AKIDAH ISLAM
Oleh: Umi Abdul Malikul Mulki
Akidah Islam adalah iman kepada Allah,
malaikat-Nya, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul-Nya, hari Kiamat dan iman terhadap
qadla-qadar baik atau buruknya datang dari Allah Swt.
Iman adalah tashdiq al-jazim (membenarkan
sesuatu dengan pasti) yang sesuai dengan kenyataan, serta berdasarkan bukti dan
dalil. Apabila pembenaran ini tidak berdasarkan dalil, maka ia tidak dapat
disebut sebagai iman. Sebab, di dalamnya tidak terdapat unsur kepastian. Begitu
pula pembenaran tidak akan mencapai tingkat pasti kecuali jika ia ditetapkan
dengan dalil yang qath’iy (pasti). Oleh karena itu dalil-dalil akidah harus
bersifat qath’iy dan tidak boleh bersifat dzanni (tidak pasti/dugaan).
Akidah berupa kalimat syahadat (Laa ilaha illa
Allah, wa anna Muhammad ar-Rasulullah), tidak dianggap syahadat kecuali
dilakukan berdasarkan ilmu, keyakinan dan pembenaran. Tidak berdasarkan dugaan.
Sebab, dugaan tidak menghasilkan ilmu dan keyakinan.
Akidah Islam adalah asas bagi Islam, asas bagai
pandangan hidup, asas bagi negara, konstitusi dan perundang-undangan, serta
asas bagi segala sesuatu yang lahir dan dibangun dari atau di atas akidah, baik
itu berupa pemikiran, hukum maupun persepsi Islam. Akidah Islam juga menjadi
qiyadah fikriyah (kepemimpinan ideologis), qa’idah fikriyah (landasan
pemikiran), sebagai aqidah siyasiyah (akidah yang bersifat politis). Sebab,
ide-ide, hukum-hukum, pendapat-pendapat, dan persepsi-persepsi yang lahir atau
tumbuh di atas akidah terkait dengan urusan-urusan dunia dan tata cara pengaturannya,
seperti halnya juga terkait dengan urusan akhirat.
Akidah Islam juga menjadi asas yang mengatur
seluruh urusan dunia. Di dalamnya terdapat hukum-hukum tentang jual-beli, sewa
menyewa, perwakilan, jaminan (garansi), pemilikan, pernikahan, syirkah, warisan
dan lain-lain. Di dalamnya juga terdapat hukum-hukum yang berkaitan dengan
penjelasan tatacara pelaksanaan hukum yang mengatur urusan-urusan dunia,
seperti hukum wajib adanya amir bagi sebuah jama’ah, termasuk hukum dan
tatacara pengangkatan amir, melakukan koreksi/kritik dan taat kepadanya. Sama
halnya dengan hukum-hukum jihad, perdamaian, gencatan senjata, atau seperti
hukum tentang ‘uqubat (sanksi) dan lain-lain. Dengan demikian akidah Islam
adalah akidah yang mengatur segala urusan hingga bisa disebut sebagai aqidah
siyasiyah (akidah yang bersifat politik). Karena, arti dari politik (siyasah)
adalah pengaturan dan pemeliharaan seluruh urusan umat.
Akidah Islam juga merupakan akidah yang tidak
dapat dipisahkan dari perjuangan dan peperangan, baik dalam mengemban
dakwahnya, mempertahankannya maupun dalam menegakkan negara -yang berlandaskan
pada akidah tersebut-, yang akan melindungi akidah dan tetap berdiri di atas
akidah Islam serta berusaha melaksanakan hukum-hukumnya. Juga dalam melakukan
koreksi terhadap penguasa apabila mereka mengabaikan pelaksanaan hukum-hukum
Islam dan melalaikan penyebarluasan risalah Islam ke seluruh dunia.
Akidah Islam menuntut pengesaan hanya terhadap
Allah, melalui ibadah dan ketundukan serta pengakuan bahwa hanya Allahlah
pembuat peraturan (tasyri’). Menolak segala bentuk ubudiyah kepada selain Allah
dari kalangan makhluk-makhluk-Nya, baik berupa patung, thaghut (peraturan dan
undang-undang yang tidak berasal dari Allah-pen), atau mengikuti hawa nafsu dan
syahwat semata.
Allah Swt adalah satu-satunya Khaliq (Pencipta)
yang berhak diibadahi. Dialah Sang Penguasa, Maha Pengatur, Pembuat Hukum, Sang
Penunjuk, Pemberi Rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan, serta Maha Penolong.
Seluruh kekuasaan berada di tangan-Nya. Ia berkuasa atas segala sesuatu, tidak
bersekutu dengan siapapun dari ciptaan-Nya.
Akidah Islam juga menuntut hanya Rasul Muhammad
saw sebagai satu-satunya panutan di antara semua makhluk yang ada. Tidak boleh
mengikuti selain Rasulullah Muhammad, dan tidak diterima selain dari beliau.
