bukan
hanya disebabkan orang-orang yang tidak amanah, namun juga disebabkan
oleh penerapan sistem demokrasi yang bobrok. Demokrasi merupakan buah
dari akidah sekularisme yang lahir pada akhir abad 18 & 19 Masehi,
yakni akidah yang memisahkan agama dari urusan kehidupan. Sekularisme
inilah yang yang menjadi pangkal kerusakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sekularismelah yang melahirkan tatanan ekonomi
yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya
hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap
beragama yang sinkretik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Fakta juga menunjukan, rezim dan
pemimpin di negeri ini sudah berkali-kali silih berganti, namun ternyata
tetap tidak membuat negeri ini maju; makmur, sejahtera, aman tenteram
dan damai. Ini menunjukan bahwa persoalan yang mendera umat bukan hanya
masalah personal saja, melainkan juga masalah sistem. Jika hanya ingin
mencari orang-orang yang amanah untuk duduk di sistem pemerintahan
demokrasi yang rusak, ibarat kata, masuknya orang-orang salih ke dalam
sistem yang salah (baca: sistem kufur), bisa diibaratkan seperti a good driver riding a bad car
(sopir yang baik mengemudikan mobil rusak). Sehebat apapun pengemudi
tersebut, jika mobilnya rusak, bisa menyebabkan dia celaka. Karena itu,
yang harus dilakukan adalah mengganti mobil rusak tersebut dengan mobil
yang baik.
Dengan kata lain, saat ini diperlukan
kesungguhan untuk mewujudkan sistem yang baik, bukan sekadar para
pemimpin yang baik. Sistem ini harus mampu menyelesaikan seluruh masalah
manusia. Sistem yang baik tentu berasal dari Zat Yang Mahabaik. Dialah
Allah SWT.
Solusi Islam
Islam adalah sebuah agama sekaligus
ideologi. Artinya, Islam tidak hanya mengatur urusan spritual saja,
namun juga mengatur urusan kehidupan manusia di dunia ini.
Islam berbeda dengan ideologi
Kapitalisme-sekular yang melahirkan demokrasi modern. Dalam demokrasi,
aturan/hukum yang dibuat untuk mengurusi rakyat bersumber dari akal
manusia yang serba lemah dan terbatas. Sebaliknya, dalam sistem Islam,
sumber hukum untuk mengatur kehidupan manusia berasal dari Zat Yang
menciptakan akal manusia. Dialah Allah SWT, Pencipta alam semesta,
manusia dan kehidupan ini. Sebagai Pencipta, Allah SWT adalah Zat Yang
Mahatahu atas ciptaan-Nya. Hanya Allah Yang Mahatahu tahu apa yang
terbaik untuk manusia. Untuk itulah Allah SWT menurunkan syariah
Islam—yang mengatur segala aspek kehidupan manusia—demi kebaikan mereka.
Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Jalan Perubahan Hakiki
Pemilu—dalam demokrasi—bukanlah jalan
perubahan hakiki untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sebabnya, dalam
demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu
keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln
(1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people”
(dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas
tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford
B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat
pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Jalan perubahan hakiki demi kemaslahatan
umat hanya ada pada Islam. Ketika Islam menurunkan aturan yang
sempurna, yakni syariah Islam, Islam pun memberikan cara agar aturan
tersebut dapat terlaksana secara sempurna (kaffah). Di situlah pentingnya Khilafah, yakni sistem pemerintahan Islam. Persoalannya adalah bagaimana thariqah atau jalan yang sahih untuk mewujudkan Khilafah itu jika tidak menggunakan jalan demokrasi?
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa sebaik-baik uswah (panutan) adalah Rasulullah Muhammad saw. (QS al-Ahzab [33]: 21). Karena itu kita pun wajib terikat dengan thariqah (metode) dakwah beliau dalam mewujudkan kekuasaan Islam.
Dengan mendalami sirah Rasulullah saw.
di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah,
akan tampak jelas bahwa beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa
tahapan yang sangat jelas. Dari sirah Rasulullah saw. inilah diambil
metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan pada seluruh tahapan tersebut. Pertama: tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin). Kedua: tahap interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah), yang di dalamnya ada aktivitas pergolakan politik (al-kifah as-siyasi) dan perang pemikiran (shira’ al-fikri). Ketiga: tahapan istilam al-hukmi (penerimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dengan itulah terwujud sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Adi Victoria; Penulis Buku & Aktivis HTI Samarinda]
(Tanggapan terhadap Agustianto dalam Artikel “BPJS dan Jaminan Sosial Syariah”)
Oleh Yuana Ryan Tresna *
Pendahuluan
Ulama terkemuka Taqiyuddin al-Nabhani
(2004: 13) sejak puluhan tahun silam sudah mengingatkan kepada kaum
Muslim terkait dengan kekayaan apa yang paling berharga bagi umat ini.
