Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar
Kini ulama adalah makhluk langka. Jarang anak kecil yang
bercita-cita mau menjadi ulama. Orangtua pun kalau mengirim anaknya ke
pesantren hanya agar anaknya menjadi salih, bukan menjadi ulama.
Di sisi lain, kalau kita memperkenalkan tokoh Indonesia ke
orang Timur Tengah bahwa dia seorang ulama, orang Timur Tengah akan
balik bertanya: Ulama di bidang apa? Apakah dalam ulumul Quran? Hadis?
Fikih? Tarikh? Kalau kita tidak menjelaskan, mereka akan ragu, “Ulama
apa itu? Ahli al-Quran bukan; ahli hadis bukan; ahli fikih bukan; ahli
tarikh bukan. Jadi, ahli apa?”
Walhasil, kita tahu bahwa ulama saat ini sangat langka.
Dari yang langka ini, lebih banyak ulama yang lemah daripada yang kuat.
Yang lemah ini tidak menjadi inspirasi bagi umat, tidak memimpin umat
keluar dari keterpurukannya, bahkan mereka tidak jarang justru menjadi
bagian dari sistem yang menindas umat.
Apa sesungguhnya faktor-faktor yang membuat ulama yang langka ini semakin lemah?
Secara umum ada tiga jebakan” bagi ulama.
Pertama : jebakan pemikiran yang terjadi pada dirinya sendiri.
Kedua : jebakan kultural yang “disiapkan” masyarakat.
Ketiga : jebakan sistem yang direkayasa oleh para penguasa.
Agar dapat keluar dari jebakan ini, para ulama wajib
memiliki kesadaran ideologis, di mana posisinya saat ini, agar dia tidak
terjebak di salah satu atau ketiganya.
1. Jebakan Pemikiran
Jebakan pemikiran adalah jebakan yang paling lembut sehingga yang terjebak tidak merasa dirinya terjebak.
Jebakan pemikiran ini ada tiga macam.
Pertama:_ sekularisasi. Sekularisasi adalah pemisahan agama dari
kehidupan publik, yakni kehidupan tempat interaksi tak terbatas seluruh
warga, baik Muslim maupun bukan, dalam segala aspek kehidupan: politik,
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dll.
Pahit untuk mengakui, bahwa sebagian besar ulama kita sudah
tersekularisasi di segala sisi. Mereka canggung berbicara masalah
publik dari sisi Islam. Mereka membatasi diri untuk berbicara hanya saat
ada persoalan moral seperti pornografi, miras, perjudian, pelacuran.
Kalaupun mereka berbicara tentang terorisme, itu karena terorisme
dikaitkan dengan ustad dan pesantren. Mereka juga hanya peka terhadap
gerakan sesat (Ahmadiyah, shalat dwibahasa, dsb).
Sebaliknya, mereka canggung untuk duduk bersama membahas pengaturan
sumberdaya alam menurut Islam atau mengatasi krisis pangan menurut
Islam; seakan-akan dalam masalah-masalah ini, Islam tidak mempunyai
solusi.
Kalau berbicara tentang pendidikan Islam, yang terlintas
hanya mata pelajaran agama di sekolah, atau pendidikan oleh yayasan
Islam (termasuk pesantren). Jarang yang berpikir bahwa pendidikan Islam
itu menyangkut segala segi, dari muatan kurikulumnya yang harus mengacu
pada akidah Islam di segala pelajaran (termasuk bahasa, matematika, IPA,
IPS) hingga bagaimana pendidikan itu bisa dibiayai sehingga semua warga
bisa mendapatkan akses pendidikan bermutu yang terjangkau.
Kedua : dakwah ishlâhiyah dan khayriyah. Sejak
sekularisasi menjadi arus utama, Islam dipelajari hanya sebatas ajaran
perbaikan individu atau keluarga. Dakwah akhirnya hanya terfokus pada
perubahan individual yang bersifat kebajikan (khayriyah). Topik yang
dominan adalah fikih praktis (ibadah, tatacara makan/berpakaian, nikah,
muamalah sehari-hari dan akhlak). Dakwah sudah dianggap sukses jika
berhasil menjadikan seseorang rajin shalat atau perempuan mau berbusana
Muslimah. Terkait dengan aktivitas masyarakat, dakwah ditekankan pada
kepedulian sosial seperti sedekah, menyantuni anak yatim hingga
mendirikan sekolah dan rumah sakit. Bagaimana memberikan solusi tuntas
dan mendasar terhadap segala masalah umat (ekonomi, pendidikan, sosial,
hukum, perundang-undangan, dll), hal itu jarang dijadikan target.
