Berikut adalah beberapa faidah yang
kami kumpulkan berdasarkan keterbatasan ilmu yang ada pada kami.
Pertama
Kaum muslimin sepakat bahwa
Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mu’jizat tersebut berupa keindahan bahasa dan balaghahnya
sampai-sampai Allah ‘Azza wa Jalla menantang siapapun yang bisa
mendatangkan semisal Al-Quran. Allah berfirman,
“Dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah: 23)
Bahkan ditantang juga dengan
mendatangkan kalimat saja semisal Al-Quran. Allah berfirman,
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika
mereka orang-orang yang benar.” [Ath-Thuur: 34]
maka sangatlah merugi
seorang yang mengaku-ngaku muslim tetapi ia tidak bisa menikmati mu’jizat
terbesar umat ini.
kedua
Jika ada seorang profesor Ahli
dibidang kedokteran modern misalnya, ia menjadi rujukan para dokter untuk
berkonsultasi, akan tetapi ia tidak bisa berbahasa Inggris, maka gelar profesor
dan keahliannya diragukan karena sebagian besar sumber ilmu kedokteran modern
adalah negara barat yang berbahasa Inggris, maka bagaimana jika ada ustadz,
Gus, Kiayi Haji, Tuan Guru Haji, Habib yang mereka menjadi rujukan pertanyaan
tentang agama kemudian meraka tidak bisa berbahasa Arab?
Akan tetapi kenyataan di masyarakat
terutama di zaman ini, banyak orang yang belum mempunyai ilmu agama yang
mumpuni, langsung menjadi ustadz dadakan dan menjadi rujukan pertanyaan agama.
Padahal untuk menjadi dai dan rujukan pertanyaan juga harus belajar yang
lama dan bertahun-tahun sebagaimana juga belajar ilmu umum. Ia juga harus mengusai
berbagai ilmu ushul sehingga tidak menyampaikan atau berfatwa tanpa ilmu.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus,
tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika
Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat
pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka
berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.”
(HR. Bukhari no:100)
Ketiga:
Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu adalah yang pertama kali mencetus ilmu Bahasa Arab, beliau
menyusun pembagian kalimat, bab inna wa akhawatuha, idhafah, imalah,
ta’ajjub, istifham dan lain-lain, kemudian memerintahkan kepada Abul Aswad
Ad-Dualiy untuk mengembangkan sambil berkata,
انح هذا النجو
“Unhu hadzan nahwa!” (ikutilah yang semisal ini),
maka istilah ilmu Nahwu
diambil dari perkataan Ali bin Abi thalib (lihat Qowa’idul asasiyah
lillughotil arobiyah hal 6, Sayyid Ahmad Al Hasyimi, Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah).
Keempat:
Abul Aswad Ad-Du’aliy rahimahullah
dari bani kinanah disebut sebagai bapak bahasa Arab. Ialah
yang mengembangkan bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi thalib karena Islam
berkembang berbagai negara dan orang ajam banyak yang salah berbahasa Arab dan
kesulitan memahami Al-Quran, serta masuknya orang ajam ke negeri Islam dan
mencampur bahasa mereka (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah
hal 5).
Dikisahkan bahwa yang membuat
Abul Aswad Ad-Du’aliy semakin semangat mengembangkan bahasa Arab adalah
suatu malam ia berjalan dengan putrinya, kemudian putrinya berkata,
ما أجمل السماء
“Maa ajmalus sama’i” (artinya: Apa yang
paling Indah di langit?),
kemudian Abul Aswad Ad-Du’aliy
berkata,
نجومها
“nujumuha” (artinya: bintang-bintangnya).
kemudian putrinya berkata, “saya
bermaksud ta’ajjub/kagum”.