Beliau menegaskan bahwa pemikiran, bagi umat manapun, adalah sebuah
kekayaan yang tak ternilai harganya yang mereka miliki dalam kehidupan
mereka. Bahkan, ia merupakan peninggalan yang demikian berharga yang
akan diwariskan kepada generasi penerusnya. Adapun yang dimaksud dengan
pemikiran di sini adalah adanya aktivitas berfikir pada diri umat
tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi, di mana mereka
masing-masing secara keseluruhan senantiasa menggunakan pengetahuan (knowledge)
yang mereka miliki, ketika mengindera berbagai fakta ataupun fenomena
untuk menentukan hakikat fakta atau fenomena tersebut. Hal inilah yang
akan melahirkan kreativitas dan produktivitas pemikiran. Sayangnya, umat
Islam saat ini bisa dianggap sebagai umat yang telah kehilangan
pemikirannya, dan tentu saja telah kehilangan metode berfikirnya yang
produktif dengan paradigma tasyri’i. Hal itu dibuktikan dengan tidak
berdayanya mayoritas umat hari ini –termasuk sebagian para
intelektualnya- untuk mengontruksikan kembali bangunan keilmuan Islam
yang genuine dalam beragam seginya. Dalam kasus Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), melahirkan ragam pendapat dan tidak sedikit yang menunjukkan
tidak berdayanya sebagian intelektual muslim untuk menetapkan hukum
Islam yang shahih pada kasus tersebut. Bukannya memberikan pencerdasan pada umat, malah menjadikan nash-nash yang adasebagai
alat legitimasi atas kebijakan penguasa yang hakikatnya bukan berangkat
dari kerangka Islam, sehingga akhirnya terkesan sangat Islami. Salah
satunya tulisan Agustianto dalam artikelnya “BPJS dan Jaminan Sosial
Syariah” di laman www.dakwatuna.com yang telah mengundang penulis untuk
memberikan tanggapan.
Fakta SJSN dan BPJS
Pemahaman terhadap fakta SJSN dan BPJS
sangat penting sebelum kita memberikan penilaian yang utuh terhadap
konsep jaminan sosial yang baru saja diberlakukan di Indonesia. Tanpa
pemahaman yang utuh maka mustahil akan melahirkan penilaian yang benar.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini
adalah amanat dari UU No. 40 thn. 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 thn.
2011 tentang BPJS. UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan, “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”.Prinsip asuransi sosial sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 3, “adalah
mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna
memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya”. Adapun yang dimaksud dengan prinsip
ekuitas adalah tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan
kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan. JKN adalah asuransi
sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan
kesehatan JKN. Itu artinya wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip
kepesertaan wajib UU SJSN, yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta
asuransi sosial kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran
tiap bulan. Di dalam Pasal 17 disebutkan: “(1) Setiap
peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap
pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran
yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS
secara berkala”.
Iuran untuk orang miskin dibayar oleh
pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI),
atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan
kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang
rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan
membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.
Dalam implementasinya, dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 101 tentang PBI dan Peraturan Presiden No. 12
tentang Jaminan Kesehatan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan nominal
iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap kelas 3.
Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari pekerja
dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap kelas 1
untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap kelas 2
untuk di bawah golongan III. Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan
lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4%
dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1%
dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan
mendapat layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali
pendapatan tidak kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2
jika bergaji di bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni
2015, ia harus membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota
keluarga), dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap
pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20
ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap
pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu
dikalikan jumlah pekerjanya.
Sementara untuk pekerja bukan penerima
upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa
(layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2),
dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga
tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib
dibayarkan tiap bulan.
Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan
dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasal 40 UU
BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat
Pasal 11 UU BPJS, dana itu dapat diinvestasikan, misalnya dalam bentuk
deposito berjangka, surat utang, obligasi korporasi, reksadana, properti
dan penyertaan langsung. Di dalam pasal 11 UU BPJS disebutkan: “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang
untuk: a. menagih pembayaran Iuran; b. menempatkan Dana Jaminan Sosial
untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan
aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil
yang memadai”.
Itulah sekilas fakta JKN sebagaimana
diamanatkan dalam UU SJSN dan UU BPJS. Dengan pemahaman atas fakta
tersebut di atas penulis berharap kita bisa memberikan penilaian yang
objektif atas substansi dari UU SJSN dan UU BPJS tersebut.
Menyoal Konsep al-Takmin al-Ta’awuniy
Mengawali pandangannya, Agustianto
menyajikan teori Ahmad Muhammad ‘Assal yang menyebutkan bahwa tiga rukun
ekonomi Islam yakni kepemilikan (al-milkiyyah), kebebasan (al-hurriyyah) dan jaminan sosial (al-takaful al-ijtima’iy). Sayangnya
Agustianto tidak merinci gagasan Muhammad ‘Assal tersebut berikut
dengan landasan filosofisnya. Hal itu dapat dimengerti karena artikel
tersebut bukan sedang membedah prinsip-prinsip ekonomi Islam secara
khusus. Hanya saja, ketiga rukun tersebut dapat diperdebatkan
keshahihannya dan bentuk aplikasinya. Kepemilikan sebagai sebuah rukun,
dapat dipahami kehujjahannya. Karena secara faktual persoalan ekonomi
pasti dimulai dari persoalan kepemilikan atas suatu kekayaan. Adapun
kebebasan dan jaminan sosial, tentu harus ditempatkan sebagai bagian
dari cabang ekonomi, dan dalam pengamalannya perlu koridor hukum dalam
mengaturnya.
Kemudian Agustianto mengajukan sebuah
tesis bahwa jaminan sosial dalam studi Islam dapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu jaminan sosial tradisional, yakni tanggung jawab negara untuk
menjamin kebutuhan dasar rakyatnya melalui instrumen-instrumen
filantropi seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan bahkan termasuk
pajak; dan jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (al-takmin al-ta’awuniy).
Di dalam khazanah pemikiran Islam, khususnya terkait dengan politik ekonomi (al-siyasah al-iqtishadi)
Islam, dapat dipahami dengan mudah bahwa konsep jaminan dalam Islam
adalah jaminan negara untuk kepada seluruh warga negara terkait dengan
pemenuhan kebutuhan dasar tiap individu serta menetapkan regulasi untuk
mencapai kesejahteraan warganya.
Penulis bukan tidak tertarik menanggapi
istilah “jaminan sosial tradisional” –yang penulis pandang masih parsial
dan tidak esensial-, tetapi agar artikel ini fokus, penulis hanya akan
memberikan tanggapan pada terminologi kedua yakni “jaminan sosial yang
berbentuk asuransi sosial (al-takmin al-ta’awuniy)”. Ada
kesimpulan yang tergesa-gesa yang perlu penulis kritisi; dengan berpijak
pada al-Qur’an dan al-Hadits tentang perintah saling menolong (ta’awun),
Agustianto menyimpulkan bahwa implementasi dari doktrin syariah
tersebut diwujudkan dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan.
Diantara dalil yang sering dikemukakan dalam asuransi termasuk asuransi sosial adalah firman Allah Swt.,
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah [5]: 2)
Bahwa keluarga al-Asy’ariyun jika
mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau makanan keluarga mereka
di Madinah menipis, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di
dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam
satu wadah, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari
mereka (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Seluruh ayat al-Qur’an dan al-Hadits terkait topik ta’awun sebagaimana contoh di atas, dari aspek dalalah, wajh al-istidlal, dan thariq al-istidlal sebenarnya hanya menjelaskan kewajiban saling menolong (ta’awun), tidak menjelaskan secara spesifik tentang al-takmin al-ta’awuniy. Adapun mengenai konsep al-takmin al-ta’awuni (al-takafuli) sebenarnya bukanlah tabarru’ (donasi). Karena akad tabarru’ dalam konsep ta’awun di dalamnya tidak ada ruang untuk keuntungan atau mencari keuntungan. Karena sifat aktivitas itu sebagai akad tabarru’ bukan mu’awadhah dari dua pihak. Tabarru’ adalah tasharruf
dari satu pihak saja, karena orang yang berderma perannya berakhir
dengan donasinya itu. Pada faktanya asuransi sosial BPJS (yang diklaim
sebagai al-takmin al-ta’awuniy) bukanlah ta’awun dalam
rangka kebaikan dan ketakwaan. Akan tetapi ia merupakan investasi untuk
harta yang dibayarkan. Hal tersebut tercermin dari pasal 11 UU BPJS.
Konsekuensi dari tabarru’, sebenarnya dana donasi tidak boleh ditempatkan untuk investasi. Selain itu, gharar
terjadi di dalamnya, karena orang yang berpartisipasi tidak tahu kapan
peristiwa akan terjadi terhadapnya. Tegasnya, dengan sistem asuransi
sosial ini, setiap warga negara harus membayar premi setiap bulannya,
baik dia sakit ataukah tidak.
Asuransi sosial ini juga merupakan pertanggungan (dhaman)
dari BPJS yang terbentuk dari orang-orang yang berserikat terhadap
partisipan yang mengalami kejadian. Karena itu syarat-syarat
pertanggungan (al-dhaman) di dalam Islam wajib diterapkan terhadapnya. Sayangnya, syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam terkait pertanggungan (dhaman) tidak bisa dipenuhi oleh BPJS.
Syarat pertanggungan (dhaman)
yang dimaksud adalah: (a) Di sana wajib ada hak yang wajib ditunaikan
yang berada di dalam tanggungan, yaitu bahwa kejadian yang terjadi
kemudian perusahaan memberikan pertanggungan kepada seseorang yang
mengalami kejadian. Artinya membayar konsekuensi yang muncul dari
kejadian itu; (b) Di sana harus tidak ada kompensasi, yakni penanggung
tidak mengambil kompensasi baik disebut keuntungan atau surplus atau
partisipasi (premi); (c) Akad asuransi sosial harus merupakan akad yang
syar’i dengan memenuhi syarat-syarat syirkah di dalam Islam, yaitu adanya harta dan badan, bukan syirkah harta saja. Asuransi yang dipaparkan untuk dibahas ini adalah syirkah
harta. Semuanya hanya menyetor harta. Hingga badan penyelenggara yang
mengelola urusan asuransi ini adalah representasi dari harta mereka
bukan representasi bagi badan mereka. Jadi tidak ada seorang pun dari
mereka yang berserikat dengan badannya, akan tetapi hanya dengan
hartanya. Fakta asuransi itu dilihat dari sisi syirkah adalah sama
seperti syirkah musahamah, yaitu syirkah harta; (d) Di sana
tidak boleh ada investasi harta, apalagi dengan jalan yang tidak syar’i,
melalui perusahaan lain, apapun nama dan sebutannya baik disebut
investasi ataupun reasuransi. Dalil-dalil hal itu adalah dalil-dalil syirkah harta dan dalil-dalil al-dhaman. Semuanya dipaparkan di dalam kitab al-Nizhâm al-Iqtishadifi al-Islam (al-Nabhani, 2004: 148 dam 161).
Mendudukan Konsep Maqashid al-Syari’ah
Konsep maqashid al-syari’ah boleh dikatakan merupakan gagasan al-Syatibi sebagaimana tertuang dalam al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (al-Syatibi, t.th: 2-3). Selanjutnya al-Syatibi membagi maqashid menjadi tiga bagian, yaitu dharuriyât, hajiyat, dan tahsinât. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsinat
artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan
keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis dan menutup
aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mâl) (al-Syatibi, t.th: 4). Dari konsep ini dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah yang dimaksud oleh penggagasnya sendiri tidaklah bebas, melainkan ada koridor yang tertentu membatasinya.
Lebih ketat lagi,Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan maqashid al-syari‘ah dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (2005: 359-366). Pandangan al-Nabhani secara umum bahwa maslahat adalah akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Konsep al-Nabhani ini dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep maqashid al-syari‘ah
secara gegabah. Pandangan al-Nabhani ini mencakup 4 (empat) prinsip
penting: (1) kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan syariat; (2) maqashid al-syari’ah
adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan; (3) hikmah penerapan
syariat tidak selalu terwujud; dan (4) hikmah penerapan syariat hanya
bisa diketahui melalui dalil syariat.
Berdasarkan konsep yang lebih kuat ini, bahwa syariat tidak didasarkan pada ‘illat maslahat. Dengan kalimat lain, maslahat bukanlah ‘illat (motif) penetapan suatu hukum syariat. Hanya saja, dengan studi yang komprehensif (istiqra’)
dapat ditetapkan bahwa seluruh hukum syariat bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan dalam lima perkara; menjaga agama, akal, keturunan, jiwa,
dan harta (Abdullah, 1995: 273).
Benar bahwa sebagian ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah menetapkan bahwa maslahat layak menjadi ‘illat bagi hukum-hukum syariat, tetapi maslahat ini lebih dipahami sebagai pertanda hukum (amarah al-hukm), bukan sebagai latar belakang/motif penetapan hukum (ba’its ‘ala al-hukm). Jadi, maslahat dipahami lebih dekat pada sebab (al-sabab) dari pada ‘illat.
Dengan demikian, logika maslahat untuk
membenarkan program BPJS –bahkan dipandang sebagai program yang mulia
dan sesuai syariah- tentu tidak tepat dilihat dari sisi manapun. Dalam
hal ini, kaidah fikih aynama takunu al-maslahah fa tsamma syar‘ullah (di mana ada maslahat, disana ada hukum Allah) tidak dapat diamalkan. Alasannya karena maqashid al-syari‘ah haruslah secara disiplin diketahui dan dipahami dengan baik berdasarkan nash, bukan pertimbangan akal.
Adapun posisi maslahat sebenarnya
merupakan akibat dari penerapan syariat secara keseluruhan. Islam adalah
din agung yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Islam
datang dengan seperangkat aturan multidimeni yang mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia yang lain. Islam juga mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendirinya. Tidak hanya itu, Islam juga mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Perangkat hukum Islam ini
diturunkan oleh Allah Swt., yakni agar ia menjadi rahmat atas seluruh
umat manusia. Allah Swt berfirman,
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Mohammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya’: 107).
Konsep Jaminan Sosial dalam Islam
Membincang tentang konsep jaminan sosial
dalam Islam –atau lebih tepatnya jaminan Islam terhadap individu dalam
masyarakat- mengingatkan kita pada buku al-Islam Dhaminun li al-Hajat al-Asasiyah likulli Fardin wa Yu’malu li Rafaahiyatihi )Al-Badri, 1408 H: 25). Meskipun hanya merupakan buku kecil, tetapi kutaib karangan
ulama besar asal Irak tersebut memberikan gambaran yang sangat utuh dan
cemerlang bagaimana Islam memberikan jaminan kepada setiap individu
anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok sekaligus upaya
tercapainya kesejehteraan. Buku itu menarik untuk dijadikan rujukan
karena konsepnya yang orisinil didasarkan pada dalil-dali syara’ dan
terbebas dari pengaruh dan doktrin pandangan hidup lain, seperti sistem
ekonomi dan politik kapitalisme.
Islam diterapkan untuk menjamin hak-hak
keadilan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Selain itu, tendensi
diberlakukannya Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan
ketenangan jiwa, kebahagiaan hidup, dan terpeliharanya urusan manusia
dalam Islam. Allah Swt. berfirman,
Dan Kami turunkan dari al-Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-Isra’: 82)
Islam memandang individu manusia sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu, Islam
memandang individu dan jamaah sebagai umat yang satu. Urusan mereka
diatur dengan sistem dan tata aturan yang akan membawa mereka dalam
kehidupan yang tenang, bahagia, dan sejahtera. Sebagian dari sistem
tersebut adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan
kebutuhan pokok tiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan,
pendidikan, kesehatan, rasa aman, serta kesempatan kerja. Karena pada
dasarnya, manusia berjalan di muka bumi ini untuk memenuhi kebutuhan
asasinya dan kebutuhan pelengkapnya sebatas kemampuannya.
Dari sini kebijakan ekonomi yang dibuat adalah, pertama, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah),
yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat per individual. Tidak
boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh di suatu rumah
(dimiliki maupun disewa). Dalam hal ini negara memberikan peluang kerja
seluas-luasnya, dan menyantuni mereka yang lemah dan papa. Kedua,
negara memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa
membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan
penyempurna hidup (hajat kamaliyah). Dalam hal ini negara memberi fasilitas seluas-luasnya. Ketiga,
negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar
dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang
khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan.
Politik ekonomi Islam adalah jaminan
tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu dengan
pemenuhan secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya (baik sekunder maupun tersier)
sesuai dengan kadar kesanggupannya. (al-Nabhani, 2004: 60). Oleh karena
itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan
taraf kehidupan dalam sebuah negara, tetapi justru memperhatikan
terjamin-tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut.
Islam juga memerintahkan negara untuk
menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun
miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat
yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan
untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk kepada
perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan
berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami,
serta memiliki kemampuan keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di
masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan
pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah
universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum.
Rasulullah Saw. menerima tebusan tawanan perang Badar dengan jasa mereka
mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin di Madinah. Rasul juga
pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Najasyi lalu oleh beliau Saw.
dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat
secara gratis (al-Badri, 1408 H: 30)
Pada tataran aktual, dalam Islam,
pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib
disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan
fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan
kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashalih wa al-marafiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah (pengurusan) negara sesuai dengan sabda Rasul Saw.
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya(HR. al-Bukhari)
Secara praktik kesehatan, penyediaan
layanan kesehatan gratis telah dipraktikkan dan dicontohkan oleh Nabi
Saw. sebagai kepala negara, dan para Khulafa’ al-Rasyidin. Hal itu
menjadi sunnah Nabi Saw. dan ijma’ shahabat bahwa negara wajib
menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Beberapa
praktik jaminan dalam Islam dapat kita simak dalam pragmen-pragmen kisah
Rasulullah Saw. dan generasi setelahnya. Diantaranya kisah berikut,
بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقا ثم كواه عليه
Rasulullah Saw telah mengirim
seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu
memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (dengan besi
panas) pada urat itu. (HR. Muslim).
Dalam riwayat yang lain,
عن زيد بن أسلم عن أبيه قال مرضت في زمان عمر بن الخطاب مرضا شديدا فدعا لي عمر طبيبا فحماني حتى كنت أمص النواة من شدة الحمية
Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya,
dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit
yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter
itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku
harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu. (HR. al-Hakim).
Pada masa lalu, dalam sejarah emas
peradaban Islam, banyak rumah-rumah pengobatan didirikan. Bahkan negara
mendorong sepenuhnya riset terhadap obat-obatan serta teknik-teknik
pengobatan baru. Rasulullah Saw. pernah membangun tempat pengobatan
untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta dari Bait al-Mal.
Dalam buku Tarikh al-Islam al-Siyasi,diceritakan
bahwa ‘Umar ra. telah memberikan sesuatu dari Bait al-Maal untuk
membantu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syams,
ketika ia melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan
oleh para khalifah dan wali-wali. Bahkan Khalifah Walid bin Abdul Malik
secara khusus memberikan bantuan kepada orang yang terkena penyakit
lepra. (al-Badri, 1408 H: 30).
Sedangkan dalam SJSN dan BPJS
sebaliknya, terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu
atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung, melalui pemberi
kerja, dan melalui bantuan negara bagi rakyat miskin. Jadi, jelas UU ini
justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial
warganya. Selain itu, jaminan sosial ini hanya bersifat parsial, tidak
memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok
sandang, pangan dan papan maupun pendidikan secara menyeluruh.
Jika konsep Islam demikian, lantas dari
mana sumber pendanaannya? Dana untuk itu bisa dipenuhi dari
sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari
hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, aneka tambang,
migas, panas bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur,
pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih
dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis
untuk seluruh rakyat. Hal ini tentu akan sempurna dengan penerapan
sistem ekonomi Islam dalam negara.
Penutup
Dengan memperhatikan poin-poin yang
penulis sampaikan di atas, maka program BPJS ini bukan hanya bermasalah
secara konsep, tetapi juga keliru dari sisi kebijakan (politik ekonomi).
Oleh karena itu, program ini harus ditolak, bukan malah
disosialisasikan. Hal ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kita
untuk kembali menengok konsep Islam, yakni bagaimana jaminan Islam
terhadap setiap individu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan
bagaimana regulasi negara dalam mendorong setiap warganya untuk
mendapatkan kesejahteraan. Refleksi atas realitas itu tidaklah sulit,
jika kita mau belajar pada sejarah, sejarah peradaban Islam, yakni
sejarah kebesaran khilafah Islam yang telah mampu mewujudkan
kesejahteraan bagi warganya. Wallahu a’lam.
* Penulis adalah dosen ushul fiqih dan fiqih rekayasa keuangan pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung.
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Bagaimana kondisi Anda syaikhuna al-fadhil dan ‘alimuna al-jalil?
Saya memohon kepada Allah agar berada pada keadaan yang terbaik.
Pertanyaan saya: Pertama, apakah asy-syarik (mitra syirkah)
bisa keluar dari syirkah kapan saja ia inginkan? Perlu diketahui bahwa
ada jangka waktu tertentu yang disepakati sebelumnya yaitu satu tahun.
Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, semoga Allah memberkahi Anda.
Kedua, didirikan balai lelang umum untuk penyelenggaraan bay’ al-muzayadah
(lelang). Di situ terjadi penawaran harga yang meningkat diantara para
pedagang hingga mencapai harga tertinggi berkali-kali lipat dari harga
dasar yang menyebabkan kerugian sebagian pedagang. Apakah secara syar’iy
boleh pedagang menambah penawaran harga sampai pada derajat yang
menyebabkan kerugian pesaingnya dan pada beberapa kondisi membuatnya
bangkrut? Mohon disertai dengan dalil-dalil dan rinciannya, semoga Allah
memberkahi Anda.
Ketiga, untuk mencegah terus meningkatnya penawaran harga, dilakukan
kesepakatan di antara pedagang di pelelangan umum dan swasta sebelum
terjadi lelang. Yakni sebagian memberikan harta kepada sebagian yang
lain, agar tidak terjadi tawaran yang terus meningkat diantara mereka di
dalam lelang atau harga tidak sampai pada batas tertinggi. Apa hukum
harta yang diberikan di antara para pedagang itu? Apa hukum aktivitas
perdagangan seperti ini? Mohon disertai rincian dan dalil-dalil, dan
semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.
Saya mohon maaf karena panjangnya dan banyaknya pertanyaan. Saya tahu
besarnya beban tanggung jawab Anda. Semoga Allah menolong Anda dan
memberikan kemenangan melalui tangan Anda. Semoga Allah menyiapkan ahlu nushrah untuk Anda sebagaimana dahulu Allah menyiapkannya untuk kekasih-Nya al-Mushthafa saw.
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, pertanyaan Anda tentang jangka waktu dalam syirkah:
Syirkah secara bahasa adalah percampuran dua bagian atau lebih di
mana tidak bisa dibedakan lagi satu dari yang lain. Syirkah secara
syar’iy adalah akad antara dua orang atau lebih yang bersepakat di
dalamnya untuk melakukan aktivitas finansial dengan maksud memperoleh
laba. Akad syirkah mengharuskan adanya ijab dan qabul secara bersama,
seperti semua akad lainnya. Ijab adalah salah satu pihak mengatakan
kepada pihak lain aku bersyirkah denganmu dalam hal demikian, sementara
pihak lain mengatakan aku terima… Akan tetapi akad itu harus mengandung
makna berserikat atas sesuatu.
Syirkah hukumnya boleh. Rasulullah SAW diutus dan masyarakat
bermuamalah dengannya lalu Rasul SAW menyetujuinya. Maka persetujuan
beliau SAW terhadap muamalah masyarakat itu merupakan dalil syar’iy atas
kebolehannya. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku menjadi pihak ketiga dari dua
orang yang bersyirkah selama yang satu tidak mengkhianati yang lain,
dan jika dia mengkhianatinya maka Aku keluar dari keduanya.”
Penyebutan jangka waktu di dalam akad syirkah bukan keharusan.
Syirkah tidak perlu jangka waktu dalam pengakadannya. Akan tetapi
syirkah itu terakadkan dan tidak ada kemajhulan di dalam akadnya,
sehingga memerlukan penentuan jangka waktu seperti ijarah misalnya.
Adapun ijarah menjadi majhul jika tidak disebutkan jangka waktunya,
sehingga tidak terakadkan (dengan sempurna) kecuali disebutkan jangka
waktu, baik jangka waktu saja terpisah dari lainnya harian, bulanan,
tahunan… ataupun berkaitan dengan pekerjaannya sendiri misal ijarah
membangun dinding, atau menggali sumur sehingga jangka waktunya
berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan.
Pembubaran syirkah bergantung pada keinginan para syarik. Dua orang
syarik yang mengakadkan syirkah atas aktivitas tertentu, bisa
membubarkan syirkah itu kapan saja. Di dalam Nizham al-Iqtishâdiy
disebutkan sebagai berikut:
(Syirkah secara syar’iy termasuk al-‘uqûd al-jâ`izah. Syirkah itu batal dengan kematian salah seorang dari dua orang yang bersyirkah, atau dia gila atau dihijr atas kelemahan akalnya. Atau syirkah itu bubar dengan pembubaranoleh salah satu dari keduanya jika syirkah itu terdiri dari dua orang. Sebab syirkah adalah ‘aqdun jâ`izun maka dengan semua itu batal seperti halnya wakalah. Jika salah seorang dari kedunya mati dan ia memiliki pewaris yang rasyîd (tidak
lemah akal), maka pewarisnya itu berhak menggantikannya di dalam
syirkah dan mengizinkan mitra syirkahnya dalam melakukan tasharruf.
Pewarisnya itu juga berhak meminta pembagian. Jika salah seorang dari
kedua mitra syirkah meminta pembubaran (fasakh), maka bagi
mitra syirkah lainnya wajib memenuhi permintaan itu. Jika mitra syirkah
itu banyak dan salah seorang dari mereka meminta pembubaran, sementar
yang lain ingin mempertahankan, maka syirkah yang ada dibubarkan dulu,
lalu diperbaharui diantara yang masih bertahan. Hanya saja harus
dibedakan antara syirkah mudharabah dengan lainnya. Dalam syirkah mudharabah, jika pengelola meminta aset syirkah dijual, sementara pemodal (shahibul mal)
meminta pembagian, maka permintaan pengelola yang dipenuhi. Sebab
haknya ada dalam laba, sementara laba itu tidak akan tampak kecuali
dalam penjualan aset. Sedangkan dalam jenis syirkah lainnya, jika salah
satu meminta dibagi dan yang lain meminta dijual, maka yang dipenuhi
adalah permintaan dibagi, bukan dijual).
Ini yang kami tabanni dalam hal terakadkannya syirkah tanpa
disebutkan jangka waktu. Dimana jangka waktu itu bukan keharusan untuk
keabsahan aqad syirkah.
Adapun jika disebutkan jangka waktu di dalam syirkah tersebut, maka
ini telah diperselisihkan oleh para fukaha. Anda boleh bertaklid kepada
mujtahid yang ijtihadnya menenteramkan Anda dalam masalah tersebut. Saya
kutipkan pendapat sebagian mujtahid mu’tabar dalam masalah tersebut:
- Boleh ditentukan jangka waktu mudharabah
menurut hanafiyah dan hanabilah. Yakni ditentukan jangka waktu untuk
syirkah mudharabah. Dan jika berakhir jangka waktu itu selesailah
syirkah tersebut.
- Malikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa
mudharabah tidak menerima penentuan waktu. Sebab hukumnya seperti yang
dikatakan oleh malikiyah: tidak ada jangka waktu. Masing-masing dari
keduanya boleh meninggalkannya kapan saja ia mau. Dan karena penentuan
jangka waktu –seperti yang dikatakan syafi’iyah- menyebabkan kesempitan
terhadap pengelola dalam aktifitasnya. An-Nawawi menyebutkan di Raudhah
ath-Thalibin: tidak dijadikan patokan di dalam al-qiradh “mudharabah”
penjelasan jangka waktu …
Kedua, pertanyaan Anda tentang bay’ al-muzâyadah:
Bay’ al-muzâyadah adalah boleh. Yakni penjual menawarkan
barangnya kepada para pembeli dan ia menjualnya kepada orang yang
membayar paling tinggi. Yang demikian:
Ibn Majah telah mengeluarkan dari Anas bin Malik:
«أَنَّ رَجُلاً مِنْ الأَنْصَارِ جَاءَ
إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُهُ فَقَالَ: لَكَ فِي
بَيْتِكَ شَيْءٌ؟ قَالَ: بَلَى، حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ
بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ، قَالَ: ائْتِنِي بِهِمَا،
قَالَ: فَأَتَاهُ بِهِمَا، فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ:
أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ، قَالَ: مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاثًا، قَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ،
فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا
الأَنْصَارِيَّ…»
“Bahwa seorang laki-laki dari Anshar datang kepada Nabi saw
bertanya kepada beliau. Beliau bertanya, “Engkau punya sesuatu di
rumahmu?” Ia berkata: “Benar, sebuah alas pelana, kami pakai sebagian
dan kami hamparkan sebagian; dan sebuah gelas yang kami gunakan untuk
minum air.” Nabi bersabda, “Bawa keduanya kepadaku.” Anas berkata, “Maka
ia membawanya kepada Nabi saw, dan beliau mengambil keduanya darinya.
Kemudian Nabi saw besabda, “Siapa yang mau membeli kedua barang ini?”
Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya dengan satu dirham.”
Nabi bersabda: “Siapa yang menambah atas satu dirham?” Beliau ucapkan
dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata, “Saya ambil keduanya
dengan dua dirham.” Maka Nabi memberikan keduanya kepada orang itu dan
beliau mengambil darinya dua dirham dan beliau berikan kepada laki-laki
anshar itu…”
Akan tetapi tidak boleh an-najasy dalam jual beli ini.
Yakni menambah penawaran harga bukan untuk membeli, akan tetapi untuk
memperdaya orang lain agar membelinya dengan harga tinggi… Al-Bukhari
telah mengeluarkan dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa ia mendengar Abu
Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«…وَلاَ تَنَاجَشُوْا…»
“Jangan kalian saling menawar untuk meninggikan harga (an-najasy)”
Al-Bukhari juga mengeluarkan dari Ibn Umar ra. Ia berkata:
«نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّجْشِ»
“Nabi saw melarang an-najasy” An-najasy adalah menambah harga barang padahal ia tidak
membelinya. Yakni menambah tawaran harga pada suatu barang dengan maksud
tidak ingin membelinya, tetapi untuk mengkondisikan orang lain yang
menawarnya, agar menduga tidak bisa mendapat barang tersebut, jika tidak
melebihi tawarannya; sehingga ia tertipu dan menambah tawaran harganya
agar ia bisa membelinya.
Demikian juga tidak boleh para pembeli bersepakat diantara mereka
untuk merendahkan harga barang. Dan mereka bersepakat untuk tidak
membayar lebih dari harga yang rendah… dan tidak menambah dari harga
itu. Hal itu agar penjual menjual dengan harga murah tersebut. Sebab ia
tidak mendapati pedagang yang mau membayar lebih tinggi… Biasanya para
pedagang sepakat dengan pedagang lain yang memberinya harta sebagai
imbalan agar tidak menambah tawaran dari harga yang ia bayar; sementara
ia membayar harga yang rendah untuk barang tersebut sedangkan para
pedagang lainnya mau membayar harga yang lebih rendah dari harga itu
sesuai kesepakatan di antara para pedagang itu. Lalu penjual itu pun
menjual barangnya kepada pedagang yang menawar dengan harga murah itu,
sebab semua pedagang lainnya hanya mau membayar harga lebih murah, di
mana itu sesuai kesepakatan dengan pedagang yang membeli tersebut. Ini
termasuk dalam bab al-khadî’ah. Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Zirru dari Abdullah ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
“Siapa yang menipu maka dia bukan bagian dari golongan kami dan makar dan tipudaya di neraka.”
Ishhaq bin Rahuwaih telah mengeluarkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:
«الْمَكْرُ وَالْخَدِيعَةُ فِي النَّارِ»
“Makar dan tipudaya di neraka”
Dan juga dikeluarkan oleh al-Bazar di Musnad-nya.
Demikian juga Allah SWT melarang merugikan manusia pada hak-hak
mereka. Maka para pedagang menampakkan bahwa nilai barang itu rendah.
Hal itu untuk menipu pemilik barang, sehingga ia menjualnya dengan harga
murah. Allah SWT berfirman:
﴿وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ﴾
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” (26: 183)
Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsirnya untuk ayat tersebut:
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.”
Al-Bakhsu adalah an-naqshu (pengurangan). Dan itu terjadi pada barang
dengan mencacatnya dan merendahkan tentangnya, atau menipu tentang
nilai, dan melakukan muslihat dalam menambah takaran dan menguranginya.
Semua itu termasuk aktifitas memakan harta dengan jalan yang bathil…”
selesai.
Karena itu, jika para pedagang bersepakat di antara mereka untuk
membeli barang si Fulan dengan harga murah, dan dia memberi mereka harta
sehingga mereka tidak menaikkan tawaran harga dari harga yang ia
inginkan. Dengan ungkapan lain, para pedagang sepakat untuk membayar
harga lebih kecil dari harga yang diinginkan orang itu untuk membeli
barang tersebut dengan imbalan orang itu membayar harta kepada mereka.
Aktifitas ini haram. Sebab ini masuk dalam Bab al-Khadî’ah
(tipudaya) terhadap pemilik barang untuk dibeli dengan harga murah. Dan
harta yang diabil oleh pedagang itu dari para pedagang lainnya adalah
haram.
Merdeka.com - Muslimah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai fenomena pergaulan bebas dengan
segala akibat buruknya di kalangan remaja dari tahun ke tahun cenderung
makin meningkat. Bahkan, saat ini pergaulan bebas atau hubungan seks di
kalangan itu bak 'sarapan pagi'.
Ketua Muslimah HTI DPD Sumsel
Qisthin Yetty Handayani mengungkapkan, bukan rahasia lagi pergaulan
kalangan remaja saat ini sudah bebas tanpa batas. Hubungan seks bukan
lagi barang yang aneh.