Ketiga: pemikiran “asketis”. Derap kehidupan hedonis,
apalagi yang dibawa Kapitalisme, membuat sebagian ulama bereaksi dengan
hidup bak pertapa sufi (asketis). Dakwah mereka fokus pada aspek ruhiah
(spiritual) dan mengajak masyarakat menjauhi dunia. Walhasil, pada saat
mendengar nasihat mereka, orang bisa mengucurkan air mata. Namun, begitu
keluar majelis, aktivitas dunianya tidak mengacu syariah, karena
syariah itu sendiri tidak pernah dibahas.
Orang diasumsikan otomatis jadi baik ketika pikirannya
mengingat Allah. Padahal faktanya, *amal seseorang bergantung pada
pemahaman syar‘i yang dimilikinya*. Ada pemilik bank yang tiap hari
bergelimang riba, namun dia tidak merasa berdosa, karena sudah rajin
tahajud dan puasa sunnah.
2. Jebakan Kultural.
Jebakan kultural atau budaya terjadi di—dan dilakukan oleh—masyarakat.
Masyarakat menggunakan pengalamannya dalam berinteraksi dengan agama
lain saat memahami Islam. Jebakan kultural ini dapat memaksa seorang
ulama yang semula kuat karena ikhlas menjadi lemah karena bias. Ada tiga
jebakan kultural:
Pertama: mitos ulama. Pada semua ajaran lain, keyakinan
berasal dari mitos atau aksioma yang tidak rasional. Ketika beralih ke
Islam, penganut mitos pun memandang akidah Islam sebagai mitos. Rasul
saw. berubah dari sosok manusia teladan menjadi sosok keramat yang
supranatural. Bahkan ulama tiba-tiba dianggap “orang suci” yang mustahil
salah, seperti penganut Katolik memandang Paus. Belakangan muncul
orang-orang yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi. Mereka
melegitimasi diri di depan orang-orang awam dengan ayat al-Quran atau
hadis yang diselewengkan. Lalu muncullah bid‘ah di mana-mana.
Di sisi lain, ulama dimitoskan dengan segala idealitas
dalam pandangan awam, bukan pandangan syariah. Saat ulama itu melakukan
hal yang dibenci awam (misalnya poligami), gelar “orang suci” tiba-tiba
lenyap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan, bahwa “ulama juga
manusia”.
Kedua_: mitos bahasa. Sebagai bahasa al-Quran, bahasa Arab
adalah bahasa ilmu pengetahuan Islam. Namun, di masyarakat non-Arab,
kini bahasa ini sudah menjadi “hak istimewa” selapis kecil ulama.
Sekadar tulisan Arab saja kadang dianggap keramat dan mampu mengusir
setan. Orang yang pintar membaca al-Quran langsung dipanggil ustadz.
Yang fasih berbahasa Arab (baca kitab kuning) dijuluki ulama, tanpa
melihat lagi pemahaman Islamnya.
Ketiga: mitos ijtihad. Pada zaman sekarang, ijtihad
dimitoskan sama dengan berpendapat. Setiap orang akhirnya boleh
berijtihad, sekalipun tanpa bekal memadai. Tidak aneh, muncullah
fatwa-fatwa nyleneh. Namun, ini ditoleransi dengan dalil, bahwa ijtihad
itu, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu
pahala. *Padahal yang terjadi kadang-kadang hanyalah adopsi terhadap
paham sekular yang dilabeli Islam, yang jauh sekali dari kategori
ijtihad.
3. Jebakan Sistem.
Para penguasa korup pada zaman manapun melihat para ulama sebagai
orang-orang yang berpotensi menghalangi mereka. Karena itu, penguasa
fâsid ini akan berupaya melemahkan para ulama, baik secara “legal”
maupun “ilegal”. Yang legal ada tiga macam:
Pertama : depolitisasi. Ulama dimarjinalkan dari kancah
politik dengan sekularisme. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur
dari arena; yang ada dalam sistem, mau tak mau, akan sama sekularnya.