Maka Abul Aswad Ad-Du’aliy
berkata membenarkan, katakanlah,
NB: Tulisan font Arabnya sama,
tetapi cara bacanya berbeda, karena berbeda arti
Anak seorang pakar bahasa Arab saja
seperti ini, apalagi masyarakatnya, kemudian perhatikan juga hanya berbeda
harakat sedikit saja sudah membedakan artinya sangat jauh, masihkah kita tidak
mau belajar bahasa Arab untuk lebih memahami agama kita?
kelima
Sebagaimana fiqh, bahasa Arab juga
ada dua mazhab yaitu mazhab Kufiyah dan Bashriyah, karena bahasa Arab
berkembang di dua kota besar Kufah dan Bashrah. (lihat Qowa’idul asasiyah
lillughotil arobiyah hal 6)
Ulama dari Basrah yang terkenal
adalah Sibawaih dengan nama lengkapnya ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar dan Abdullah
bin Abu Ishak. Sedangkan ulama dari kufah adalah Al-Kisa’i dengan nama lengkapnya
Abu Hasan Ali ibn Hamzah dan Al-Fara’
Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan
ad-Dailumiy.
Keenam:
Sering kita mendengar bahwa bahasa
penduduk surga adalah bahasa Arab akan tetapi hadistnya lemah sehingga tidak
bisa dijadikan sandaran, tidak ada hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa sallam tentang masalah ini. Menngenai hadits,
“Cintailah orang Arab karena tiga hal; Karena aku adalah orang Arab,
Al-Qur’an itu berbahasa Arab dan ucapan penduduk sorga adalah Bahasa Arab”.
(HR. Hakim, Thabarani dan Baihaqi)
Imam Dzahabi rahimaullahu
mengatakan dalam ringkasan kitab al-Mustadrak : Saya kira hadits ini lemah”.
Ibnu Al-Jauzi rahimaullahu menyebutkan hadits ini dalam kitab Al-Maudhu’at
(kumpulan hadits-hadits palsu)
Meskipun demikian banyak atsar para
salaf yang menguatkan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab. Jikatidak bisa kita katakan bahwa “bahasa Arab adalah bahasa ahli surga” tetapi
bisa kita katakan “bahasa Arab adalah bahasa pendamba ahli surga”.
Ketujuh:
“Afwan jiddan akhi”.
kata ini sering diucapkan oleh orang
awam bahkan aktivis dakwah, padahal bentuk ini salah secara kaidah,
karena “afwan” dan “jiddan” keduanya adalah maf’ul mutlaq
yang bertujuan untuk menta’kid (menegaskan), “afwan” tidak perlu
ditambahkan “jiddan” lagi untuk menta’kid serta tidak boleh menyusun dua
maf’ul mutlaq berturut-turut. (lihat pelajaran maf’ul mutlaq, Mulahkhas
Qowa’idil Lughatil Arabiyah hal 69, fu’ad Ni’mah, Darul Tsaqafah Islamiyah)
kedelapan:
Nama Nabi yang disebutkan dalam
Al-Qur’an dan Sunnah hanya empat orang saja yang memakai nama Arab asli yaitu
Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam, Syu’aib, Shalih dan Hud ‘Alaihimussalam.
Hal ini dapat diketahui dengan kaidah bahasa Arab bahwa nama asing termasuk
golongan “mamnu’ minas sarf” yang tidak boleh di tanwin, sehingga anggapan
sebagian orang bahwa sebagian besar nabi dari bangsa Arab asli kurang tepat,
yang benar beberapa daerah timur tengah dulunya tidak diduduki oleh orang Arab
seperti Mesir dan Syam.
Kesembilan:
Bangsa Arab punya kebiasaan menitipkan
anak mereka kepada suku-suku pedalaman untuk disusui, termasuk Rasul kita
Shallallahu ’alaihi wa sallam, tentu kita bertanya-tanya untuk apa hal ini
dilakukan? Tidak khawatir anak kita didik oleh orang kampung yang tidak
dikenal? Ternyata salah satu hikmahnya adalah agar anak-anak meraka fasih
berbahasa Arab yang masih murni, karena bahasa di kota sudah bercampur
baur.
Begitu juga kita tidak akan
mendapatkan bahasa jawa kromo/halus di kota-kota tetapi ada di desa-desa
terpencil. Karena bagi orang Arab kesalahan berbahasa sangat fatal dan bangsa
Arab sangat memuliakan syair dan keindahan bahasa.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan
berkata,
اللحن في الكلام أقبح من الجذري في الوجه
“Lahn (kesalahan) dalam berbicara lebih jelek dari cacar di wajah.”
Dari sulaiman bin Ali bin Abdullah
bin Abbas dari Al-Abbas berkata, saya bertanya kepada Rشsululloh apakah keindahan pada seseorang?”, beliau menjawab,
“kefasihan lisannya”. Dan dikisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
sallam paling fasih mengucapkan huruf “dhad” yang paling
sulit pelafazannya. (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal
4,)
Kesepuluh:
Bahasa Arab adalah bahasa yang
paling sesuai dengan logika manusia,
misalnya kalimat, “ana masrurun
bimuqobalatik” (saya disenangkan [senang] karena bertemu denganmu),
Maka bahasa Arab menggunakan “masrurun”,
dalam bentuk maf’ul (objek penderita), bukan “saarrun” (fa’il/pelaku).
karena ada sesuatu yang membuatnya senang yaitu bertemu, tidak mungkin dia
senang sendiri jika tidak ada yang menbuatnya senang.
Bandingkan dengan bahasa indonesia,
“saya merasa senang” dan bandingkan pula dengan kalimat “ana qoodimun”
(saya datang) menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena memang ia
melakukannya. (Faidah ini saya dapat dari guru kami Aris Munandar, SS. MA.
Hafidzahullahu)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Sebentar lagi kita bertemu
bulan puasa 1434 H, oleh karena itu kita sambut bersama-sama,”Marhaban ya
ramadhan,”. Selamat dating bulan ramadhan, kami bergembira menyambut
kedatanganmu karena kami terngiang dengan sabda Rasulullah SAW. “seandainya
umatku mengetahui keistimewaan ramadhan, niscaya mereka mengharapkan semua
bulan menjadi bulan ramadhan. Kehadiran bulan ramadhan adalah untuk mencucikan
jiwa, bulan kasih sayang, bulan ampunan, dan bulan kemerdekaan dari saksi api
neraka. Juga tujuanya dari puasa itu sendiri adalah sebagai pembinaan diri
untuk sampai derajat taqwa. Dengan melaksanakan puasa diri manusia terbina dan
terlatih untuk selalu patuh terhadap printah Allah, dengan mengekang segala
macam hawa nafsu yang dapat menyeret kepada kemaksiatan. Bulan buasa adalah
bulan keistimewaan disi Allah karena Allah sendiri yang member balasan atau
pahala. Bahkan dibulan Ramadan segala amalan akan dilipat gandakan pahalanya
sepuluhsampai tujuh ratus kali lipat.
Seperti sabda Rasulullah :
,”Setiap amal kebaikan manusia
dilipat gandakan sepuluh sampai tujuh ratus. Allah Azza wa jalla berfirman:
kecuali puasa. Puasa itu bagiku, dan Aku (sendiri) yang akan memberikan
balasannya,”(HR Muslim).
Untuk itu marilah, kita sambut
dengan membulatkan tekat dan niat untuk menyambut ramadhan. Kita siap melakukan
amal apa saja demi mendapatkan kemulian dan kebaikan bulan ramadhan. Umat Islam
diseluruh dunia, termasuk umat Islam di Indonesia juga ikut serta menyambut
bulan ramadhan, untuk berlomba meningkatkan kadar ketaqwaan dengan
menunaikanibadah puasa dan amal Ibadah
lain dalam rangka meraih, ampunan, dan ridha-Nya. Oleh karena itu kita sambut
dengan Imanan wa-htisaban, serta kita jalin ukhuwah Islamiyah
denagan kita tingkatkan kepekaan dan kepedulian kita bagi sesama. Terutama
mereka yang kurang beruntung, fakir miskin, dan sebagainya, untuk dapat
meresapi dan menghayati serta makna hikmah puasa. Kita mengajak umat Islam atau
masyarakat pada umum untuk bersama-sama menunaikan ibadah puasa denagan tulus ikhlas.
Untuk juga membangkitkan hati nurani kita untuk dengan khusyuk dan tawadhu
beribadah dan beramal shaleh dalam menjalin persaudaraan Islam dan membekali
diri kita dengan teladan bulan ramadhan.
Dasar Penyelenggaraan
Sebagai kita ketahui bahwa
bulan puasa adalah bulan suci yang diwajibkan kepadaumat Islam berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
Yang artinya wai orang-orang
yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Qs Al Baqarah(2) ayat 183
Ketentuan Puasa
1.Islam
2.Baligh (Cukup Umur)
3.Berakal (Tidak Gila)
Yang dimaksud puasa adalah
menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari disetai dengan niat. Aku niat puasa besuk hari menunaikan fardhu bulan
ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.