Tetapi sebaliknya, seseorang dikatakan
aneh jika tidak mau melakukan hubungan seks sebelum nikah. Seks dianggap
sebagai bukti konkret dalam mencintai lawan jenis.
"Perzinahan
di kalangan remaja tidak terbendung lagi. Bahkan pergaulan bebas bagi
mereka bak 'sarapan pagi'," ungkapnya dalam talk show 'upaya
menyelamatkan generasi muda dari budaya liberal' di Hotel Paradis
Palembang, Sabtu (15/2).
Tidak heran, kata dia, Yayasan Hotline
Pendidikan, sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, menemukan
sebanyak 20 persen pelajar di salah satu kota di Pulau Jawa, hamil
sebelum nikah.
Menurut dia, kemerosotan moral anak muda tersebut
lantaran minimnya nilai-nilai agama pada diri mereka. Pendidikan dan
pembinaan agama yang mereka dapatkan di sekolah selama ini hanyalah
sebatas ibadah ritual tanpa ada pengaitan dengan aturan Islam yang
sempurna.
"Inilah buah pendidikan sekuler yang menghasilkan
individu yang liberal, remaja yang matrealis dan hedonis dan
mengagungkan kebebasan," kata dia.
Untuk itu, banyak cara
dilakukan untuk menekan sikap buruk kaum remaja tersebut. Di antaranya
pemerintah menghentikan segala bentuk kegiatan dan penyediaan sarana
yang mengantarkan remaja kepada perilaku gaul bebas dan perzinahan.
Selain
itu, menghapus seluruh konten pornografi, dan yang terpenting
masyarakat juga tidak bersikap acuh terhadap kemaksiatan yang mereka
lakukan.
"Inilah saatnya menyelamatkan generasi dari budaya
liberal yang merusak. Anak-anak kita harus dibebaskan segera dalam
belenggu itu," tukasnya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
menolak peringatan Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang. Pemuda dan
pelajar diminta untuk tak terlibat dalam perayaan yang dilakukan pada
setiap 14 Februari tersebut.
Juru Bicara Muslimah HTI Iffah Ainur
Rachmah mengatakan, perayaan ini bukan berasal dari budaya Islam.
Setiap kali digelar banyak pula perilaku yang sangat bertentangan dengan
Islam. “Pergaulan dan seks bebas kerap mengiringi Valentine,” katanya, Ahad (9/2).
Soal seks bebas saat Valentine, banyak informasi yang menunjukkan hal itu terjadi. Salah satunya, kata Iffah, diungkapkan Hotline Pendidikan Surabaya, sebuah lembaga nirlaba di bidang pendidikan.
Sebanyak 20 persen pelajar Surabaya yang hamil sebelum menikah ternyata berhubungan seks saat merayakan Valentine.
Pergaulan
bebas di kalangan remaja bukanlah masalah sepele. “Bangsa ini wajib
menjaga akhlak para remaja itu agar tak mendapatkan musibah lebih
besar,” kata Iffah.
Terkait dampak negatif perayaan Valentine, Muslimah HTI
melakukan serangkaian aksi. Aksi ini sebagai peringatan agar para pemuda
dan pelajar tak terjebak dalam pergaulan bebas saat Valentine.
Ini dilakukan sejak Sabtu (7/2) hingga 14 Februari mendatang. Aksi berawal di Jakarta dan kemudian daerah-daerah lainnya.
Bagi
Iffah, ini merupakan edukasi yang penting. Bukan hanya kepada para
pemuda dan pelajar tetapi juga masyarakat. Orang tua dituntut pula
berperan agar anak-anaknya tak terseret pergaulan bebas saat merayakan Valentine. Orang
tua, kata dia, hendaknya intens membentengi anak-anaknya dari kegiatan
semacam itu. Bekali mereka dengan pendidikan agama. Dengan demikian,
pemuda dan pelajar mampu bersikap sesuai dengan ajaran Islam.
Massa HTI bergerak di Kediri untuk menentang perayaan Valentine. “Budaya Valentine itu
tidak ada dalam Islam, itu budaya liberal,” kata koordinator aksi
Syaiful Umar di sela aksi yang berlangsung di alun-alun Kota Kediri.
Ia
mengatakan, dalam Islam tidak pernah ada rujukan tentang hari kasih
sayang yang dilakukan di waktu tertentu. Islam menegaskan, kasih sayang
itu setiap hari. Menurut dia, Valentine justru lebih banyak berdampak buruk.
Sebab,
bentuk perayaannya berupa pergaulan bebas sampai mengarah pada seks
bebas. Syaiful prihatin, saat ini terjadi kemerosotan nilai-nilai agama
pada pemuda dan pelajar. Selama ini, pendidikan agama di sekolah hanya
sebatas ritual ibadah.
Kondisi ini bisa memicu pribadi yang
mengagungkan kebebasan. Ia berharap pemerintah berkomitmen untuk
menghapus seluruh konten pornografi dan sejenisnya di masyarakat.
Ambulan Masjid Agung Al Mujahidin Siap Beroperasi Melayani Selama 24 Jam
Masjid Agung Al Mujahidin Pamulang Melayani Layanan antar zenajah ke
peristirahatan terakhir. Keluarga yang menginginkan saudaranya
dimakamkan ke daerah asal Jabodetabek, pulau jawa, medura, sumatera,
dll seperti ke solo, semarang, wono giri,surabaya, magetan, malang,
lampung,dll Bisa Langsung Datang Ke Masjid Agung Al Mujahidin, Jalan
Siliwangi No 2 Pamulang, Tangsel. Telp. 7430833, 0813 1745 9213, 0813 8468 1151