Beliaulah yang telah menyampaikan syari’at Rabbnya. Tidak diperkenankan
mengambil syari’at selain dari beliau (siapapun orangnya), atau dari agama dan
ideologi selain Islam, atau dari para pakar hukum. Seorang muslim wajib mengikuti
dan mengambil hukum hanya dari Rasul saw berdasarkan firman Allah Swt:
]وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا[
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (TQS
al-Hasyr [59]: 7)
]وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ
لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ[
(Dan) Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan sesuatu ketetapan (hukum) akan ada pilihan (hukum lain) tentang
urusan mereka. (TQS al-Ahzab [33]: 36)
]فَلاَ وَرَبِّكَ
لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ[
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan. (TQS an-Nisa [4]: 65)
]فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ[
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
(TQS an-Nur [24]: 63)
Akidah Islam juga menuntut kewajiban menerapkan
Islam secara sempurna dan totalitas. Diharamkan menjalankan (hukum Islam)
sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya, atau menerapkannya secara bertahap.
Kaum Muslim diperintahkan untuk menerapkan semua yang telah diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya setelah turun firman-Nya:
]الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِينًا[
Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu, dan telah Kucukupkan nikmatKu kepadamu dan telah Kuridhai Islam
menjadi agamamu. (TQS al-Maidah [5]: 3)
Kita tidak boleh membeda-bedakan hukum yang
satu dengan hukum yang lainnya. Seluruh hukum Allah adalah sama dalam hal
kewajiban pelaksanaannya. Oleh karena itu Abubakar ra dan para sahabat telah
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, karena mereka menolak
melaksanakan salah satu hukum, yaitu hukum zakat. Disamping itu Allah Swt
mengancam orang-orang yang membeda-bedakan antara satu hukum dengan hukum yang
lain, atau orang-orang yang beriman terhadap sebagian dari Kitabullah dan kufur
terhadap sebagian lainnya. Mereka diancam dengan kehinaan di dunia dan siksa
yang pedih di akhirat sebagaimana firman-Nya:
]أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ
يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ[
Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Kitab
(Allah) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan dari orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan
pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat. (TQS.
al-Baqarah [2]: 85)
Membedakan Antara Aqidah Islamiyah dengan
Aqidah Madzhab
Akhir-akhir ini
kita semakin merasakan adanya gesekkan antar kelompok Islam dalam masalah
aqidah. Masing-masing kelompok membeberkan berbagai dalil untuk menunjukkan
bahwa aqidah merekalah yang paling shahih seraya memaparkan kesalahan kelompok
yang lain. Tak ayal, mereka pun kemudian saling menyesatkan dan saling membenci
(meski tidak sampai saling mengkafirkan) . Mereka adalah sebagian kecil dari
umat islam yang tenggelam dalam asyiknya membela sebuah madzhab dan melawan
madzhab Islam yang lain.
Madzhab-madzhab
tersebut telah menaruh perhatian yang begitu besar terhadap titik-titik
perbedaan pendapat yang ada di antara mereka. Begitu besarnya perhatian
terhadap perbedaan itu sehingga mereka pun akhirnya tidak mampu lagi melihat
persamaan yang ada. Hampir tidak ada lagi kesadaran bahwa, sebesar apapun
perbedaan di antara mereka, sebenarnya masih ada persamaan yang lebih prinsip.
Persamaan itu adalah “Aqidah Islamiyah” yang sama-sama mereka peluk, yang
menjadi irisan bersama di antara berbagai madzhab tersebut. Ya, bukankah mereka
sama-sama mengakui bahwa berbagai madzhab tersebut masih muslim dan belum
melepaskan pelukkan mereka terhadap Aqidah Islam?
Ya, ada
perbedaan antara Aqidah Islamiyah dengan aqidah madzhab. Aqidah madzhab
Asy’ariyah mungkin berbeda dengan aqidah madzhab salafiyah. Namun, baik
Asy’ariyah maupun Salafiyah keduanya masih memeluk Aqidah Islamiyah, sebab
Aqidah Islamiyah bukanlah aqidah yang menjadi ciri khas madzhab-madzhab islam.
Aqidah Islamiyah bukanlah keunikan yang membedakan sebuah madzhab dari madzhab
islam yang lain (seperti keunikkan aqidah maturidiyah yang membedakannya dengan
asy’ariyyah atau mu’tazilah). Aqidah islamiyah adalah aqidah yang mengumpulkan
seluruh kaum muslimin dalam satu golongan, yakni umat islam. Aqidah islamiyah
adalah keyakinan-keyakinan yang menjadi garis tipis yang memisahkannya antara
orang muslim dengan orang kafir.
Itulah mengapa
baik asy’ariyah, maturidiyah, wahabiyah, mu’tazilah, dll semuanya masih muslim,
asalkan mereka masih meyakini area aqidah inti yang menyatukan mereka, yakni
aqidah islamiyah, yang tak lain adalah kumpulan masalah-masalah ushul yang
bersifat qath’i, yang diyakini secara pasti oleh seluruh ahli qiblat, apapun
madzhabnya, seperti keesaan Allah, kerasulan Muhammad saw, keaslian Al-Qur’an
sebagai kalamullah, kebenaran surga dan neraka, eksistensi malaikat, dll.