Contoh, pada masa lalu, ada UU yang mewajibkan asas tunggal bagi ormas
dan parpol. Akibatnya, para ulama praktis kehilangan ‘rumah’, kecuali
yang mau pindah ke ormas atau parpol pendukung penguasa. Meski berdalih
akan “mengislamkan dari dalam”, yang terjadi justru sebaliknya.
Kedua : pragmatisme. Ulama dipojokkan untuk sekadar
bertahan hidup dalam sistem. Sistem sekular menjamin pelaksanaan syariah
di ranah pribadi. Pembangunan masjid dibantu. Dakwah khayriyah
dipromosikan. Zakat dan haji dilayani pemerintah. Ulama yang terpojok
akhirnya mengambil sikap, “Inilah yang masih bisa kita kerjakan.” Mereka
akhirnya diam terhadap urusan publik yang masih diatur sistem kufur.
Padahal kezaliman pada urusan ini (misalnya mahalnya BBM) melanda semua
orang; Muslim atau bukan; apakah mereka tahu masalahnya atau tidak.
Dakwah pun kemudian tak lagi untuk meluruskan penguasa yang bengkok,
yang oleh Nabi saw. disebut sebagai afdhal al-jihâd (jihad paling
utama), namun ”yang penting aman”.
Ketiga : Godaan 3-TA. Yang paling vulgar adalah pelemahan
ulama dengan harta, tahta dan wanita. Ulama yang kesulitan finansial
dibantu, pondoknya dibangun, santrinya diberi beasiswa, dan dakwahnya
makin bernilai bisnis. Ada juga ulama yang dilamar jabatan, dari
legislatif lokal hingga calon wapres. Yang terheboh tentu saja yang
ditawari wanita. Namun, semua ada kompensasinya. Yang jelas kepekaan,
sikap dan pengaruh politik yang bersangkutan bisa tergadai, atau
setidaknya dia akan sibuk dengan 3-TA itu. Akibatnya, kinerja
keulamaannya turun, atau bahkan dilupakan. Telah banyak pesantren yang
hancur karena ditinggal pemimpinnya yang menjadi “selebritis” atau
politisi di Senayan.
Adapun jebakan yang ilegal amat bergantung pada sikap penguasa. Kalau
dia santun, ini tidak dilakukan. Dia mencukupkan diri dengan yang legal.
Namun, penguasa zalim akan menempuh segala cara.
Pertama : pecah-belah. Adu domba ini tidak jarang dengan
penyusupan intelijen. Fitnah dimunculkan: yang satu mencurigai yang
lain; menuduh pihak lain sesat, ahli bid‘ah, dll. Akibatnya, ukhuwah
islamiyah terputus.
Kedua : stigma negatif. Penguasa memberikan citra negatif seperti
radikal, ekstremis dan teroris kepada ulama sehingga yang bersangkutan
dijauhi masyarakat. Stigma ini umumnya ditujukan kepada ulama-ulama yang
sederhana. Kadang-kadang jamaahnya dipancing untuk melakukan kekerasan,
kemudian dimanfaatkan untuk mempertegas stigma yang diberikan.
Ketiga : siksaan dan penjara. Ini adalah cara terakhir
untuk membungkam ulama. Namun, tren di negeri-negeri Muslim sekarang,
ulama yang pernah disiksa atau dipenjara justru makin karismatik. Ini
tidak disukai penguasa. Karena itu, direkayasalah seakan-akan sang ulama
melakukan kriminalitas seperti menyimpan narkoba, melakukan kejahatan
seksual atau pemalsuan dokumen; sebagaimana yang pernah divoniskan
kepada Ustad Abu Bakar Baasyir.
Khatimah
Menyatakan seseorang atau sekelompok ulama telah terkena jebakan-jebakan
di atas bisa menyulut emosi orang-orang yang merasa selama ini ikhlas
berjuang dan berkonstribusi bagi umat. Mereka merasakan pahit-getirnya
perjalanan dakwah. Sebagian bahkan telah menghabiskan usianya di
penjara.
Semua itu tidak kita nafikan. Dengan menunjukkan jebakan-jebakan itu,
kita tidak sedang menghakimi para ulama pada masa lalu, namun agar pada
masa depan tidak ada dari kita yang kena sindiran Rasulullah saw.: "Seorang Miuslim tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua
kali".
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.