Adapun yang membatalkan puasa
adalah sebagai berikut:
1.Memasukkan sesuatu kedalam perut dari rongga badan.
2.Menggauli Istri pada siang hari.
3.Muntah dengan sengaja
4.Keluar mani dengan sengaja
5.Haid(menstuasi)
6.Nifas (melahirkan)
7.Gila
8.Murtad.
Yang disunahkan badi orang
yang berpuasa:
1.Menyegerakan buka puasa bila telah waktunya
2.Menggakhirkan saur
3.Meninggalkan kata-kata kotor/sia-sia
4.Itikaf Sepuluh hari terakhir.
5.Meperbanyak baca Al Qur’an
6.Memperbanyak sedekah/infak
Orang yang dapat
dispensasi/diperbolehkan tidak puasa:
1.Wanita hamil
2.Wanita yang sedang menyusui
3.Musafir (orang dalam perjalanan)
4.Orang yang lanjut usia, harus membayar fidyah
Hikmah Puasa
1.Puasa menanamkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin
2.Puasa akan mengantarkan kepada kesehatan
3.Ramadhan adalah bulan berkah
4.Puasa sebagai benteng pribadi
5.Menciptakan pribadi muslim yang jujur danamanah
6.Kriminal menurun Drastis
7.Menyuburkan kekuatan jiwa dalam menghadapi ujian.
Yang Dianjurkan Di Bulan
Ramadhan
1.Mempersiapkan jasmani dan rohani secara lahiriyah maupun
batiniyah, seperti mempersiapkan mental, membersihkan lingkungan, anggota badan,
hati sanu bari, banyak minta ampun kepada Allah dan minta maaf kepada sesama.
2.Menyambut bulan ramadhan dengan rasa senang.
3.Meluruskan niat tulus ikhlas untuk beribadah dan mengabdi kepada
Allah, syaiton tidak akan berdaya mengoda orang-orang yang ikhlas.Qs Al Hijr
(15) ayat 39-40.
4.Melaksanakan puasa dengan penuh sabar, allah menjanjikan
orang-orang yang sabar imbalan yang sagat besar Qs Az Zumar (39) ayat 10
5.Berusaha untuk banyak memperbanyak membaca Al Qur’an, menghayati
dan mengamalkan kandungan Al Qur,an.
6.Menyegerakan berbuka puasa ketika waktunya telah tiba dan mengakhirkan
saur sesuai dengan waktunya.
7.Memperbanyak sedekah melebihi bulan lainnya.
8.Menati malam lailatul qodar yang kebaikanya seperti beribadah
selama 1000 bulan atau 83 tahun. Subkhanaallah.
Hal-Hal Yang Harus Dihindari
1.Bermalas-malasan dengan alas an berpuasa.
2.Menghindari ucapan yang tidak baik atau sia-sia.
3.Menyiapkan makanan yang berlebihan untuk berbuka dan saur.
4.Menunda atau memperlambat berbuka puasa.
5.Mengosok gigi di siang hari, mandi/renang disiang hari.
6.Memandang/mencium istri/suami hingga menimbulkan syahwat.
Demikianlah sekilas amalan
praktis di Bulan Ramadhan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan berpuasa
dibulan ramadhan bukan hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus. Orang yang
berpuasa atas dasar keimanan, juga untuk mendekatkan diri kepada sangkhalik
(taqarrub ilallah). Orang puasa akan mendapat dua kegembiraan, pertama sewaktu
berbuka puasa.Kedua kegembiraan bertemu
dengan Allahkelak, karena pahala puasa
hanya Allah yang akan emberikan langsung. Berpuasa juga terwujudnya tatanan
masyarakatyang adil sejahtera didalam
ridha dan ampunan Allah. Puncak dari amal ibadah puasa adalah melaksanakan Idhul
Fitri. Sebagai lambang kegembiraan dan syukur kita kepada Allah SWT, mudah-mudahan
segala amal ibadah kita selama bulan ramadhan diterima Allah serta dapat
ridhan-Nya.minal aaidiin wal faaidzinin, taqabalallahu minna waminkum, taqabal
ya kariim.
Manusia diciptakan Allah SWT. Untuk
menjadi khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah manusia dituntut untuk dapat
membangun kehidupan yang layak dibumi, yakni kehidupan yang diridhai Allah SWT,
karena menegakkan Qur’an Dan Sunnah-Nya. Sebaliknya suatu kejahatan yang besar
jika tidak menerapkan Qur’an sunnah, apalagi malah membuat kerusakan di muka
bumi. Allah berfirman :
Dan Dialah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs Al An’am (6)
ayat 165.
Salah satunya tugas amanah
yang harus diemban khalifah adalah tangung jawab menjaga keselamatan dan
keutuhan umat, dengan cara pelestarian generasi umat, untuk melanggengkan
keturunan yang bisa dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Apapun tingginya
kemulian Al Qur’an jika tidak diamalkan tidak diterapkan dalam pengaturan perbuatan
kehidupan manusia dunia. Niscaya kemuliaan itu tidak akan pernah tampak, bahkan
rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) itu tidak akan pernah ada. Jika hanya
syariat ada dalam gagasan dan teori aja, tanpa ada upaya penerapannya.
Maka Rasulullah, mewujudkan islam rahmatan lil’alamin dari gagasan
dan teoritis menjadi figur konkrit. Berhasil menjadikan para shahabat sebagai
gambaran hidup dan keimanan, sebagai contoh kongkrit bagi umat Islam. Generasi Qur’ani
dan masyarakat rabbani seperti kehidupan para shahabat, inilah menjadi
masyarakat ideal yang menjadi impian kita bersama. Itulah sekelumit gambaran tentang sikap hidup
para sahabat Nabi. Maka beberhasilan
Rasulullah membagun kehidupan para shahabat tak terlepas dariaspek tarbiyah atau pendidikan. Namun yang
dimaksut pendidikan bukan hanya sekedar pendidikan formal disekolah-sekolahan. Tapi
mencakup seluruh aspek kehidupan, dimulai sejak lahir didunia hingga akhir
hayatnya, diantaranya pendidikan individu, keluarga, masyarakat, dan Negara. Begitu
pula dengan materinya mencakup segala bidang, bidang agama, iman, moral, fisik,
akal pikiran, psikologi, social, bahkan sampai pendidikan seksual.
Maka salah satu
pendidikan terhadap seorang anak adalah mengkitankan mereka, tapi jangan hanya puas mengkitankan saja,
tapi juga penghayatan makna kitan. Bahwa
esensi dari kitan tersebut adalah konsekuensi spiritual dan social dari khitan
itu.
Pengertia Khitan
menurut
bahasa Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian
ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan
disebut dengan khifadh.
Adapun dalam istilah syariat, dimaksudkan dengan memotong kulit yang menutupi
kepala zakar bagi laki-laki, atau memotong daging yang menonjol di atas vagina,
disebut juga dengan klitoris bagi wanita.
Dalil Disyariatkan Khitan
Khitan
merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada
Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai “kalimat”
(perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah menjalankan perintah
tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala
sebagai panutan dan imam seluruh alam.
Dalam
surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah
berfirman: "JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim". [al
Baqarah : 124].
Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
"Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan),
mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis".
Di dalam Musnad Ahmad dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
”Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sebagian dari
fitrah adalah: berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air dari hidung), mencukur
kumis, siwak, memotong kuku, membersihkan lipatan pada badan, mencabut bulu
ketiak, istihdad, khitan dan bersuci".
Maksud dari fitrah adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah Allah
Subhanahu wa Ta'ala fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia telah
menganjurkannya demi kesempurnaan sifat mereka. Pada dasarnya sifat-sifat
tersebut tidak memerlukan perintah syariat dalam pelaksanaannya, karena hal-hal
tersebut disukai dan sesuai oleh fitrah.
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang
berhubungan dengan hati dan dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
mencintai serta mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang kedua, fitrah amaliah
dan dia hal-hal yang disebut di atas. Yang pertama mensucikan ruh dan
membersihkan kalbu, sedangkan yang kedua mensucikan badan, dan keduanya saling
membantu serta saling menguatkan. Dan pokok fitrah badan adalah khitan.
Khitan bermula dari ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada
seorangpun yang berkhitan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Ibrahim berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.
Setelah Nabi Ibrahim Shallallahu 'alaihi wa sallam, tradisi dan sunnah khitan
berlanjut bagi semua rasul dan para pengikut mereka, sampai kepada al Masih,
bahwa dia juga berkhitan. Orang Nashrani mengakui dan tidak mengingkari khitan
tersebut, sebagaimana mereka mengakui haramnya daging babi, haramnya uang
penghasilan hari Sabat, mereka mengakui shalat menghadap Shakhrah (sebuah batu
sebagai kiblat Yahudi di Masdjid al Aqsha, Pen), dan mereka mengakui untuk
tidak berpuasa lima puluh hari, yang puasa tersebut mereka namakan dengan
"puasa besar".
HikmahDanFaidah Khitan
1.Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin,
menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek moyang bagi
keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan merupakan celupan dan
tanda Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman :
"Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada
Allah?" Qs al Baqarah (2): 138
2.Sebagai tanda 'ubudiah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana dahulu, bahwa memberi tanda pada telinga atau badan pada budak
sahaya sebagai pertanda penghambaan diri mereka kepada majikannya. Jika budak
tersebut lari dari majikannya, ia dikembalikan kepadanya melalui perantara
tanda tersebut. Maka tidak ada yang mengingkari, barangsiapa yang telah
berkhitan dengan memotong kulit tersebut, berarti dia telah menghambakan
dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga semua orang mengetahui,
barangsiapa yang melakukan khitan, berarti dia adalah hamba Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
3.Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi
hambaNya yang hanif.
4.Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan
nafsu syahwat. Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan
perilaku hewan. Dan jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama dengan
benda mati, tidak mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita mendapatkan, orang yang
tidak berkhitan, baik dia laki-laki maupun perempuan, tidak puas dengan jima`
(hiperseks). Dan sebaliknya, kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat
membuatnya menjadi dingin terhadap laki-laki.
5.Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan
memuaskan pasangan.
عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ
بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي
فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ
"Dalam hadits Ummu `Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi
sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:
"Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan
lebih dicintai suami"
6.Setan berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada
kulit yang tidak berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia
tiup pada orang yang berkhitan.
Hukum
Khitan
Para ulama
berselisih dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat Pertama : Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat ini
merupakan mazhab Syafi`iyah, Hanabfiyah dan sebagian Malikiyah rahimahullah,
dan dari ulama terkemuka dewasa ini, seperti pendapat Syaikh al Albani.
Pendapat Kedua : Khitan itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan mazhab
Hanafiyah pendapat Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat rahimahullah.
Pendapat Ketiga : Khitan wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita.
Pendapat ini merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad, sebagian Malikiyah dan
Zhahiriyah rahimahullah.
Dalil-Dalil
Dalil
pendapat Pertama, yang mengatakan khitan wajib. Mereka berdalil dengan Kitab,
Sunnah, atsar dan akal.
a. Dalil dari Kitab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan)".Qs al Baqarah (2) : 124
Catatan: Sesungguhnya, khitan termasuk kalimat yang dijadikan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala sebagai bentuk ujian kepada Ibrahim Alaihissallam,
sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas; dan ujian, secara umum berlaku
dalam hal yang wajib.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif". Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan".
Catatan: Khitan termasuk ajaran Ibrahim Alaihissallam, sehingga hal itu
termasuk dalam keumuman perintah untuk diikuti. Dan asal dari perintah adalah
wajib, sampai ada dalil lain yang memalingkannya.
b. Dalil dari Sunnah.
Hadits `Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Aku telah
masuk Islam,” Nabi bersabda,”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "berkhitanlah", adalah
'amr (perintah); dan 'amr, hukum asalnya wajib, ia menunjukkan wajibnya
berkhitan. Perkataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada satu orang,
juga mencakup yang lainnya, hingga ada dalil pengkhususan.
Dan juga mereka berdalil sebagaimana yang diriwayatkan dari Zuhri, bahwa ia
berkata: "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
'Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah, sekalipun sudah dewasa'." Sabda
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "maka hendaklah berkhitan",
adalah 'amr; dan asal hukum 'amr, wajib dengan sighat (bentuk syarat) pada
sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "Barangsiapa yang masuk
Islam", lafadznya umum, mencakup laki-laki dan perempuan.
c. Atsar Salaf.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Al aqlaf (yaitu orang
yang belum berkhitan), tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan
sembelihannya".
d. Dalil Aqli.
Mereka berdalil dengan teori dan qiyas. Secara teori, dapat dilihat dari
beberapa aspek.
Pertama : Diperbolehkan membuka aurat saat dikhitan. Jika khitan bukan
merupakan hal yang wajib, niscaya tidak diperbolehkan; karena hal itu bukan hal
yang bersifat darurat dan bukan pula untuk berobat.
Kedua : Kulit zakar dapat menahan najis, padahal membuang najis merupakan
kewajiban ketika beribadah. Dan tidak ada cara menghilangkan kulit itu, kecuali
dengan khitan. sehingga jadilah hukum hokum itu wajib, karena apa yang tidak
bisa sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka jatuh hukumnya wajib.
Ketiga : Orang tua sebagai penyebab si anak merasakan sakit ketika dikhitan,
dapat menyebabkan kematian jika sampai tetanus, serta sang ayah mengeluarkan
hartanya untuk biaya tabib dan pengobatan. Jika hal itu tidak wajib, maka
hal-hal tersebut tidak diperbolehkan.
Keempat : Sesungguhnya dengan berkhitan mendatangkan sakit yang luar biasa,
tidak disyariatkan kecuali tiga keadaan: untuk mashlahat, atau hukuman, atau
untuk melaksanakan sebuah kewajiban. Dalam khitan tidak mungkin karena dua yang
pertama, sehingga jadi tersisa yang ketiga, yaitu untuk sebuah kewajiban.
Sedangkan istidlal (dalil) dengan qiyas.
Pertama. Khitan adalah pemotongan yang disyariatkan rawan tetanus, jadilah
wajib seperti memotong tangan pencuri.
Kedua. Sesungguhnya khitan merupakan syiar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib
sebagaimana hukum syiar Islam yang lain.
Dalil pendapat kedua, yang menyatakan khitan sebagai sunnah dan bukan hal yang
wajib. Mereka berdalil dengan Sunnah.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda: “Fitrah ada lima,
di antaranya berkhitan …".
Catatan : Maksud dari fitrah adalah sunnah. Oleh karenanya, hukum khitan sunnah
dan tidak wajib. Oleh karena khitan disejajarkan dengan yang bukan wajib
seperti istihdad (mencukur bulu kemaluan).
Sebagaimana yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Khitan sunnah bagi
laki-laki dan keutamaan bagi wanita" .
Catatan : Hadits ini menjadi nash dalam permasalahan bahwa khitan sunnah bagi
laki-laki dan keutamaan bagi wanita.
Dalil pendapat ketiga, mereka lebih memerinci sebagian dalil yang dikatakan
oleh pendapat pertama, yaitu yang mengatakan wajib berkhitan bagi laki-laki dan
wanita.
Mereka berkata,"Khitan bagi laki-laki lebih tegas, karena kalau dia tidak
berkhitan, maka kulit yang menjulur pada ujung zakar dapat menghalanginya dari
bersuci, sedangkan wanita lebih ringan. Maka jatuhnya wajib bagi laki-laki, dan
tidak wajib bagi wanita.
Kesimpulanya.
Pertama.
Secara umum, setiap dalil tidak lepas dari kritikan, sebagaimana yang telah
disebutkan bantahan, setiap pendapat terhadap pendapat lainnya oleh Imam Ibnul
Qayyim rahimahullahn
Kedua. Pendapat pertama dan ketiga mempunyai persamaan dalam hukum khitan
laki-laki, sedangkan hukum khitan perempuan sama-sama memiliki dalil yang
sama-sama kuat.
Ketiga. Laki-laki diwajibkan berkhitan. Yang demikian ini merupakan pendapat
jumhur, sebagaimana terdapat pada pendapat pertama dan ketiga. Dan pendapat ini
yang lebih menenangkan hati, dari pendapat yang mengatakan khitan wanita itu
sunnah, wallahu a`lam.
Sedangkan apa yang disebutkan oleh pendapat kedua pada hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, maka dapat kita jawab, jika kita menerima alasan mereka
bahwa makna fitrah adalah sunnah, bukan berarti khitan tidak diwajibkan. Karena
lafadz sunnah ada yang hukumnya wajib dan ada yang bukan wajib. Ia mencakup
semua maknanya yang terkandung dalam syariat. Sedangkan membedakan antara
sunnah dengan wajib, ini merupakan istilah baru.
Keempat. Sedangkan khitan perempuan -yang menenangkan hati saya- hukumnya
wajib, karena wanita adalah syaqa-iq (saudara sederajat) dengan laki-laki dalam
hukum.
Alasan yang membuat penulis menyatakan hukum tersebut wajib, karena dengan
berkhitan, seorang wanita dapat menetralkan syahwat. Hal itu dapat membantu
untuk iffah (menjaga kehormatan). Dan menjaga kehormatan sangat dituntut secara
syariat. Sebagaimana kesucian zhahir menjadikan khitan itu wajib atas
laki-laki, begitu juga kesucian jiwa, menjadikan khitan itu wajib atas wanita.
Waktu Khitan
Pelaksanaan
khitan terbagi dalam tiga waktu.
Pertama : Waktu yang diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia
baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan
sebelum itu. Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata: "Abdullah bin Abbas
ditanya 'Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggal?', ia menjawab,'Aku waktu itu baru berkhitan, dan mereka tidaklah
berkhitan kecuali sudah dekat baligh'.
Kedua : Waktu yang dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar, yakni masa
ketika seorang anak sudah dianjurkan untuk shalat.
Ketiga : Waktu yang diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di
atas.
Para ulama berselisih berkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran, apakah
dianjurkan atau dimakruhkan? Sebagian memakruhkan khitan pada hari ketujuh.
Demikian pendapat Hasan Basri, Ahmad dan Malik rahimahullah. Dalil mereka
sebagai berikut.
Pertama : Tidak adanya nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya
tentang khitan bayi? Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun
khabar (dalil)".
Kedua : Tasyabbuh (meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu Abdillah
(yaitu Imam Ahmad): "Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?" Beliau
memakruhkannya sambil berkata: "Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga
alasan Hasan dan Malik rahimahullah".
Sebagian membawanya kepada istihbab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab bin
Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi bayi. Sedangkan
sebagian lagi membawanya kepada hukum asal, yaitu boleh. Di antaranya pendapat
Ibnul Munzir.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Syaikh kami (Ibnu Taymiah)
berkata,'Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma'il
ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak
cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak cucunya.Wallahu
a'lam'."
Orang yang tidak perlu dikhitan
Ada empat
keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap
dirinya.
Pertama : Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang
seperti ini tidak perlu dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama. Hanya
sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) berkata: "Dianjurkan pisau
melewati tempat khitan, karena itu yang dapat dia lakukan, dan Nabi telah
bersabda,'Jika aku perintahkan, maka lakukan semampu kalian".
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Yang benar, perbuatan ini makruh. Tidak
perlu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengannya. Dan tidak
perlu beribadah dengan semisalnya. Dan syariah berlindung dari hal itu, karena
merupakan perbuatan sia-sia yang tidak ada faidahnya. Melewati pisau bukanlah
tujuan. Akan tetapi sebagai sarana untuk sebuah tujuan. Jika tujuan telah
tercapai, maka tidak ada artinya bagi sarana.
Kedua : Jika seseorang tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan, sebab
sakit atau sudah tua, dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap dirinya
kebinasaan dan kelemahan tersebut berlanjut, maka dalam keadaan seperti ini, ia
diperkenankan untuk tidak berkhitan.
Ketiga : Seseorang masuk Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa
karenanya; maka hukum khitan jatuh darinya menurut jumhur.
Keempat : Seseorang yang meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka tidak
perlu dikhitankan, karena khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan
itu telah hilang dengan kematian, maka tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.
Pandangan Yang Kering Keliru Dalam Hal Khitan
1.Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada
asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid'ah.
2.Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan,
sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3.Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak
wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4.Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita
yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5.Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika
berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang
dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
Wa
shalallahu wa sallam 'ala Muhammadin tasliman katsira, wa akhiru da'wana, al
hamdulillahi Rabbil 'alamin