Lain halnya
dengan Ahmadiyah. Kelompok ini jelas kafir, jika benar bahwa mereka mengingkari
salah satu poin aqidah islam yang pasti, yakni bahwa Muhammad saw adalah nabi
yang terakhir. Keyakinan bahwa ada nabi lagi setelah Muhammad saw merupakan
faktor yang membuat Ahmadiyah tidak lagi bisa dikategorikan sebagai madzhab
Islam. Ia adalah aliran yang telah melampaui batas karena menentang perkara
yang bersifat qath’i (pasti) dalam Islam.
Dengan ini maka
jika ada orang yang ngotot untuk menjadikan masalah dzonniyah yang membedakan
madzhabnya dengan madzhab yang lain sebagai bagian dari Aqidah Islamiyah, tentu
-jika konsisten- dia akan mengkafirkan madzhab lain yang ragu atau tidak
percaya dengan apa yang ia yakini.
Namun faktanya,
kita tidak mendengar ada seorang syaikh dari kalangan “salafi” yang berani mengkafirkan
golongan ‘Asy’ariyyah, meski pertentangan di antara mereka tentang sifat-sifat
Allah begitu kerasnya. Artinya, orang salafi pun sebenarnya sadar, bahwa
seorang muslim tidak dapat kafir hanya karena mengingkari madzhab aqidah
mereka, seperti mengingkari kepercayaan bahwa Allah punya “tangan” dalam arti
tangan secara literal, atau “betis”, atau “telapak kaki” atau “jari-jemari”
atau mengingkari “turunnya” Allah ke langit dunia. Mereka menyadari, bahwa
seseorang tidak menjadi kafir gara-gara mengingkari semua itu. Namun, disisi
lain, mereka tidak segan untuk mengkafirkan kelompok Ahmadiyyah.
Kenyataan
tersebut menunjukkan apa yang tidak mereka katakan, yakni bahwa dalam
prakteknya mereka telah membedakan antara yang qath’i dengan yang dzonni. Mereka
sadar bahwa kepercayaan mengenai Muhammad saw sebagai Nabi terakhir merupakan
hal yang qath’i, sedangkan bahwa Allah punya “tangan” adalah hal yang dzonni.
Itulah mengapa mereka -sebagai mana kita semua- tanpa ragu mengkafirkan
Ahmadiyyah yang meyakini ada nabi lagi setelah Muhammad saw, dan salafi
-sebagaimana kita semua- tidak mentolelir segala bentuk ta’wil yang diajukkan
oleh Ahmadiyah untuk mendukung pendapat mereka tersebut, itu karena kepastian
bahwa Muhammad saw sebagai nabi terakhir merupakan perkara yang tidak
mentolelir ta’wil macam apapun.
Di sisi lain,
mereka masih mentolelir berbagai macam ta’wil atas makna “yadullah” (tangan
Allah) yang diungkapkan oleh Asy’ariyyah, dimana mereka kadang mengartikan yad
itu dengan kekuasaan. Mereka tidak mengkafirkan Asy’ariyah disebabkan karena
pena’wilan mereka itu masih dapat ditolelir.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kita semua -secara sadar atau tidak- telah memahami tiga hal:
satu, kepercayaan-kepercayaan yang membedakan antara madzhab Islam yang satu
dengan madzhab yang lain itu bersifat dzonni, sebab jika qath’i niscaya kita
tidak akan memberi ruang toleransi sedikit pun bagi adanya perbedaan pendapat;
kedua, madzhab-madzhab yang beraneka ragam itu sebenarnya masih memeluk inti
aqidah yang sama, yakni aqidah Islamiyah, meski berbeda dalam beberapa masalah
yang dzonni. Tiga, Aqidah yang menentukan keislaman seseorang
adalah Aqidah Islamiyah yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ahli qiblat,
bukan ciri khas aqidah Salafiyah, Asy’ariyah atau aqidah madzhab apa pun.
Akhirnya, tanpa
bermaksud menghentikan usaha umat Islam untuk mencari “yang paling benar” di
antara madzhab-madzhab tersebut, saya ingin mengingatkan bahwa sebesar apapun
perbedaan di antara kita, kita tetap harus solid sebagai satu umat, karena ada
ayat yang berbunyi:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا
“dan berpegangteguhlah kalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian saling berpecah-belah”
Penutup
Hizbut Tahrir telah membahas berbagai perkara
tentang akidah, antara lain pembuktian adanya Allah Sang Pencipta, pembuktian
kebutuhan akan adanya Rasul dan pembuktian bahwa al-Qur’an berasal dari Allah
Swt dan Muhammad saw adalah seorang Rasul. Semua itu dibahas berdasarkan dalil
‘aqli dan naqli yang berasal dari al-Qur’an dan Hadits mutawatir. Hizbut Tahrir
telah membahas pula perkara qadar, qadla dan qadar, rizki, ajal, tawakal kepada
Allah, serta perkara hidayah (petunjuk) dan dlalalah (kesesatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar